Cerita Dari Padang Pasir Yang Tidak Padang Pasir-Padang Pasir Amat (Bagian 7)

E. Juaryo
4 min readOct 1, 2019

--

Bagi kalian yang belum baca cerita-cerita sebelumnya, bisa cek di sini ya.

Setelah beberapa minggu bekerja, teman-temanku mulai concerned dengan akomodasi. Memang perusahaan kasih kita 3 bulan buat tinggal di akomodasi ini, tapi kalo kami tetap tinggal di sini, housing allowance dipotong dari gaji. Dan besarannya lumayan.

Kalo kami tetap tinggal di sini lewat dari 3 bulan, maka kami mesti bayar sewa sendiri yang mahal banget itu. Jadilah kami mulai mencari tempat tinggal baru. Dan salah satu daerah yang banyak ditinggali karena murah dan banyak pilihan adalah di Batha.

Sebelumnya aku pernah sekali menginap di Batha, di tempatnya Agung. Ada mungkin 5 orang Indonesia lain tinggal di flat yang sama. Flat ini punya 1 kamar tidur besar, 1 living room, dapur, dan WC. Dan semua orang tidur di kamar yang sama, hanya di kasur masing-masing. Pun barang-barang pribadi sebisanya sesedikit mungkin, paling cuma baju yang dipakai kerja dan elektronik.

Aku kurang nyaman dengan pengaturan kaya gini, di pikiranku kan kost itu bisa 1 orang per kamar, but then again, harga sewa di sini gak semurah di Indonesia. Dan karena semua orang ke sini buat nyari duit, maka biasanya orang-orang gak keberatan buat korbanin privacy.

Singkatnya, kami berenam menemukan tempat baru ditambah satu orang Indonesia yang kerja sebagai representative dari salah satu bank di Indonesia, namanya Abu. Akomodasi ini di hotel tua bernama Al Darah Hotel. Jangan dipikirin kaya hotel sih, karena tempatnya parah banget.

Karena aku masuk pagi, aku tidak ikut proses pindahan. Baru setelah selesai kerja, aku datang. Dan ternyata.. lokasi hotel ini dikelilingi oleh.. TOKO SEPATU! WAA KALAAAP! Jadilah pas pertama dateng aku bukannya beberes barang tapi malah keliling-keliling window shopping doang karena belum gajian.

Batha ini semacam pasar serba ada di mana kita bisa nemu dari barang murah sampe merek terkenal diskonan, semua ada di Batha. Kebayang lah ya kalapnya aku pas liat Converse All Star x Kurt Cobain harga normal di sana.

BTW kami menempati 2 kamar. Kamar pertama dengan WC di dalam ditempati aku, Luqman, Abu, dan Rossi. Kamar kedua, tanpa WC di dalam, ditempati Yudi, Irfan, dan Deddy. Nanti kuperkenalkan satu persatu ya teman-temanku ini.

Kamar yang kutempati ini besarnya kira-kira 7x4 meter, sudah terpasang 4 ranjang besi sederhana, dan kasur busa yang tipis gak kira-kira. Lantai dilapisi karpet, kamar mandi keciiiil banget, dan gak ada lemari, jadi semua barang masih disimpan di koper masing-masing.

Dan ada alasan mengapa ranjang di sini kebanyakan terbuat dari besi. Yang pertama, karena lebih murah dan lebih awet. Kedua buat menghindari.. hhh.. kutu busuk. Si kutu busuk ini isu umum banget di mana-mana. Ada saatnya selama berbulan-bulan aku mesti tidur dengan para kutu sialan ini. Hiiiii.

Baiklah, kita kembali ke pekerjaan.

Suatu hari Senin, aku ingat sekali itu hari Senin karena 3 hal; yang pertama, hari Senin itu hari paling sepi. Kedua, cleaner libur. Ketiga, kunjungan dari District Manager selalu datang pada hari Senin. Aku bekerja bersama 1 supervisor orang Mesir, namanya Amr.

Dan memang tokonya sepi sih, sekitaran jam 10 pagi, ada buibu dateng dan pesan kopi, lalu duduk di salah satu meja. Gak lama dia pergi tanpa bilang apa-apa. Nah, berhubung ini hari Senin dan si Amr kuatir pak District Manager tau-tau muncul dan ngomel liat meja belum diberesin padahal sepi. Jadi dia buru-buru beresin mejanya.

Tak disangka, buibu-nya balik lagi, dan langsung marah-marah! “MANA MINUMAN SAYA? KENAPA DIBERESIN?! SAYA KAN CUMA KE ATM AJA SEBENTAR! KENAPA MESTI DIBERESIN?! SAYA GAK TERIMA!!”

Si Amr udah mati-matian minta maaf dan menjelaskan, juga menawarkan buat ganti minumannya, tapi si ibu gak mau mengerti. Dan dia lalu.. ke luar cafe naik ke lantai 1 dan literally teriak-teriak sepanjang mall. Di belakangnya si Amr dan petugas security ngejar-ngejar dia tapi gak bisa ngapa-ngapain, gak boleh pegang juga kan. Edan lah drama banget.

Aku yang ditinggal di toko juga bengong kan, gini banget drama hari ini. Lalu ada customer yang liat kejadiannya bilang, “Your friend is in big, big trouble”. Aku gak nanya persis gimana penyelesaiannya, tapi sekitaran setengah jam kemudian si Amr baru balik ke toko dengan muka kusut.

Ngomong-ngomong si Amr, dia ini orangnya agak gemuk, kulit gelap, keriting, dan.. bau. Bajunya aja bau apek. Ini aku bingung juga sih. Kalo di Indonesia kan lembap ya, sial-sialnya gak ada seragam lalu terpaksa sehari pake baju yang belum kering bener ya sudahlah. Tapi di sini itu jemuran indoor 2–3 jam kering lho. Heran kan?

Dia juga sotoy, dan suka gak mau denger pendapat dari orang yang lebih junior dari dia. Pokoknya si tahu segala deh.

Suatu hari, aku bilang kalo blender bau kebakar. Dia balik nanya, “Udah lapor Houssam (manager)?” “Udah.” “Dibikinin MR (Maintenance Request) gak?” “Gak tau.” Lalu dia kaya, “Gak lah, soalnya ngirit cost.”

Kemudian dia mulai bongkar blender-nya, yang terdiri dari casing dan mesin. Di sela-sela casing-nya emang kotor, “Nih, liat. Kotor. Makanya bau.” Dia selesai bersihkan top case, lalu keluarin mesin dari bottom case, yang dia bersihin juga. Udah nih.

Lalu dia mulai bersihin mesinnya.. di bawah keran. Beres nih, udah deh kinclong, dia lap-lap sampe kering, lalu assemble lagi, dan colokin mesinnya ke stop kontak. “Udah bersih nih”, dia pencet tombol power buat tes, dan lalu.. kesetrum dong?!

Dia kaget gitu dan sambil nahan malu nyuruh aku coba nyalain mesinnya, aku gak mau. Lagian tadi kan kubilang kalo blender ini bau kebakar, bukan bau yang lain. Hhh. Ada-ada aja orang sotoy emang.

Masih banyak lagi cerita soal kesotoyan ini orang sih, tapi nanti deh di bagian selanjutnya ya.

Thank you for reading, and stay tuned!

--

--