Singgah di Kota Sarat Sejarah

Mengunjungi rumah pengasingan Bapak Proklamasi, benteng kokoh peninggalan Inggris, dan mencicipi kepiting sala.

Firman Firdaus
Visual Herald
8 min readOct 23, 2023

--

Perjalanan ke kota Bengkulu merupakan salah satu rute yang saya tempuh bersama tim ekspedisi menyusuri Lintas Barat Sumatra, yang berlangsung 25 April sampai 6 Mei lalu.

Tentu bukan karena kebetulan letak Bengkulu berada di jalur yang sama dalam perjalanan tersebut, melainkan karena ada objek wisata sejarah yang muskil untuk dilewatkan: rumah pengasingan Sukarno.

Tidak sulit mencari lokasi pastinya, karena setiap warga yang saya tanya begitu sigap memberikan petunjuk arah. Bisa jadi, rumah tua itu menjadi kebanggaan warga Bengkulu, selain bunga Rafflesia arnoldii. Hal itu setidaknya terpancar dari jawaban para nelayan yang sedang bersantai di tepi Pantai Malabro—bagian dari Pantai Panjang yang begitu terkenal—di Desa Pasar Pantai, Bengkulu.

“Kalau sudah di sini, bolehlah mampir ke rumah Bung Karno, Mas,” ujar Khairul, salah seorang nelayan di situ, yang diamini beberapa rekan nelayan di sebelahnya. Ketika saya tanyakan kenapa saya mesti mengunjunginya, jawabnya tegas “karena itu menjadi kebanggaan warga Bengkulu.”

Hanya kurang lebih 15 menit dari Pantai Malabro, saya tiba di lokasi di daerah Anggut Atas. Rumah tersebut berada tepat di pinggir jalan raya Sokarno-Hatta. Waktu terjadi pelebaran jalan ini beberapa tahun lalu, halaman rumah yang sedianya seluas 40.434 meter persegi terpangkas hingga tersisa 10.000 meter persegi.

Pagar terluar sampai pintu masuk rumah dipisahkan oleh halaman dengan jarak sekitar 25 meter. Untuk masuk, pengunjung dikenakan biaya Rp2.500 per orang. Jika bersama rombongan, masing-masing dikenai potongan menjadi Rp1.500 per orang.

Ketika mulai menaiki anak tangga menuju pintu depan rumah, benak saya melayang, membayangkan sejarah dan peristiwa yang telah dialami rumah ini di masa ketika Sukarno diasingkan tahun 1938 hingga 1942.

Bangunan fisik aslinya terlihat masih terjaga, meski di sana-sini jejak pemugaran dan penambahan elemen baru begitu kental terasa. Pintu depannya terdiri dari dua pintu besar dan kokoh, seakan-akan dipisahkan antara pintu untuk masuk dan pintu untuk keluar. Seluruh engsel pintu masih asli.

Rumah bergaya arsitektur campuran antara corak bangunan Eropa dengan pintu dan langit-langit yang tinggi, ventilasi (kricak) beralur persegi khas China, dan plafon bermotif garis yang merupakan ciri bangunan lokal menjadikan rumah ini unik. Dimasukkannya elemen Tionghoa pada rumah ini karena menurut sejarah, rumah ini merupakan milik saudagar China bernama Tjang Tjeng Kwat yang disewakan kepada pihak Belanda.

Seluruh perabot ditata dan disesuaikan dengan situasi aslinya. Kursi rotan dan meja di ruang depan, yang menjadi tempat Sukarno menerima tamu dan berdiskusi merupakan benda asli. Beberapa almari lama sudah diganti dengan yang baru karena dimangsa lapuk. Sementara tempat tidur dan meja rias bergaya Eropa di bagian belakang rumah adalah benda asli peninggalan Belanda dan masih terlihat kokoh.

Buku-buku Sukarno, seluruhnya berjumlah 303 judul tersimpan rapi dalam almari kayu yang sudah diperbarui. “Buku-buku itu tidak boleh disentuh karena khawatir rusak,” kata Surgrahanudin, pegawai honorer Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, yang juga penjaga rumah ini. Sebagian besar buku-buku tersebut adalah pemberian Abdul Manaf, sahabat dekat Sukarno dalam pengasingan di Bengkulu.

Saat menyimak dan menelusuri ruang demi ruang, terlihat satu sudut yang menarik perhatian saya: sebuah lemari besar berisi pakaian dan perlengkapan tonil (sandiwara). Foto-foto saat Sukarno mementaskan lakon tonil pun terpasang di atas almari.

Sukarno memang dikenal seorang pecinta seni. Sebagaimana yang dilakukannya saat diasingkan di Ende, Flores, di Bengkulu pun dia mendirikan perkumpulan sandiwara yang kemudian dinamakannya Toneel Kalimutu. Semua pemainnya adalah laki-laki. Rumah ini menjadi pusat latihannya. Semua lakon yang dipentaskan, seperti Kisah Cinta Putri Seorang Komandan Portugis di Endeh, Rainbow, dan DR. Pengiblis Syaitan diciptakan oleh Sukarno. Sukarno pula yang melatih para pemain.

Namun, Sukarno tetaplah Sukarno: seorang patriot. Latihan dan pementasan dijadikannya jembatan komunikasi dengan kawan-kawannya, dan menjadi senjata ampuh dalam menjalankan misinya berjuang menentang kolonial Belanda. Banyak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang dilibatkan dalam sandiwara dengan misi perjuangan.

Suatu hari pada tahun 1664. Dengan tujuan hendak menguasai perniagaan lada Nusantara, Belanda mendirikan kantor pelelangan di Bengkulu. Namun, enam tahun kemudian, ternyata ada masalah dengan bisnis lada di Banten, dengan dikeluarkannya aturan transaksi yang baru oleh Sultan Banten.

Aturan baru itu mengancam kedudukan perdagangan lada Belanda. Belanda pun mencurahkan perhatiannya untuk kembali menguasai Banten, dengan memaksa Sultan Banten menandatangani perjanjian hak monopoli perdagangan oleh Belanda. Tahun itu juga, Belanda meninggalkan Bengkulu.

Inggris, melalui gerbong East Indian Company (EIC) melihat peluang ini dan mulai masuk Bengkulu. Saat bercokol di Bengkulu inilah Inggris tidak hanya mendirikan bangunan pemerintahan, tetapi juga bangunan religi, hunian, dan pertahanan, termasuk Benteng Marlborough. Benteng ini, konon, menjadi benteng terkuat kedua Inggris di timur, setelah Benteng St. George di Madras, India. Dari Madras pula EIC menyebarkan pengaruhnya ke Asia Pasifik, termasuk ke Bengkulu.

Kesan kokoh itu masih terasa saat pertama kali saya, bersama tim ekspedisi Lintas Barat Sumatra, mengunjunginya. Mungkin karena sedari awal sudah tertanam dalam benak saya bahwa bangunan ini sudah hampir 300 tahun berdiri: diterpa hujan, panas, dan gempa besar. Namun, kesan tua itu juga tidak bisa disembunyikan dari mulai melapuknya beberapa bagian dinding benteng.

Untuk mencapai lokasi, kami cukup menyusuri Pantai Panjang di sisi barat, karena kebetulan kami menginap di Hotel Rafflesia yang menghadap Pantai Panjang. Kurang lebih 300 meter menyusuri pantai, kami temukan sebuah putaran (warga menyebutnya Patung Kuda). Dari situ, area benteng sudah mulai terlihat.

Dengan posisi di atas bukit buatan, sekitar enam meter dari permukaan sekitarnya, benteng megah dengan luas total kawasan 40.405 meter persegi itu terlihat mentereng di antara bangunan perkantoran dan toko sekitarnya.

Pintu utama di bagian depan dikelilingi parit dengan lebar sekitar empat meter dan tersambung oleh jembatan ke gerbang dalam. Saya mencoba untuk menuju bagian atas benteng. Dari sini terlihat bahwa benteng yang dibangun di bawah pimpinan Gubernur Joseph Callet ini menyerupai bentuk kura-kura: empat bagian bangunan dibuat di sudut-sudut seperti kaki, dan satu kelompok bangunan mirip kepalanya.

Ada dua lapis dinding pertahanan pada benteng ini. Dinding bagian luar tingginya 8,65 meter dengan tebal tiga meter, dan dinding kedua tebalnya sekitar 1,8 meter. Tujuannya jelas: jika dinding pertama dapat ditembus musuh, pasukan masih bisa bertahan di dinding kedua.

Untuk memasuki gerbang pertama, saya mesti menyeberangi parit melalui sebuah jembatan yang dulunya bersifat nonpermanen: bisa diangkat jika musuh mendekat. Selepas gerbang utama, terlihat lorong dengan langit-langit yang melengkung, dengan tinggi sekitar empat meter.

Terus keluar dari lorong ini saya menjumpai tiga makam di sisi kanan, salah satunya adalah makam Residen Thomas Parr yang meninggal pada Desember 1807. Beberapa meter dari jalur di ruang terbuka ini terdapat gerbang kedua, dikenal sebagai gerbang utama (great gate). Bermotif kotak-kotak emboss seperti desain-desain pintu gerbang zaman pertengahan, gerbang utama ini dibuat dari kayu kapur yang didatangkan dari Kalimantan.

Hampir seluruh bangunan benteng berlangit-langit lengkung dan berdinding tebal. Sebagian ruangan memiliki sub-sub ruang yang menjorok lebih ke bawah. Rasa lembap hinggap begitu memasuki ruang-ruang ini. Apalagi saat menuruni ruang tawanan di bagian belakang benteng. Bulu kuduk saya pun sempat meremang.

Terus menuju sayap utara benteng bisa dijumpai kompleks perkantoran, yang sempat digunakan sebagai ruang keluarga pejabat sipil senior pada periode sebelum 1780-an.

Di bagian tengah benteng terdapat halaman berumput luas lengkap dengan pohon besar nan meneduhkan. Pada beberapa bagian lapangan ini diletakkan meriam-meriam peninggalan pasukan Inggris.

Dinding atas benteng atau bastion merupakan bagian favorit saya. Dari sini, angin yang berdesir dari laut lepas mulai terasa. Bayangan akan serangan atas benteng ini ratusan tahun silam pun segera muncul.

Jika saja Faisal—salah seorang anggota tim A—tidak kehabisan menu sarapan di hotel, tentu kami tidak akan sempat merasakan kelezatan kepiting sala di pinggir Pantai Malabro, Desa Pasar Pantai, Bengkulu.

Ya, gara-gara tidak kebagian sarapan hotel, Faisal terpaksa mencari makan pagi di sepanjang perjalanan kami menuju Benteng Marlborough. Secara untung-untungan, dia memilih sebuah kedai di pinggir Pantai Malabro.

Kepiting sala (sala dalam bahasa melayu berarti “goreng”) merupakan salah satu hidangan unggulan dari warung sederhana milik Ibu Tini, 54 tahun. “Di sini ramai kalau sore atau malam minggu. Mobil antre di sepanjang pantai ini,” kata Ibu Tini yang mengelola warungnya seorang diri.

Yang membuat kepiting sala begitu lezat, jelas Ibu Tini setengah berpromosi, adalah kepiting merah pilihan nan segar, yang langsung diangkut dari para nelayan sepulang melaut. Racikan bumbu sebagai bahan dasar untuk membalut kepiting, yang terdiri dari tepung beras, bawang putih, kunyit, dan telur turut memperkaya rasa kepiting. “Saya juga tambahkan ramuan penyedap rahasia agar rasanya lebih nikmat dan rapuh ketika digigit,” ujar Ibu Tini, menolak memerinci apa bumbu rahasia yang dimaksud.

Saya, dengan perut yang sebenarnya sudah terganjal sarapan, terpancing untuk mencoba. Benar saja. Gurih dan rapuh! Sampai-sampai, saya lumat seluruh badan kepiting termasuk cangkangnya yang biasanya keras itu. Rasa manis daging kepitingnya pun begitu menggoda lidah: bukti bahwa kepiting tersebut dimasak dalam keadaan segar.

Ibu Tini kemudian menyodorkan sepiring kecil sambal goreng, plus segelas teh manis hangat. “Biar tambah semangat!” serunya sambil terbahak. Pancingannya berhasil, satu lagi kepiting sala saya tandaskan.

Kuliner ini sebetulnya bukan benar-benar hidangan khas Bengkulu, seperti halnya pendap atau bipang. Namun, dengan menjamurnya kedai serupa di pinggir Pantai Malabro, keberadaan kepiting sala menjadi warna tersendiri bagi daerah ini.

Kepiting sala ukuran sedang dijual dengan harga yang cukup terjangkau: Rp5.000 saja sebuah. Begitu pula menu tambahan seperti sate udang sala, satu tusuk ada lima ekor udang seukuran jari telunjuk orang dewasa, dijual dengan harga sama.

Alhasil, karena belum puas menikmati kepiting dan udang sala di kedai Ibu Tini, sedangkan kami mesti bersigegas, saya pesan sebungkus lagi untuk dibawa dan dinikmati dalam perjalanan.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.