Electoral College #3: Lahir dari Kompromi

Seno Adirespati
Akar/Ranting
Published in
6 min readDec 9, 2020
Scene at the Signing of the Constitution of the United States oleh Howard Chandler Christy (1940). Sumber: https://cutt.ly/ShEVBg5

Pemilihan Presiden AS melalui electoral college unik dan mempunyai proses yang berbeda dari yang kita kenal di Indonesia. Dikarenakan keunikannya, electoral college sering kali mendapatkan kritik dan sorotan dari publik. Salah satu contohnya adalah pada saat Pilpres AS 2016, yaitu saat Hillary Clinton mendapatkan suara terbanyak dari rakyat (popular vote), tapi Donald Trump lah yang pada akhirnya menjadi Presiden AS karena berhasil memenangkan suara electoral college.

Keunikan proses Pilpres melalui electoral college serta pro dan kontranya menimbulkan pertanyaan: Bagaimana ya sistem seperti ini bisa muncul di AS pertama kalinya? Kenapa AS tidak mengadopsi sistem Pilpres secara langsung yang lebih simpel?

Pertanyaan inilah yang akan kita coba jawab secara singkat pada kesempatan ini. Kita juga akan lihat bagaimana kelahiran electoral college ini diwarnai perdebatan dari berbagai pihak yang punya kepentingannya masing-masing.

Kenapa tidak pemilihan langsung?

Pada saat Konstitusi AS dirancang pada tahun 1787 (Constitutional Convention di Philadelphia), mayoritas delegasi negara bagian tidak menyepakati Pilpres secara langsung.

Dapat dikatakan bahwa hanya terdapat satu delegasi yang memperjuangkan Pilpres secara langsung di AS, yaitu James WilsonHakim Agung dan salah satu founding fathers AS, bukan mantan pemain sepak bola Manchester United. Wilson meyakini bahwa Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat berperan penting sebagai simbol dan eksekutor dari “we the people” — frasa pembuka dari bagian pembukaan Konstitusi AS.[1]

James Wilson oleh Henri Elouis (c. 1792). Sumber: https://cutt.ly/DhRdGe7

Salah satu alasan penolakan usulan ini adalah pandangan bahwa warga negara biasa pada umumnya terlalu mudah dipengaruhi/dibodohi dan suara mereka dapat mudah dimanipulasi. Namun, pandangan ini sebenarnya hanyalah pandangan minoritas dari beberapa delegasi saja.[1]

Hampir seluruh delegasi menganggap bahwa luasnya wilayah AS akan mempersulit rakyat/pemilih untuk dapat memutuskan pilihannya dengan baik dan benar. Bagaimana caranya pemilih di suatu negara bagian dapat mengetahui dan mengenal kualitas kandidat yang berasal dari negara bagian lainnya? [1]

Walaupun teknologi percetakan dan surat kabar sedang berkembang pesat, perlu diingat bahwa pada saat itu masyarakat mendapatkan informasi dari surat kabar yang masih bersifat lokal. Surat kabar pun kebanyakan berisikan iklan. Bagaimana caranya pemilih dapat mengenal kandidat Presiden apabila hanya melalui surat kabar lokal?[1]

Ingat, telegram, radio, televisi, apalagi internet, masih belum ada. Transportasi pun masih mengandalkan kuda, karena kereta api masih belum ditemukan. Makanya, informasi dan berita dari tempat yang jauh tidak bisa bersifat aktual.

Teknologi. Sumber: http://gph.is/1536b9s

Pemilihan tidak langsung, tapi…

Para delegasi juga mempertimbangkan sistem pemilihan tidak langsung melalui badan legislatif/parlemen nasional (Kongres AS atau salah satu kamar di Kongres) atau parlemen negara bagian (state legislature). Namun, opsi ini ditakutkan akan membuat Presiden menjadi tunduk kepada badan legislatif nasional/negara bagian dan memberikan kekuatan yang terlalu besar kepada badan legislatif tersebut.[1]

Para delegasi pada akhirnya menyepakati sistem yang nantinya dikenal sebagai electoral college. Sistem ini diusulkan oleh James Wilson dan dianggap sebagai jalan tengah dari pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung melalui parlemen.

Melalui sistem ini, tanggung jawab utama pemilihan berada di tangan electors, bukan di tangan warga biasa. Tapi, warga biasa tetap mempunyai peran dalam pemilihan Presiden. Sistem ini juga memastikan pemisahan kekuasaan antara lembaga legislatif dan eksekutif. Wilson meyakini bahwa Presiden harus menjadi perwujudan keseluruhan AS sebagai kesatuan, termasuk warga negaranya, bukan hanya perwujudan 13 negara bagian yang terpecah-pecah.[1]

Thirteen Colonies, cikal bakal Amerika Serikat. Sumber: https://cutt.ly/AhRgEwG

Jalan Tengah: Dua Kompromi Besar

Perdebatan yang terjadi antara para delegasi perancang Konstitusi AS tentunya diwarnai oleh kepentingan masing-masing negara bagian. Terdapat negara bagian dengan populasi kecil dan populasi besar. Lalu, terdapat pula negara bagian yang sudah meniadakan perbudakan dan yang masih melakukan praktik perbudakan. [1]

Agar Konstitusi baru dapat disepakati oleh para delegasi negara bagian, harus ada beberapa kompromi yang dibuat. Sistem electoral college sendiri sangat dipengaruhi oleh dua kompromi (“Connecticut Compromise” dan “Three-fifths Compromise”), karena berpengaruh pada jatah electors yang didapat oleh negara bagian.[2]

Connecticut Compromise menyamaratakan jumlah senator negara bagian yang memiliki populasi besar dengan negara bagian yang memiliki populasi kecil (2 senator per negara bagian). Kompromi ini memastikan agar suara dari negara bagian berpopulasi kecil tidak kalah di tingkat nasional.[2]

Sementara itu, Three-fifths Compromise berpengaruh terhadap pembagian jatah kursi negara bagian di DPR AS. Negara bagian yang mempraktikkan perbudakan ingin memasukan populasi budak ke dalam perhitungan populasi negara bagiannya, agar mendapatkan jatah kursi yang lebih di DPR AS. Namun, negara bagian anti-perbudakan tidak dapat menyetujuinya, karena negara bagian pro-perbudakan hanya menganggap budak sebagai properti dan mereka hanya dihitung sebesar tiga perlima untuk ketentuan perpajakan. Pada akhirnya, disepakati bahwa budak akan dihitung sebagai tiga perlima dari orang merdeka untuk penghitungan populasi.[1]

Sedikit catatan, kompromi Three-fifths Compromise ini sebenarnya sudah dihapuskan melalui Amendemen ke-14 Konstitusi AS (1866, diratifikasi pada 1868) pasca-Perang Saudara Amerika. Perbudakan pun juga telah dihapuskan melalui Amendemen ke-13 Konstitusi AS (1865). Walau demikian, warga negara AS yang baru merdeka dari perbudakan (khususnya warga keturunan Afrika) dan keturunannya seringkali dihambat peraturan diskriminatif sehingga tidak dapat memilih, walaupun sudah ada perlindungan secara formal melalui Amendemen ke-15 Konstitusi AS. Hal ini terjadi hingga tahun 1960-an, saat gerakan hak-hak sipil mendominasi AS.[3]

Kedua kompromi di atas dianggap berpengaruh terhadap bertahannya electoral college hingga hari ini. Secara singkat, upaya peniadaan sistem electoral college telah beberapa kali terjadi. Namun, upaya ini berkali-kali digagalkan oleh perwakilan dari negara-negara bagian selatan AS dan politisi yang mendapatkan kekuatan politiknya dari sistem electoral college yang dipengaruhi kedua kompromi di atas.[3]

Berkaitan dengan sejarah dan kompromi di atas, electoral college juga katanya mempunyai bias rasial karena menguntungkan orang kulit putih. Masa sih? Gimana ceritanya? Hal ini, bersama dengan upaya-upaya perubahan/peniadaan electoral college akan kita bahas pada kesempatan lain.

Tentunya, selama ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh electoral college, perdebatan mengenai sistem ini akan terus berlanjut. Diskursus mengenai electoral college tidak berhenti pada saat perumusannya dan terus mewarnai dinamika demokrasi AS hingga saat ini:

Tim Pro:

https://twitter.com/realDonaldTrump/status/798521053551140864

Tim Kontra:

https://twitter.com/realDonaldTrump/status/266038556504494082?s=20

Hehe, just kidding, ini tim Kontra:

https://twitter.com/BernieSanders/status/1325552771467251712?s=20

Sebagai negara federasi, AS dibentuk dari negara-negara bagian. Sistem ketatanegaraan di AS berusaha untuk menyeimbangkan peranan individu masyarakat (melalui pembagian kursi di DPR AS) dan peranan negara bagian (melalui pembagian kursi di Senat AS). Presiden AS yang dipilih melalui electoral college dapat dikatakan melambangkan dua peranan tersebut.

Walaupun memiliki sistem yang cukup unik, sistem tersebut tidaklah thoughtless dan memiliki sejarah yang tidak lepas dari konteks waktu, wilayah, dan kondisi sosio-politik AS. Tentu saja, seperti yang telah disinggung sebelumnya, sistem ini bukanlah tanpa kontroversi dan konsekuensi. Perdebatan pro-kontra electoral college yang sudah berlangsung selama lebih dari 200 tahun ini juga diwarnai beberapa upaya untuk menghapus, atau setidak-tidaknya mengelabui sistem ini. Mengelabui? Iya, beberapa negara bagian menemukan cara untuk “meminimalisasi dampak” electoral college tanpa harus mengamendemen Konstitusi AS.

Wah, ternyata kompleksitas electoral college tidak berhenti di sini aja. Ada beberapa isu lain yang juga menyertainya, seperti argumen bahwa sistem ini kurang demokratis, fokus kampanye yang berlebih hanya ke beberapa negara bagian tertentu, dan kemungkinan manipulasi dari faithless electors (lihat artikel 2). Hal-hal ini akan kita bahas secara fokus dalam artikel yang terpisah.

Referensi

[1] Beeman, Richard. Plain Honest Men: The Making of the American Constitution. New York: Random House, 2009.

[2] Estes, Todd. “The Connecticut Effect: The Great Compromise of 1787 and the History of Small State Impact on Electoral College Outcomes.” The Historian 73, Issue 2 (Summer 2011). Hlm. 255–283.

[3] Keyssar, Alexander. “How Has the Electoral College Survived for This Long?” The New York Times. https://www.nytimes.com/2020/08/03/opinion/electoral-college-racism-white-supremacy.html.

--

--