Mengenal Teori Kritis

Radian Arfi
5 min readMay 12, 2019

--

Tag temanmu yang kerjanya nanya terus

Jurgen Habermas, painted potrait by abodeofchaos.org — sumber:https://www.flickr.com/photos/home_of_chaos/14545689958

Teori kritis — seperti namanya — lahir dari berbagai kritik terhadap pemikiran sosiolog klasik Karl Marx. Ramalan Marx terkait revolusi sosialis yang tak kunjung terjadi[1], serta bagaimana Ia memposisikan faktor ekonomi sebagai penentu jalannya dunia sosial[2] merupakan beberapa tesis yang dikritik oleh pemikir awal teori kritis.

Teori kritis umumnya diasosiasikan dengan Institute for Social Research di Universitas Frankfrut, Jerman, tempat teori ini lahir dan berkembang[3].

Teori kritis diklasifikasikan sebagai teori sosial; artinya, teori kritis bersifat multidisiplin, dan bukan merupakan bagian dari tradisi keilmuan tertentu[4].

Artikel ini akan membahas tentang teori kritis, mulai dari kritik teori kritis terhadap aspek-aspek dunia sosial, hingga buah pemikiran para pemikir kritis generasi kedua dan ketiga.

Berbagai Kritik Teori Kritis
Terlepas dari faktor yang melatarbelakangi kelahirannya, teori kritis tidak hanya mengkritik pemikiran Marx tentang determinisme ekonomi. Kritik yang ditawarkan oleh teori kritis turut menyasar berbagai elemen dunia sosial, serta pemikiran tokoh-tokoh intelektual selain Marx.

Secara garis besar, selain kritik terhadap pemikiran Marx, — yang seharusnya turut memperhatikan aspek-aspek dunia sosial lain selain aspek ekonomi — teori kritis juga turut mengkritik konsep-konsep lain seperti positivisme, sosiologi, masyarakat modern, hingga budaya[5].

Kritik terhadap Positivisme

Teori kritis mengkritik argumen utama positivisme, yang menyatakan bahwa dunia sosial diatur oleh seperangkat hukum sosial yang bersifat pasti, layaknya hukum alam.

Bagi teori kritis, positivisme memposisikan manusia sebagai aktor pasif yang segala jenis tindakannya ditentukan oleh hukum sosial tersebut. Sebagai dampaknya, positivisme tidak memiliki kekuatan untuk membawa perubahan[6]; karena alih-alih menantang sistem sosial yang dianggap tidak adil, positivisme akan mengatakan bahwa ketidakadilan merupakan bagian dari hukum sosial yang sifatnya pasti.

Kritik terhadap Sosiologi

Teori kritis mengkritik sosiologi sebagai cabang ilmu yang terlalu fokus pada metodologi, sehingga melupakan tujuan utamanya yaitu “menciptakan masyarakat yang adil dan manusiawi”.

Layaknya kritik teori kritis terhadap positivisme, sosiologi dituding terlalu pasif, dan tidak memiliki keseriusan untuk membawa perubahan. Selain itu, kecenderungan sosiologi untuk membahas sebuah fenomena dari sudut makro (masyarakat) dinilai telah mengesampingkan posisi individu dalam dunia sosial[7].

Kritik terhadap Masyarakat Modern

Teori kritis melihat bahwa perkembangan teknologi, yang seharusnya membuat masyarakat modern menjadi lebih kritis, justru malah membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis.

Bagi teori kritis, inovasi-inovasi di bidang teknologi (seperti kehadiran televisi dan internet) digunakan sebagai alat oleh para pemilik modal untuk menjinakkan masyarakat. Teori kritis menyatakan bahwa alih-alih didominasi secara ekonomi, masyarakat modern justru didominasi secara kultural[8], lewat bantuan inovasi-inovasi teknologi tersebut.

Kritik terhadap Budaya

Teori kritis memandang budaya (dalam kasus ini, budaya masyarakat modern) sebagai sesuatu yang palsu, dan diproduksi secara massal oleh media.

Tujuan utama dari produksi budaya secara massal ini adalah — seperti yang telah dijelaskan dalam poin sebelumnya — untuk mengatur dan menjinakkan masyarakat. Selain membahas tentang produksi budaya, teori kritis juga mengkritik instansi-instansi yang bertugas untuk memproduksi pengetahuan, seperti sekolah dan universitas. Bagi teori kritis, instansi-instansi ini telah berevolusi, dan memperluas pengaruh mereka di luar ranah pendidikan[9]. Bagi teori kritis, di era modern, ilmu pengetahuan telah dijadikan alat untuk menjustifikasi keputusan-keputusan publik yang menguntungkan penguasa.

Pemikir Teori Kritis
Teori kritis merupakan buah pemikiran dari beberapa tokoh besar yang mendirikan Institute for Social Research di Universitas Frankfrut pada tahun 1920. Tokoh-tokoh tersebut — yang karya-karyanya hingga saat ini masih terus dibahas di kalangan akademisi — adalah Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Erich Fromm[10]. Kritik-kritik yang ditampilkan dalam bagian sebelumnya dapat dikatakan sebagai representasi dari pemikiran tokoh-tokoh tersebut.

Selain keempat tokoh di atas, terdapat beberapa tokoh lain — yang disebut sebagai pemikir kritis generasi kedua dan ketiga — yang karya-karyanya turut memberi kontribusi signifikan terhadap perkembangan teori kritis, seperti Jurgen Habermas dan Axel Honneth.

Jurgen Habermas
Fokus dari pemikiran Habermas adalah komunikasi, topik yang kurang diperhatikan oleh Marx. Habermas menjelaskan bahwa kebangkitan media cetak memungkinkan orang-orang untuk berdiskusi di dalam “ruang” yang ia sebut sebagai ruang publik, atau public sphere. Dalam ruang-ruang ini, masyarakat dapat berdebat, bertukar argumen, hingga mengajukan klaim atas kebenaran.

Bagi Habermas, keberadaan public sphere akan membuat individu saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Namun secara kritis, Habermas melihat bahwa elemen-elemen masyarakat modern; mulai dari kapitalisme (pasar), negara, hingga organisasi-organisasi birokratis justru malah menghalangi dialog-dialog yang seharusnya terjadi di ruang publik, serta mendistorsi proses komunikasi dalam masyarakat.

Sebagai dampaknya, pemahaman antar individu (social understanding) menjadi sulit untuk diwujudkan[11].

Axel Honneth
Jika fokus dari pemikiran Habermas adalah komunikasi, Axel Honneth, yang merupakan murid Habermas, justru membahas topik yang cukup berbeda dari gurunya, yaitu pengakuan identitas. Honneth melihat bahwa setiap orang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Berangkat dari pemikiran Hegel, Honneth mengklasifikasikan tiga elemen utama pengakuan, yaitu cinta (love), penghormatan (respect), dan penghargaan (esteem).

Honneth menyatakan bahwa jika seseorang tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, maka orang tersebut akan merasa tidak dihormati (disrespect). Konflik dan perlawanan, menurut Honneth, terjadi akibat tidak diakuinya individu, atau kelompok tertentu, yang seharusnya mendapatkan pengakuan[12].

Teori kritis hadir sebagai kritik; baik terhadap fenomena, maupun teori-teori sosial yang dikemukakan oleh pemikir sosial terdahulu. Teori kritis memiliki dua gagasan utama, yaitu totalitas dan kritis. Lewat gagasan pertama, teori kritis mencoba untuk menjelaskan bahwa konflik dan perlawanan merupakan bagian yang inheren dalam masyarakat[13]. Lewat gagasan kedua, teori kritis mencoba menjelaskan bahwa teori ini lahir dari semangat untuk memahami sesuatu secara kritis — atau dengan kata lain — lahir dari semangat untuk mempertanyakan kembali bukti-bukti empiris yang diterima.

Catatan kaki
[1] Agger, Ben. Critical Theory, Poststructuralism, Postmodernism: Their Sociological Relevance. (Annual Review of Sociology 17,1991). Hlm. 105–131.
[2] Ritzer, George. Sociological Theory. (New York: McGraw-Hill, 2010). Hlm. 282.
[3] Ritzer, George, The Blackwell Encyclopedia of Sociology, (Massachusetts: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 873.
[4] Ibid., Hlm. 874.
[5] Ritzer, George. (2010). Op. cit. Hlm. 282–286.
[6] Ibid., Hlm. 283.
[7] Ibid., Hlm. 283–284.
[8] Ibid., Hlm. 284–285.
[9] Ibid., Hlm. 285–286.
[10] Ritzer, George. (2007). Op. cit. Hlm. 874.
[11] Ibid., Hlm. 876.
[12] Ritzer, George. (2010). Op. cit. Hlm. 294–296.
[13] Ritzer, George. (2007). Op. cit. Hlm. 874.
[14] Loc. cit.

Artikel ini dapat ditulis dan diterbitkan berkat bantuan dari kinibisa.com! Platform digital dengan misi mewujudkan generasi kompeten untuk Indonesia, di era digital. Akses portal kinibisa.com untuk mengetahui berbagai informasi menarik terkait insitusi pendidikan, beasiswa, profesi, dan masih banyak lagi!

--

--

Radian Arfi

A sociologist/anthropologist. A speck of dust in the tapestry of life.