Kisah Seorang Backend Developer Codex yang Telah Belajar Programming Sejak Bangku SMP

Cita Nurani Lestari
codexstories | CODEX Telkom
4 min readFeb 26, 2019

--

Junior Backend Developer Codex, Rahmat Albariqi (kanan)

Apa sih yang terlintas di kepala kalian saat mendengar pertanyaan “Bagaimana cara membuat sebuah produk yang berkualitas?” Dari hasil googling, saya menemukan jawaban yang bervariasi untuk pertanyaan tersebut, mulai dari strategi yang baik, pemilihan ways of working, hingga sekadar tip & trik.

Namun dari seluruh jawaban tersebut, ada satu hal yang menurut saya paling penting, yaitu people alias orang di balik pembuatan produk tersebut.

Apa alasannya? Sederhana saja, karena yang akan menjalankan strategi pembuatan produk tersebut adalah people alias Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di baliknya.

Dalam sebuah organisasi, people merupakan orang-orang yang memiliki kesamaan atau kecocokan, hingga membentuk sebuah culture (budaya). Secara tidak disadari, jika kita ingin menilai budaya kerja sebuah perusahaan, maka kita dapat melihat bagaimana kualitas orang-orang di dalamnya.

Begitu juga dengan Codex. Apa pun yang ingin kalian ketahui tentang Codex, bisa kalian temukan jawabannya dengan cara melihat siapa saja orang yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana kualitas mereka. Karena itu, kami langsung menemui salah satu Junior Backend Developer Codex, Rahmat Albariqi, untuk menceritakan pengalamannya sebagai hacker dan anggota tim Codex dalam artikel ini.

Sejak kapan kamu bergabung dengan Codex?

Saya bergabung dengan Codex sejak bulan November 2018.

Saat ini proyek apa yang sedang kamu kerjakan di Codex?

Di Codex saya sedang mengerjakan proyek Talent Management System sebagai Backend Developer.

Apa pekerjaan kamu sebelum bergabung dengan Codex?

Sebelumnya kegiatan saya hanya kuliah. Tapi ketika kuliah saya sempat menjadi freelancer untuk beberapa project.

Bahasa pemrograman apa saja yang kamu kuasai?

Saya menguasai Javascript, tapi juga tertarik untuk belajar Python, Golang, dan Elixir.

Photo by Steve Halama on Unsplash

Usia kamu saat ini masih relatif muda, bagaimana cara kamu belajar programming?

Dari dulu saya memang suka dengan komputer dan logika. Ketika SMP, saya pernah membuat game dengan menggunakan RPG Maker, sampai mencoba Adobe Flash. Ketertarikan saya terus berlanjut, hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil jurusan Ilmu Komputer. Dan alhamdulillah, ilmu terkait programming saya bertambah, baik teori maupun praktik.

Apa yang membuat kamu tertarik pada dunia programming?

Menurut saya, programming bisa mewujudkan ide-ide yang kita miliki. Selain itu, programming sangat berkaitan dengan logika dan saya merasa itu yang bikin makin seru, dan itu nggak membuat saya bosan.

Stack apa saja yang kamu gunakan untuk membangun Talent Management System?

Yang pasti Javascript. Tapi tidak hanya itu, kami juga pake GraphQL. Sementara itu, untuk database kita menggunakan MongoDB. Rencananya, untuk mekanisme cache kami akan menggunakan Redis.

Dari mana ide pemilihan stack tersebut muncul?

Kebanyakan sih dari cerita teman-teman dan artikel-artikel yang membandingkan beberapa stack terkait, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Berdasarkan hal-hal tersebut, kami evaluasi apakah cocok dengan proyek yang sedang dikerjakan atau tidak.

Apa alasan akhirnya memilih stack tersebut untuk pengembangan aplikasi?

Berdasarkan hasil evaluasi oleh tim, kami menyimpulkan bahwa Javascript, GraphQL, dan MongoDB sudah terbukti mampu mengatasi permasalahan, seperti komunikasi antara frontend dan backend, yang pernah juga dialami oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Facebook dan PayPal. Dan senangnya lagi, ternyata salah satu stack tersebut sudah cukup saya pahami.

Tantangan apa saja yang dihadapi ketika menggunakan stack tersebut?

Cepatnya perkembangan teknologi akan mempengaruhi versioning dari stack tersebut. Oleh karena itu, kami harus siap untuk belajar hal-hal baru terkait teknologi stack tersebut agar mampu memanfaatkan fitur-fiturnya secara optimal.

Bagaimana cara menyelesaikan tantangan tersebut?

Saya kira, kami harus lebih teliti. Karena ketika muncul versi baru atas stack tersebut maka ada kemungkinan fungsinya juga berubah dan hal ini akan mempengaruhi input/output pada aplikasi yang sedang dibuat.

Apa yang membuat suasana bekerja menjadi nyaman dan terus semangat untuk menyelesaikan proyek ini?

Saya senang di Codex karena kami dapat menentukan stack dalam menyelesaikan proyek ini melalui proses diskusi dengan seluruh tim. Dengan cara tersebut, seluruh anggota tim mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga dapat mencari solusi terbaik. Kondisi ini membuat saya dan teman-teman menjadi nyaman dalam bekerja.

Selain itu, solusi yang akan diberikan oleh aplikasi Talent Management System ini cukup besar bagi perusahaan karena bersifat revolusioner sehingga saya semangat untuk menyelesaikannya.

Townhall Codex

Bagaimana pendapat kamu tentang lingkungan kerja di Codex secara khusus dan Telkom pada umumnya? Apakah lingkungan kerja seperti ini cocok bagi para developer?

Sangat cocok! Di Codex, developer punya andil dalam berbagai aspek pengembangan proyek. Saya dan tim tidak hanya diminta “membuat software”, namun juga diberi kesempatan untuk memberikan ide dan pendapat mengenai proyek yang dikerjakan.

Di samping itu, sebagai developer, kami dapat bekerja di mana pun, tidak perlu di kantor. Nah, ways of working dari Codex ini sangat developer friendly karena saya dan tim diizinkan untuk bekerja remote ketika berhalangan hadir ke kantor. Secara keseluruhan, saya sangat puas dengan lingkungan Codex yang startup banget!

Itulah sedikit cerita tentang seorang Backend Developer di Codex yang telah begitu ahli dalam dunia programming meski masih berusia sangat muda. Setelah ini, akan ada cerita-cerita baru yang tidak kalah menariknya dari anggota tim Codex yang lain. Jangan sampai ketinggalan ya!

--

--