Bagaimana Perusahaan dapat Mempersiapkan Diri untuk “The New Normal”

Janice Alberta
xPersona Labs
Published in
7 min readMay 29, 2020
Photo by Sarah Kilian on Unsplash

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia menghadapi pandemi yang menimbulkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pekerjaan. Semenjak pandemi COVID-19 merebak di Indonesia, pekerjaan pun berubah- dimulai dari adanya pemeriksaan suhu tubuh sebelum masuk ke dalam gedung, kewajiban memakai masker, menjaga kebersihan pribadi, physical distancing di kantor, hingga kebijakan bekerja dari rumah (Work From Home) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Berbagai lembaga dan perusahaan sudah banyak menerapkan tips and tricks untuk efektif bekerja dengan situasi tersebut.

Melihat dunia kerja tidak mungkin selamanya dibatasi dan keperluan ekonomi rakyat dan negara, saat ini pun Indonesia mempersiapkan untuk masuk ke “The New Normal”, sebuah kenormalan baru di tengah pandemi ini. Menanggapi hal ini, pemerintah mulai menyiapkan kebijakan-kebijakan baru yang mempengaruhi dunia kerja, baik bagi pekerja maupun manajemen perusahaan. Beberapa perusahaan juga mulai membuat perubahan, salah satunya yaitu Google yang memperpanjang Work From Home hingga akhir tahun. Perusahaan lainnya seperti Amazon, Facebook, dan Slack pun melakukan hal yang sama, karena memang hingga saat ini tidak dapat dipastikan kapan pandemi dapat berakhir.

Dari kondisi pandemi saat ini, penulis sendiri diingatkan bahwa perubahan dalam dunia kerja dapat terjadi kapan saja, baik yang tidak diinisiasi oleh perusahaan seperti pandemi ini maupun yang diinisiasi oleh perusahaan seperti perubahan struktur organisasi. Perubahan itu sendiri tidak selalu mudah, bahkan bisa menimbulkan emosi negatif dan perasaan ketidakpastian yang mempengaruhi penerimaan karyawan terhadap perubahan, bahkan memiliki dampak buruk terhadap organisasi dalam jangka panjang.

Meskipun tidak menyenangkan, terkadang perubahan organisasi (organizational change) dapat menjadi sesuatu yang diperlukan, baik untuk beradaptasi dengan situasi eksternal maupun untuk membuat organisasi menjadi lebih sukses lagi. Sebagai contoh, di awal Mei 2014 Microsoft sempat mengalami kompetisi internal antar unit bisnis sehingga menghambat koordinasi, membuat kondisi perusahaan stagnan dan sulit untuk berinovasi mengembangkan produk baru. Sementara masalah tersebut terjadi di Microsoft, Google dan Apple semakin dominan di pasaran. Reorganisasi pun dilakukan oleh CEO Microsoft Satya Nadella untuk menghilangkan kompetisi internal. Produk tidak lagi dianggap sebagai kelompok yang berbeda, namun semua karyawan akan fokus pada beberapa tujuan bersama. Pada September 2016, Nadella pun menggabungkan kelompok Microsoft Research dengan tim Bing, Cortana, dan information platform membentuk grup AI dan Research yang bertujuan untuk mengembangkan artificial intelligence pada produk Microsoft. Dari perubahan organisasi ini, karyawan yang awalnya kurang memiliki sense of purpose dan employee engagement menjadi lebih menemukan makna dalam pekerjaannya dan menyadari bahwa kontribusi mereka mempengaruhi kesuksesan perusahaan.

Source : Manu Cornet — http://www.bonkersworld.net/organizational-charts/

Dalam situasi yang banyak ketidakpastian dan potensi perubahan dalam perusahaan, perusahaan tentunya perlu memiliki change management yang baik dalam menginisiasi maupun mengelola perubahan. Tugas mengelola perubahan ini juga termasuk memperhatikan dampaknya terhadap karyawan, serta membantu karyawan untuk dapat menerima dan menghadapi perubahan secara efektif. Untuk dapat membantu karyawan menghadapi perubahan, pertama-tama kita perlu memahami bagaimana umumnya kondisi karyawan saat mengalami perubahan — salah satunya dengan melihat The Kubler Ross Change Curve.

Manusia pada umumnya memiliki respons emosional terhadap perubahan dan respons emosional tersebut kemudian dapat mempengaruhi reaksi seseorang. The Kubler Ross Change Curve awalnya dikembangkan oleh seorang psikiater, Elizabeth Kubler-Ross untuk memahami proses berduka, namun akhirnya model ini semakin berkembang dan banyak digunakan untuk membantu orang memahami reaksinya terhadap perubahan dan ketidakpastian. Dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, model ini pun dapat memprediksi bagaimana karyawan akan bereaksi dan memastikan bahwa mereka mendapatkan dukungan yang mereka perlukan.

Model Change Curve ini menjelaskan bahwa kebanyakan orang melewati beberapa tahap sebelum mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Berbagai sumber menyatakan jumlah dan nama tahap yang berbeda-beda, namun konsepnya kurang lebih sama. Pada artikel ini, penulis akan memaparkan tujuh tahap. Mengelola perubahan dapat dilakukan dengan memahami dimana karyawan berada dari antara ketujuh tahap tersebut.

Kubler-Ross Change Curve. Source: https://www.cleverism.com/understanding-kubler-ross-change-curve/

1. Tahap 1 — Shock

Saat pertama kali menghadapi perubahan, reaksi yang umum terjadi adalah terkejut dan bertanya-tanya apa yang menyebabkan perubahan. Reaksi ini biasanya terjadi karena kurangnya informasi atau ketakutan akan apa yang tidak diketahui. Oleh karena itu, perusahaan atau manajer perlu mengetahui dan berempati dengan perasaan karyawan. Berikan informasi yang perlu diketahui karyawan dan juga jawab pertanyaan-pertanyaan karyawan secara perlahan agar tidak membuat karyawan kewalahan.

2. Tahap 2 — Denial

Setelah mengalami keterkejutan, pada umumnya karyawan akan kemudian menyangkal perubahan tersebut. Kebanyakan karyawan meyakinkan diri mereka bahwa perubahan tersebut tidak mungkin terjadi atau tidak akan mempengaruhi mereka apabila terjadi sehingga mereka terus berperilaku seperti biasa. Di tahap ini, komunikasi yang sopan dan tegas akan tujuan perubahan juga perlu dilakukan. Berikan penjelasan yang logis mengapa perubahan tersebut terjadi, apa dampak positifnya terhadap perusahaan dan karyawan, serta apa yang membuat cara lama tidak dapat diteruskan. Selain itu, tetap berikan dukungan kepada karyawan.

3. Tahap 3 — Frustration

Lama-kelamaan, seseorang dapat mulai menyadari bahwa kenyataannya perubahan akan tetap terjadi dan hal ini pun dapat membuat mereka merasa frustrasi.

4. Tahap 4 — Anger and/or Depression

Setelah itu, biasanya orang akan mengalami kemarahan terhadap perusahaan, manajer, diri sendiri, situasi atau bahkan Tuhan serta mengeluh karena perubahan tersebut. Tahap ini pun dapat menjadi titik terendah dalam kurva dimana karyawan mengalami perasaan depresi — sedih, takut, merasa bersalah, dan emosi negatif lainnya. Performa pun biasanya menjadi paling rendah pada tahap ini karena merasa tidak termotivasi dan masa depan mereka di perusahaan tidak pasti. Karyawan pun dapat cenderung mempermasalahkan hal-hal sederhana. Kembali lagi, komunikasi dengan karyawan penting untuk dilakukan. Karyawan dapat merasa terbantu saat mengetahui bahwa orang lain pun ada yang merasakan hal yang sama dan mereka tidak mengalami perasaan tersebut sendiri. Perusahaan pun dapat memperlihatkan hal-hal yang menunjukkan keuntungan perubahan atau karyawan yang sudah sukses beradaptasi dengan perubahan untuk mendorong maju karyawan.

5. Tahap 5 — Experiment

Pada tahap ini, karyawan mulai bereksperimen dengan situasi baru dengan mencoba mempertimbangkan perubahan dan mencoba melakukan hal baru untuk beradaptasi dengan perubahan. Perusahaan dan manajer dapat memberikan arahan akan apa yang dapat dilakukan karyawan ke depannya dan juga memberi bimbingan bagi karyawan dalam menjalankannya.

6. Tahap 6 — Decision

Karyawan mulai dapat menerima apa yang terjadi dan lebih positif terhadap masa depan. Pada tahap ini, karyawan sudah merasa lebih memiliki kontrol atas apa yang terjadi dan mengambil keputusan baru akan apa yang dapat dilakukan.

7. Tahap 7 — Integration

Tahap ini merupakan tahap dimana karyawan sudah menerima perubahan dan beradaptasi dengan perubahan tersebut sehingga tingkat energi cenderung tinggi. Tunjukkan dukungan terhadap karyawan yang sudah mampu beradaptasi dengan baik seperti dengan memberikan reinforcement.

Ketujuh tahap ini bukan suatu urutan proses yang bertahap. Karyawan mungkin tidak melewati beberapa tahap tertentu atau dapat kembali ke tahap sebelumnya — ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam menghadapi perubahan. Adapun yang sebaiknya dihindari adalah terlalu lama berada di satu tahap tertentu, terutama di tahap anger and/or depression.

Yang perlu diingat adalah: karyawan maupun organisasi keduanya berpengaruh kepada kemampuan untuk menerima dan beradaptasi dengan perubahan. Jika change management tidak dilakukan dengan baik, maka ada kemungkinan karyawan akan tertinggal pada tahap tertentu dan tidak sampai pada tahap acceptance sehingga performa karyawan tersebut tidak maksimal dan justru merugikan organisasi. Leybourne (2016) mengatakan bahwa mengabaikan elemen ‘manusia’ dalam perubahan justru dapat membuat suatu upaya perubahan gagal. Untuk itu, organisasi pun sebaiknya turut mendukung karyawan dalam proses perubahan dengan cara mempersiapkan karyawan untuk menghadapi perubahan, memberikan informasi yang cukup terkait perubahan, komunikasi yang jelas, serta memberi dukungan kepada karyawan.

Bagi pihak manajemen yang hendak melakukan perubahan, ada banyak praktek change management efektif yang dapat ditemukan sebagai inspirasi langkah-langkah konkret, namun di sini penulis akan merekomendasikan satu praktek yang sangat berkesan bagi penulis. Hal ini terjadi di awal bulan Mei 2020, dimana Co-Founder dan CEO Airbnb memberhentikan 25% dari karyawannya — suatu perubahan yang tentunya sulit bagi mereka yang diberhentikan, mereka yang tetap bekerja, maupun pihak manajemen — ditambah dengan kondisi saat ini yang tidak pasti. Keputusan yang sulit, namun Airbnb mampu menunjukkan empati terhadap karyawan yang begitu baik, dilihat dari surat yang dituliskan oleh Brian Chesky selaku Co-Founder dan CEO Airbnb. Belajar dari bagaimana Airbnb mempertimbangkan kondisi karyawannya, diharapkan agar penjelasan artikel ini pun dapat membantu organisasi untuk memahami karyawannya dan mengelola perubahan dengan bijak — baik untuk menghadapi “The New Normal” atau perubahan lain ke depannya.

Ditulis oleh Janice Alberta | www.linkedin.com/in/janicealberta

Referensi

Airbnb (2020, May 5). A message from co-founder and CEO Brian Chesky. https://news.airbnb.com/a-message-from-co-founder-and-ceo-brian-chesky/

Careers with Confidence (2015, September 20). The Kubler Ross change curve. http://careerswithconfidence.com/the-kubler-ross-change-curve-2/

Connelly, M. (2018, August 30). Kubler-Ross five stage model. https://www.change-management-coach.com/kubler-ross.html

Daniel Lock Consulting (2019, February 4). Kubler-Ross change curve. https://daniellock.com/kubler-ross-change-curve/

Ho, P. (2017, July 14). OKR with reorganization | The case study of microsoft (Chapter 2) | Goalify. https://goalify.plus/blog/2017/07/14/case-study-of-microsoft-about-the-relationship-between-okr-and-reorganization/

Leybourne, S. A. (2016). Emotionally sustainable change: Two frameworks to assist with transition. Int J. Strategic Change Management, 7(1), 23–42.

Optima Training (n.d.) Kubler-Ross change curve. http://www.optimatraining.co.uk/wp-content/uploads/Kubler-Ross-Change-Curve.pdf

Sandler, R. (2020, May 11). Google will let employees work from home until the end of 2020. https://www.forbes.com/sites/rachelsandler/2020/05/08/google-will-let-employees-work-from-home-until-the-end-of-2020/#473ebaa27db3

Spector, P. E. (2012). Industrial and organizational psychology: Research & practice (6th ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

Tobing, S. (2020, May 26). Masuki new normal, apa saja protokol kesehatan di kantor? https://katadata.co.id/berita/2020/05/26/masuki-new-normal-apa-saja-protokol-kesehatan-di-kantor

Troyani, L. (2019, August 19). 3 examples of organizational change done right. https://www.tinypulse.com/blog/3-examples-of-organizational-change-and-why-they-got-it-right

--

--

Janice Alberta
xPersona Labs

A lifelong learner and sharer with passion towards the psyche of people and community.