Wiwik Mahdayani: Perempuan dalam Geliat Pengembangan Ekowisata di Indonesia

Hanin Br.
Wirta Indonesia
Published in
6 min readMay 29, 2020

“Dalam ekowisata hakekatnya semua elemen masyarakat harus berperan aktif dan berkontribusi untuk mewujudkan wisata yang berkelanjutan di daerahnya masing-masing. Kesempatan ini seharusnya bisa menjadi pemacu agar tercipta keterlibatan perempuan yang adil pada lini depan pengembangan ekowisata. Ekowisata dapat menjadi sarana untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan lebih dari sekadar pekerjaan domestik.” — Wiwik Mahdayani.

Pada artikel sebelumnya, sudah dibahas mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam upaya penguatan kesetaraan gender dalam ekowisata. Dari pembahasan yang lalu, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan dalam ekowisata sangat penting untuk mewujudkan ekosistem pariwisata yang lebih baik. Keterlibatan perempuan dalam ekowisata tidak semata-mata hanya untuk menunjukkan adanya keterwakilan gender namun lebih lanjut lagi menunjukkan bahwa seluruh bagian masyarakat terlibat dalam pengembangan ekowisata. Nyatanya, perempuan telah berhasil menunjukkan keahliannya dalam pariwisata dengan menempati berbagai posisi di dalam sistem pengembangannya.

Dalam kesempatan ini, kita akan mengenal salah satu perempuan yang terlibat langsung dalam pengembangan ekowisata di Indonesia. Beliau adalah Wiwik Mahdayani, pendiri dan direktur DESMA Center, lembaga yang fokus pada pengembangan pariwisata berkelanjutan dan konservasi. Sebelum berkecimpung langsung dalam sektor pariwisata, Wiwik sudah memiliki ketertarikan kepada alam semenjak masa kanak-kanak. Ketertarikan Wiwik berawal ketika orang tuanya mengajaknya berwisata alam.

Menuju dewasa, pada saat kuliah, Wiwik mengikuti kegiatan pengenalan ekowisata di salah satu taman nasional di Indonesia yang menghadirkan perwakilan mahasiswa pariwisata dari seluruh Indonesia. Hal ini semakin menguatkan ketertarikan Wiwik terhadap ekowisata hingga kemudian bergabung dengan salah satu perusahaan konsultan arsitek yang mengerjakan pendampingan ekowisata berbasis masyarakat di tingkat tapak. Setelah itu, Wiwik melanjutkan studi S2 di Perancis dan tesisnya membahas mengenai pemasaran ekowisata. Selama di Perancis, Wiwik sempat bekerja kontrak di Kementrian Pariwisata Perancis di Paris dan juga pernah bergabung dengan organisasi nirlaba yang memiliki misi mempromosikan ekowisata dan pariwisata berkelanjutan.

Mantap dengan ketertarikannya pada ekowisata, Wiwik mengepakkan sayap lebih lebar ke dunia internasional dengan bekerja di UNESCO untuk mengkoordinasi program pengembangan ekowisata dan heritage tourism untuk klaster Indonesia, serta di GIZ (lembaga setingkat BUMN di Jerman) untuk mengelola strategi pemasaran pariwisata berkelanjutan untuk desa wisata dan badan promosi milik provinsi. Selain itu, Wiwik pernah melakukan riset dan proyek pemasaran ekowisata di taman nasional di Thailand. Berkat hibah dana penelitian yang Wiwik terima sebagai Asia Fellow dari Asian Public Intellectual Fellow, Wiwik menetap selama dua tahun di Thailand untuk mengerjakan riset dan proyek tersebut.

Pengalaman lain yang pernah Wiwik lakukan adalah menjadi kontributor artikel wisata untuk beberapa majalah dan koran nasional. Pengalaman-pengalaman Wiwik selama bekerja di lapangan tersebut Ia bukukan pada buku catatan perjalanan ekowisata keliling Indonesia yang berjudul The Natural Guides seri 1 dan 2. Setelah melalui lika-liku perjalanan yang cukup panjang di bidang ekowisata, pada akhirnya Wiwik mendirikan DESMA Center pada tahun 2010.

Wiwik Mahdayani

Menilik Ekowisata dari Sudut Pandang Praktisi

Berkecimpung selama lebih dari 10 tahun dalam pengembangan ekowisata, Wiwik tentunya memiliki wawasan yang luas dalam bidang tersebut. Dalam perspektif Wiwik, ekowisata bisa disebut sebagai bagian dari pariwisata berkelanjutan. Ekowisata mengacu pada pariwisata yang kegiatannya dilakukan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan dan budaya pada destinasi wisata yang dikunjungi, mendukung ekonomi setempat, tanpa mengesampingkan pengalaman dan tujuan berwisata.

Wiwik mengamini bahwa hingga saat ini masih banyak perdebatan mengenai sejauh apa tanggung jawab wisatawan terhadap tempat yang dikunjungi, aktivitas yang dilakukan selama berwisata, kontribusi apa yang bisa diberikan oleh wisatawan untuk pelestarian alam dan budaya, serta bagaimana pariwisata dapat memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal. Menurutnya, dalam kegiatan ekowisata, pengunjung yang datang perlu diberikan edukasi, pengalaman, dan aktivitas mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam. Selain berinteraksi dengan alam, pengunjung juga diajak untuk belajar mengenai kearifan lokal dan budaya dari masyarakat yang ada di kawasan tersebut. Simbiosis inilah yang menjadikan ekowisata sebagai pilihan pariwisata yang optimal (untuk saat ini) dalam mendongrak perekonomian masyarakat lokal, sekaligus menyuarakan pentingnya keberlanjutan.

Wiwik Mahdayani saat memimpin diskusi dengan para pemangku kepentingan pariwisata.

Menurut Wiwik, apabila dilihat dari sisi masyarakat setempat, ekowisata bisa memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dan keterampilan lebih seperti keramahtahaman, pemanduan, dan bahasa. Masyarakat diajak untuk terlibat aktif karena sejatinya mereka adalah tuan rumah di daerahnya sendiri. Merekalah penghubung utama antara pengunjung dengan destinasi sekaligus garda terdepan dalam melindungi kelestarian alam dan budaya. Keterlibatan masyarakat dalam ekowisata juga berkaitan dengan edukasi mengenai keberlanjutan alam kepada wisatawan. Apabila masyarakat terlibat dalam ekowisata maka segala perilaku, aktivitas dan kegiatan yang mereka lakukan dapat menjadi contoh langsung bagi wisatawan tentang bagaimana implementasi nyata dari keberlanjutan.

Sekilas Tentang Ekofeminisme

Dalam perkembangan keterlibatan perempuan beberapa tahun terakhir di pariwisata, muncul sebuah gerakan yakni ekofeminisme. Gerakan ekofeminisme muncul sebagai sebuah bentuk protes kaum perempuan terhadap opresi budaya patriarki terhadap mereka dan lingkungan. Para ekofeminis ini kemudian mengaplikasikan gagasannya pada berbagai bidang termasuk pariwisata.[1] Wiwik menanggapi bahwa menurutnya ekofeminisme adalah sebuah gerakan aktivis dan akademis yang melihat hubungan krusial antara dominasi terhadap alam dan eksploitasi perempuan. Pandangan ini melihat adanya hubungan pararel antara kaum perempuan dengan alam.

Menurutnya, gerakan-gerakan ini, selama masih sesuai pada jalur visi misinya yaitu menghapus eksploitasi, tentu dapat diterima dan harus didukung. Namun, terkadang terdapat segelintir oknum yang memanfaatkan momentum ini untuk menyuarakan keinginan pribadinya dengan mengatasnamakan kesetaraan kaum perempuan. Kemudian ketika keseimbangan antara kaum perempuan dan laki-laki sudah diraih, muncul tujuan-tujuan baru yang berbeda dengan visi awalnya. Walaupun begitu, apabila gerakan tersebut memang sungguh-sungguh bertujuan untuk mengatur keseimbangan dan keberlanjutan yang lebih efektif sesuai dengan porsinya, gerakan ini perlu didukung.

Menjadi Perempuan Sekaligus Menjadi Bagian dalam Pengembangan Ekowisata

Sebagai seorang perempuan yang juga terlibat dalam pengembangan ekowisata, Wiwik tentu sepakat bahwa keterlibatan perempuan penting. Menurutnya keterlibatan perempuan penting tidak hanya dalam ekowisata saja, namun pada berbagai bidang. Keterlibatan yang Wiwik maksud bukan hanya sebagai penjaga warung atau homestay saja namun lebih lanjut lagi yaitu terlibat aktif dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi dari pengembangan ekowisata. Wiwik percaya semua orang memiliki peran, pemikiran dan kesempatan yang sama, oleh karena itu perempuan juga bisa melakukan hal-hal tersebut. Selain itu, Wiwik juga memaparkan bahwa perempuan juga bisa ambil bagian sebagai pemilik bisnis atau usaha dan punya peran sebagai pengambil kebijakan suatu daerah.

“Seharusnya gender sudah bukan menjadi isu lagi. Sudah saatnya semua pihak memainkan peran yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Selama masing-masing individu memiliki kompetensi yang mumpuni, kenapa harus dibatasi dengan isu gender? Sebagai perempuan tentu tidak perlu mengkotak-kotakkan diri. Kita akan melakukan pekerjaan sesuai porsi dan kemampuan kita, tanpa ada batasan gender.”

Wiwik Mahdayani berdiskusi dengan para pemangku kepentingan pariwisata laki-laki.

Meskipun begitu, Wiwik menyadari memang masih ada tantangan yang dihadapi oleh perempuan untuk bisa masuk ke dalam sektor pariwisata. Tidak semua perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan tertentu. Di beberapa daerah, ada beberapa jenis kegiatan wisata, bahkan ada stereotip pekerjaan tertentu dalam bidang pariwisata yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Menurutnya, perempuan tidak perlu merasa ada keterbatasan gender ketika memiliki keinginan untuk mewujudkan cita-citanya. Walaupun begitu, Wiwik berpendapat bahwa saat ini kondisi pariwisata di beberapa daerah sudah memberikan porsi bagi perempuan untuk dapat turut berperan.

Menurut Wiwik, adanya ekowisata dapat membawa dampak yang positif bagi perempuan yang terlibat di dalamnya. Dalam ekowisata terdapat aspek pemberdayaan yang pada prinsipnya bisa memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu tanpa memandang gender. Perempuan selama ini dianggap tidak kompeten karena dari awal mereka tidak diberi kesempatan. Selain itu, sebagian besar perempuan belum mengetahui kapasitas dan kapabilitas dirinya masing-masing sehingga kadang peran atau pilihan pekerjaan menjadi lebih sempit.

Dalam ekowisata hakekatnya semua elemen masyarakat harus berperan aktif dan berkontribusi untuk mewujudkan wisata yang berkelanjutan di daerahnya masing-masing. Kesempatan ini seharusnya bisa menjadi pemacu agar tercipta keterlibatan perempuan yang adil pada lini depan pengembangan ekowisata. Ekowisata dapat menjadi sarana untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa melakukan lebih dari sekadar pekerjaan domestik.

[1] Fennell, David. 2015. Ecofeminism in the Tourism Context: A Discussion of the Use of Other-than-human Animals as Food in Tourism. Tourism Recreation Research, Vol. 38 No.1 Hlm. 56–69.s

--

--

Hanin Br.
Wirta Indonesia

menjalani hari-hari sebagai buruh teknologi, jika ada waktu menulis sesekali