Review Buku: In Defense of Witches

Meutia Faradilla
5 min readJul 2, 2023

--

Salah seorang kenalan menyarankan saya untuk membaca buku In Defense of Witches-nya Mona Chollet di akhir bulan Mei yang lalu. Ketika saya bertanya apakah buku tersebut masuk ke genre fiksi atau nonfiksi, jawaban dari kenalan saya itu langsung memantik ketertarikan saya. “Non- intinya dia mendekonstruksi ide-ide modern yang berasal dari masa yang jauh lebih misoginis …”. Wah premisnya menarik sekali, semacam konsep full circle dalam kehidupan. Mulailah saya membaca buku Mona Chollet ini.

Ada 4 bab dalam buku ini yang mendekonstruksi konsep keperempuanan yang dikaitkan dengan tuduhan penyihir terhadap perempuan di masa lalu. Bab pertama menyoal pernikahan, bab kedua menyoal tentang peran sebagai ibu, bab ketiga soal penuaan, dan bab keempat tentang kaitan alam dan ilmu dengan keperempuanan. Dalam bab pertama, Mona Chollet banyak mengambil contoh dari kehidupan Gloria Steinem yang menjadi contoh bahwa menjadi feminis bukan berarti harus menjadi lesbian atau perempuan pemarah yang hidup sendiri (atau hidup bersama dengan kucing peliharaan). Steinem semasa hidupnya sangat aktif, lincah, dan memiliki banyak pasangan. Ia bahagia dengan kehidupannya dan ia adalah seorang feminis. Karena pada saat itu tudingan terhadap kaum feminis adalah mereka yang tidak bahagia karena tidak bisa mendapatkan pasangan lelaki atau feminis adalah perempuan lesbian. Steinem adalah kontradiksi dari tudingan tersebut. Dalam bab ini juga dijelaskan bahwa perempuan lajang merepresentasikan kemandirian yang sangat jelas dan nyata. Dan ini membuat sang perempuan lajang menjadi figur yang intimidatif yang mudah dibenci oleh orang lain, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Apa kaitannya dengan penyihir? Zaman perburuan penyihir, perempuan lajang akan dituduh sebagai penyihir dan antek setan karena status pernikahannya. Hal ini menyerang gadis yang belum menikah atau janda. Karena kembali seperti yang telah dikatakan sebelumnya, perempuan yang melajang adalah perempuan yang mandiri. Perempuan yang mandiri ditakuti. Padahal perempuan mandiri bukan tidak mau memiliki hubungan, hanya saja ia tak mau membuat ikatan yang menciderai kebebasannya untuk memilih dan bertidak (yang kalau dibandingkan dengan institusi pernikahan tradisional, tentu saja yang terakhir ini sangat memenjarakan perempuan). Dalam hal inilah feminisme meminta kita memikirkan ulang konsep hubungan, terutama pernikahan. Perempuan berhak berdaya dengan diri mereka masing-masing tanpa kekangan dari gender yang berlawanan (bila mengikut hubungan cisheteronormatif). Perempuan berhak punya mimpi dan mewujudkan mimpinya baik sebelum maupun saat memiliki relasi dengan lawan jenis.

The more patriarchal and gender-polarized a culture is, the more addicted to romance -Gloria Steinem

Pada bab dua, Chollet mengajak kita berpikir ulang tentang konsep ibu dan keibuan. Saat ini, meski kita sudah tidak aneh lagi mendengar ada perempuan yang tidak ingin memiliki anak, tapi perlawanan masyarakat terhadap keinginan tersebut masih sangat besar. Seolah-olah karena perempuan diciptakan bersama seperangkat organ untuk reproduksi, maka ia mutlak harus menggunakannya untuk menghadirkan manusia lain ke muka bumi ini. Bahkan, meskipun perempuan tidak atau belum menjadi ibu, banyak hal yang terkait dengan peran dan pekerjaannya diasosiasikan dengan keibuan. Hal ini saya bahas sedikit di hasil kontemplasi saya setelah membaca bab 2 ini: Perlukah Perempuan Menjadi Ibu Sosial? Yang menarik adalah beberapa perempuan yang tegas mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menjadi ibu, sebenarnya adalah perempuan yang memiliki rasa keibuan yang tinggi. Mereka sangat menyukai anak-anak. Hanya saja pengalaman keibuan yang dilihat tidak membuat mereka tertarik untuk turut serta menjadi seorang ibu. Belum kalau menimbang faktor lain seperti finansial, politik, pendidikan, dan perubahan iklim. Dan harusnya perempuan tidak dipaksa atau dimanipulasi untuk tetap memiliki anak. Biarkan mereka memilih sendiri jalannya. Dan pilihan menjadi ibu atau tidak adalah hak seorang perempuan (terutama di budaya di mana perempuan sendiri lah yang akan bersusah payah mengurus anak).

Sementara itu, bab 3 membahas tentang fenomena penuaan pada perempuan. Saya juga menulis hasil kontemplasi saya terhadap bab ini pada tulisan yang berjudul Perempuan yang Menua. Chollet memberikan beberapa contoh di mana perempuan dilarang menua dalam masyarakat kita. Mulai dari penjualan kosmetik untuk mencegah penuaan, sampai perbedaan sikap pada perempuan yang lebih tua yang berpasangan dengan lelaki yang lebih muda. Perempuan yang menua juga bila tidak disegani, akan cukup ditakuti oleh masyarakat, karena ia punya agency-nya sendiri. Ia sudah bebas dari kesibukan mengurus anak dan keluarga dan karena agency-nya tersebut ia bisa lebih lantang menyuarakan pendapatnya. Hal ini terjadi juga di masa silam, di masa perburuan penyihir. Akibatnya, di masa tersebut, perempuan tua sering dituduh sebagai penyihir karena mereka adalah antitesis dari sikap perempuan yang diinginkan (penurut, pendiam, mudah disetir).

Bab akhir ini meliputi dua bahasan utama sebenarnya. Tentang kaitan antara alam dan perempuan yang kemudian berkaitan pula dengan kesehatan. Perempuan selalu menjadi garda terdepan dalam proses pengobatan sejak zaman dahulu kala. Perempuan lah yang menyimpan dan merawat ingatan tentang proses pengobatan, ramuan yang digunakan dalam penyembuhan, dan bagaimana merawat pasien yang sakit. Sehingga, menghilangkan alam sebenarnya juga berarti menghilangkan peran perempuan. Karena mencabut keterhubungan antara perempuan dan alam. Mencabut juga proses penurunan ingatan tentang ramuan-ramuan tersebut. Apa kaitannya dengan kesehatan? Ketika ilmu kesehatan mulai berkembang, hanya laki-laki yang dibolehkan untuk mengaksesnya, dengan alasan bahwa perempuan tidak punya kapasitas yang cukup untuk mempelajari ilmu kesehatan. Akibatnya selama ratusan tahun, ilmu kesehatan hanya diisi oleh laki-laki yang sama sekali tidak betul-betul memahami pengalaman biologis perempuan. Belum lagi mereka juga tidak berempati dengan apa yang dialami oleh perempuan. Dan ini terwariskan betul hingga saat ini. Bahkan dalam praktik kedokteran hari ini, perempuan masih saja diabaikan dan dilepeh pengalamannya.

Terkait tentang alam, alam dan perempuan sama-sama dianggap liar sehingga ada anggapan bahwa keduanya harus ditaklukkan dan dijinakkan. Alam harus dijinakkan agar bisa dimanfaatkan dan dieksploitasi sedemikian rupa. Begitu juga dengan perempuan. Harus diikat dalam suatu ikatan agar dapat dimanfaatkan. Inilah juga yang dipandang sebagai keterhubungan antara alam dan keperempuanan oleh para ecofeminist.

Membaca buku ini benar-benar menyegarkan pikiran saya. Konsep yang didekonstruksi bukan konsep yang baru, dan dekonstruksinya juga bukan sesuatu yang belum pernah saya dengar sama sekali. Namun, saya senang saya diingatkan untuk memeriksa lagi perspektif dan pandangan yang saya miliki tentang berbagai konsep tersebut. Misalnya ketika saya jadi menyadari dan bertanya apakah saya perlu menjadi ibu sosial? Apakah saya perlu keibuan? Apakah tidak cukup menjadi manusia yang baik saja? Mengapa harus ada identitas keperempuanan yang saya tonjolkan dalam peran saya sehari-hari? Atau ketika sampai pada topik penuaan, saya juga jadi berpikir ulang tentang usia yang telah dicapai, pencapaian yang sudah dicapai dan ingin dicapai, dan apakah karena keperempuanan saya semua itu terhubung atau akan terhenti suatu hari nanti.

Buku ini akan sangat menarik sekali bila dibaca bersama dalam satu klub baca buku untuk kemudian didiskusikan. Semoga teman-teman perempuan bisa mendiskusikannya suatu hari nanti. Entah melalui diskusi langsung atau melalui tulisan-tulisan pribadi.

--

--