Kita Harus Selalu Siap Sakit Hati Kalau Punya Gangguan Mental

Intan Aprilia
4 min readMay 8, 2020

--

Buat kita yang didiagnosis dengan gangguan mental, mungkin ada rasa takut atau bahkan malu kalau kondisi itu diketahui orang lain.

Nah, gue sendiri nggak merasakan itu. Gue terlalu lega untuk merasa malu atau khawatir.

Gue lega banget saat diberi diagnosis oleh psikolog, karena gue jadi tahu bahwa kondisi mental gue tuh punya nama dan sangat normal terjadi.

Rasa lega itu yang bikin gue jadi mikir betapa pentingnya kita ke psikolog untuk mendapatkan diagnosis dan terapi yang tepat.

Gue pun membagikan sekilas pengalaman ke psikolog dan anxiety disorder gue di Instagram.

Dari situ, ada berbagai respon yang gue dapatkan dari orang-orang yang akhirnya tahu kalau gue punya gangguan mental.

1. Bingung

Photo by Trung Thanh on Unsplash

Respon bingung atau kaget biasanya gue terima secara langsung. Jadi ada orang yang bilang ke gue, “Tapi nggak keliatan lho, Tan.”

Seakan-akan gue harus murung setiap hari baru bisa dibilang punya gangguan mental 😅.

Gue berfungsi seperti orang-orang pada umumnya kok. Kerja, jalan-jalan, kadang punya bad days, kadang punya good days.

Namun, bad days gue sedikit berbeda karena gue bisa cemas nggak karuan, jantung berdebar kencang, nangis tanpa sebab, susah tidur, sampai garuk-garuk atau ngegoyang-goyangin kaki tanpa henti karena gelisah berlebihan.

2. Ngentengin

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Reaksi ini mungkin diterima oleh banyak orang. Oversimplified atau ngentengin adalah salah satu penyebab yang bikin kita malas cerita sama orang tentang gangguan mental.

“Yaelah gitu doang” atau “Orang lain masih banyak yang lebih sengsara” adalah dua di antara respon yang ngegampangin kondisi kesehatan mental seseorang.

Gue pernah mendapatkan komentar dari beberapa orang, “Sekarang sudah bisa tidur, Tan?”

Komentar itu sejujurnya bikin gue bete karena yang gue alami nggak sesederhana susah tidur. Tapi psikolog gue mengingatkan kalau kita harus merendahkan ekspektasi terhadap pemahaman orang lain tentang kondisi mental yang kita punya.

Jangan berharap semua orang akan mengerti, karena nggak akan ada yang benar-benar paham kecuali diri kita sendiri.

Kalau mau, ya kita bisa menjelaskan ke mereka, tapi kalau gue sendiri sih malas. Gue akan cerita lengkap cuma ke orang-orang yang gue percaya saja.

Gue juga pernah kok, kecewa sama salah satu respon sahabat gue. Namun, karena kita berdua orang dewasa, gue pun berkomunikasi dengan jujur ke dia kalau gue berharap mendapatkan reaksi yang berbeda.

Dari situ, kita jadi ngobrol lebih jauh dan gue tahu bahwa dia terkesan menggampangkan bukan karena dia nggak care, tapi karena dia takut salah dan takut menyinggung gue.

Gue pun jadi lebih terbuka saat cerita sama dia dan dia jadi lebih sabar menghadapi one of my bad days.

3. Penasaran

Photo by Roberto Nickson on Unsplash

Gue tahu mana orang yang bertanya hanya karena penasaran dan mana yang bertanya karena memang perhatian.

Gue pun merespon keduanya dengan berbeda. Kalau dia cuma penasaran saja, gue akan jawab sesingkat mungkin supaya nggak bikin diri sendiri capek. Gue bukan sebuah fenomena unik yang harus digali asal usulnya.

Namun, buat orang yang benar-benar care dan memang penting di hidup gue, gue akan menjawab semua pertanyaan dari mereka selengkap mungkin.

4. Malah curhat

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Nah, jenis yang auto curhat juga banyak nih. Biasanya curhat di DM Instagram atau di chat WhatsApp, baik teman yang dekat maupun orang yang cuma sekadar kenal.

Mereka jadi cerita banyak tentang kondisi yang mereka alami, bahkan nanya “Gue kenapa ya?”

Pertanyaan itu tentunya nggak bisa gue jawab, jadi biasanya gue langsung menganjurkan mereka ke psikolog.

Sejujurnya, gue juga menjawab tergantung mood. Ada yang gue juga jawab dengan panjang, ada yang gue jawab sekadarnya.

Biasanya yang gue jawab sekadarnya adalah yang sudah berkali-kali curhat hal yang sama ke gue atau bertanya hal yang sama terus-terusan, tapi nggak kunjung melakukan apa-apa.

Gue nih nggak bisa memberi solusi lho, jadi sebaiknya memang kalian langsung konsultasi ke psikolog.

Sebagai orang yang punya gangguan mental, kita memang harus siap sakit hati dan kecewa.

Gue saja masih suka sedih kok denger orang yang selewat ngomong, “Ngapain ke psikolog, emang gue gila?”

Meski konteksnya bercanda, tapi it hits too close to home buat gue.

Namun, balik lagi, jangan berharap semua orang paham sama kondisi kita dan yang paling penting, jangan jadikan gangguan mental sebagai alasan.

Di sini pentingnya ke psikolog, supaya kita tahu kita tuh kenapa dan gimana cara mengendalikannya supaya kita nggak dikontrol oleh gangguan mental tersebut.

Kita juga nggak harus memberi tahu orang lain tentang kesehatan mental kita, karena kendali itu ada di tangan kita.

Jadi kalau belum siap untuk cerita ke orang lain, nggak masalah kok, simpan saja dulu sampai benar-benar siap.

--

--

Intan Aprilia

banyak pikiran selama work from home. follow me on instagram @intanapriliaibr