Bagaimana Menafsirkan Ideologi dalam Karya Sastra?

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
10 min readMay 7, 2024

Secara singkat dapat dikatakan bahwa ideologi adalah makna-makna yang telanjur diserap dan dibenarkan oleh individu melalui proses pengalaman dan perkembangannya dalam kehidupan masyarakat di suatu zaman tertentu. Karena berlangsung dalam proses ketelanjuran sosial, ideologi cenderung bersifat tidak disadari lagi oleh individu yang menyerapnya. Ideologi bersemayam di wilayah pra-anggapan dalam diri seseorang. Intinya, ideologi adalah ketaksadaran sosial yang berlangsung dalam diri individu.

Istilah “ketaksadaran” secara khusus pada mulanya diperkenalkan oleh teori psikoanalisis. Namun, konsep ketaksadaran dalam psikoanalisis hanya mengacu pada pengalaman traumatis dalam proses perkembangan psikis individu. Nah, ketaksadaran dalam konteks teori ideologi ini mengacu pada ketaksadaran sosial, yaitu kondisi individu yang tidak atau belum menyadari bagaimana proses sejarah dan struktur sosial-ekonominya telah memengaruhi penyerapan makna-makna yang dianggapnya benar.

Kita ambil contoh. Ketika seseorang mengalami atau berada dalam realitas hubungan yang timpang antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan di dalam masyarakatnya, dia bisa saja memiliki pra-anggapan begini: “Perempuan ‘kan memang seharusnya lebih rendah daripada laki-laki.” Pra-anggapan seperti ini termasuk dalam apa yang disebut sebagai ideologi patriarki. Jika pra-anggapan seperti ini dianggap benar atau dibenarkan dalam masyarakat tersebut sehingga sudah menjadi sikap atau nilai-nilai yang dianggap wajar atau normal, maka dapat dikatakan bahwa pra-anggapan tersebut sudah menjadi ideologi dominan.

Proses pembenarannya bisa berlangsung dengan berbagai cara, misalnya dengan membangun alasan bahwa perempuan itu makhluk yang lemah secara fisik, bahwa perempuan kurang cerdas dibanding laki-laki, bahwa perempuan lebih emosional sedangkan laki-laki lebih rasional, dan sebagainya. Berbagai alasan bisa dicari untuk mendukung proses pembenaran tersebut. Apapun alasannya, sejauh itu berpengaruh dalam masyarakat, maka alasan itu akan dianggap benar. Jika pengaruhnya sedemikian kuat dan besar dalam suatu masyarakat, maka semakin kuatlah pengaruh ideologi dominan tersebut.

Karl Marx mengibaratkan ideologi seperti proses penglihatan terbalik dalam camera obscura. (Photo by Tim Mossholder on Unsplash)

Ketimpangan dalam masyarakat tentu saja tidak hanya menyangkut hubungan gender, tetapi juga hubungan rasial, hubungan antar-etnis, antar-agama, antar-kelas sosial, antar-generasi, dan sebagainya sejauh berkenaan dengan hubungan antar-kelompok sosial dalam masyarakat. Ideologi dapat berfungsi untuk membenarkan atau memaklumi ketimpangan-ketimpangan sosial itu.

Namun, ideologi dominan tidaklah selalu efektif untuk berkuasa sepenuhnya karena pada dasarnya tidak ada satupun masyarakat di dunia ini yang benar-benar homogen. Masyarakat di mana pun selalu heterogen. Bahkan, masyarakat yang kelihatannya sangat homogen sekalipun, tetap saja ada unsur-unsur atau kelompok-kelompok yang berbeda atau bertentangan di dalamnya. Hanya diperlukan pengamatan yang cukup jeli, kita akan menyaksikan betapa masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda. Karena itu, ideologi dominan akan selalu dipertanyakan kebenarannya oleh kelompok-kelompok yang beragam di dalam masyarakat. Maka, terjadilah pergulatan ideologi yang terus-menerus. Pergulatan ideologi itulah yang bisa menjadi salah satu faktor dalam mendorong perubahan sosial.

Misalnya, ideologi patriarki dipertanyakan kebenarannya oleh ideologi feminis, ideologi rasial dipertanyakan kebenarannya oleh ideologi kesetaraan ras, ideologi kapitalis dipertanyakan oleh ideologi sosialis, ideologi generasi tua dipertanyakan kebenarannya oleh generasi muda, dan seterus. Singkat kata, di dalam sebuah masyarakat selalu ada kelompok yang mendukung kesenjangan sosial (kelas-gender-generasi-ras), di satu pihak, dan ada yang menolaknya di pihak lain. Ada yang pro pada kesetaraan sosial, ada yang kontra. Selain itu, ada pula yang melakukan negosiasi di antara keduanya. Pergulatan di antara berbagai pihak ini akan terus-menerus berlangsung dalam berbagai bentuknya dan setiap zaman memperlihatkan bentuk dan cirinya yang berbeda-beda pula.

Nah, dalam situasi seperti ini, bagaimana kita memahami kedudukan karya sastra? Dengan kata lain, bagaimana kita mengkaji hubungan karya sastra dengan konteks pergulatan ideologi dalam masyarakat? Itulah yang akan saya bahas lebih lanjut dalam esai ini.

1. Bagaimana Ideologi Tersimpan dan Beroperasi dalam Karya Sastra?

Untuk menjawab persoalan ini kita perlu membedakan dulu antara teks dan wacana. Sebuah karya sastra, misalnya puisi, bisa saja terdiri dari tiga bait atau empat bait, yang masing-masing baitnya terdiri dari tiga baris atau empat baris. Penyair lainnya mungkin saja membuat variasi yang berbeda dalam jumlah bait dan baris puisinya. Bagaimanapun perbedaan variasinya, sebuah puisi tetaplah dibangun melalui baris dan bait. Nah, secara teknis kita bisa mengatakan bahwa baris dan bait itulah yang membangun TEKS puisi tersebut.

Selain itu, teks puisi ternyata tidak hanya dibangun oleh baris dan bait, tetapi di dalam baris-barisnya ada pula peralatan bahasa yang khusus yang bersifat estetis, seperti metafora, metonomia, personifikasi, rima, dan sebagainya. Semua ini pun merupakan unsur-unsur yang membentuk TEKS puisi itu sendiri.

Jadi, apa itu TEKS? Pada dasarnya, teks dapat dipahami sebagai sebuah jalinan, jahitan, anyaman, rangkaian. Dalam hal puisi, jalinan dari keseluruhan unsur-unsur pembentuknya itulah yang kemudian disebut dengan istilah TEKS. Dalam esai yang lain, saya pernah mencontohkan bagaimana sebuah puisi Rendra yang berjudul “Serenada Hijau” terjalin dari berbagai unsur atau peralatan estetisnya. Begitulah wujud dari TEKS puisi itu.

Namun, kita bisa bertanya lebih jauh: jika teks puisi itu merupakan jalinan dari berbagai peralatan estetis bahasa, maka adakah aturan atau konvensi yang mengatur konfigurasi jalinannya? Nah, konvensi yang mengatur jalinan atau struktur teks itulah yang disebut sebagai WACANA. Karena wacana itu bersifat konvensional, maka seringkali aturannya sudah dipatuhi begitu saja tanpa dipertanyakan lagi. Salah satu wujud dari konvensi dalam sastra adalah apa yang kita kenal sebagai GENRE. Perihal konvensi genre itu biasanya dikaji dalam teori struktural (tentang hal ini, bisa dilihat pada esai saya yang lain).

Selain bersemayam di dalam teks, ideologi juga bekerja melalui genre. Karena itu, ideologi sebuah karya sastra tidak selalu bisa kelihatan dengan jelas sebab ia tidak beroperasi pada level teks, melainkan pada level yang lebih dalam dan abstrak, yaitu genre. Dengan membongkar aturan-aturan yang melandasi suatu genre, kita baru dapat memahami dan menafsirkan ideologi dari sebuah kelompok tertentu dalam masyarakat yang tersalurkan melalui proses kreatif si pengarang. Sebagai saluran ideologi dari masyarakatnya, si pengarang sendiri bisa menyadarinya, bisa juga tidak, tergantung pada seberapa jauh dia mampu melakukan refleksi atas ideologinya sendiri yang sudah tertanam pada dirinya sejak lama.

2. Contoh: Menafsirkan Ideologi Gender dalam Puisi

Agar lebih jelas, saya akan memberikan contoh bagaimana menafsirkan ideologi yang terkandung dalam puisi. Demi ketajaman pembahasan, di sini saya hanya akan membahas ideologi gender. Saya berharap dengan contoh dari analisis ideologi gender ini, para pembaca yang budiman bisa membayangkan penerapannya pada jenis ideologi yang lain. Dua buah puisi WS Rendra berikut ini akan saya coba tafsirkan ideologinya.

Untuk menafsirkan ideologi gender dalam puisi “Serenada Hijau”, pertama-tama kita perlu menentukan kelompok sosial mana saja yang terlibat dalam konteks ideologi yang hendak kita analisis. Karena ini adalah puisi cinta dan kita hendak menganalisis ideologi gender, kita dapat memperhatikan pihak yang terlibat dalam hubungan cinta asmara, yang biasanya adalah lelaki dan perempuan. Dalam kedua karya ini, mana pihak lelakinya dan mana pihak perempuannya? Karena kedua pihak ini tidak disebut secara eksplisit, kita harus menafsirkannya dari dua kata ganti orang yang digunakan di dalamnya, yaitu aku dan kau (dalam berbagai variasi, seperti “-ku”, “daku”, dan “mu”). Apakah “aku” di situ seorang lelaki dan “kau” di situ seorang perempuan? Ataukah, sebaliknya?

Dalam konteks ini, kita tidak perlu menghubungkannya dengan jenis kelamin pengarangnya karena kita tidak bisa selalu tahu siapa pengarangnya. Kalaupun kita tahu, belum tentu kata ganti itu mengacu ke dirinya sebagai lelaki atau perempuan. Jadi, sebaiknya tafsirkanlah kata ganti itu berdasarkan tanda-tanda yang muncul di dalam karya itu sendiri, yaitu dari peralatan estetis yang digunakan untuk menggambarkan pihak “aku” dan “kau” itu sendiri. Di sinilah pengetahuan stilistika menjadi sangat diperlukan.

Ketika kita mulai menafsir dengan cara demikian, tanpa kita sadari kita akan bertumpu pada kebiasaan-kebiasaan yang bersifat ideologis untuk menggambarkan pihak lelaki dan perempuan. Pada momen inilah kita akan sekaligus mulai menyadari berlangsungnya ideologi tertentu dalam kedua karya ini. Sebagai contoh, perhatikan di dalam puisi “Serenada Hijau” bahwa pihak “aku” digambarkan melalui metafora sebagai seseorang yang sedang bergerak melaju mengendarai kuda, sedangkan pihak “kau” digambarkan melalui metonimia sebagai seseorang yang sedang diam menunggu di rumah sambil menjalin rambutnya yang panjang. Siapapun yang membaca penggambaran seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa dia akan secara otomatis menafsirkan “aku” di situ adalah seorang lelaki, sedangkan “kau” adalah seorang perempuan.

Selanjutnya, lakukanlah penafsiran secara terbalik atau berlawanan untuk merasakan kewajaran dan kejanggalan ideologis. Misalnya, akan terasa sangat janggal atau bahkan tidak terpikir sama sekali untuk menafsirkan pihak “aku” dalam puisi tersebut sebagai seorang perempuan penunggang kuda yang gagah, sedangkan pihak “kau” adalah seorang lelaki yang menunggu di rumah sambil menjalin rambutnya yang panjang. Mungkin Anda sudah merasakan ada kejanggalan, bukan? Tetapi, mengapa kita tidak bisa menafsirkannya begitu? Di sinilah letak ideologi gendernya. Kita tidak bisa menafsirkannya demikian karena ideologi patriarki yang bersemayam di dalam lubuk kesadaran kita sama sekali tidak mengijinkannya.

Penafsiran sebelumnya terasa lebih wajar daripada penafsiran terbalik meskipun penafsiran terbalik ini bisa saja dimungkinkan. Jadi, ideologi apapun pada dasarnya adalah soal kewajaran semata, yaitu soal mana yang diangggap lebih wajar dan mana yang dianggap tidak atau kurang wajar dalam kehidupan masyarakat tertentu. Jadi, dengan melakukan penafsiran terbalik ini Anda diminta untuk menyadari ideologi yang sebelumnya sudah berlangsung tanpa Anda sendiri menyadarinya sehingga Anda menganggapnya sebagai kewajaran, sebagai sesuatu yang sudah seharusnya begitu. Penafsiran terbalik berfungsi untuk menyentak kesadaran kita.

Setelah Anda tersadar, maka amatilah hieraki atau kesenjangan hubungan di antara pihak lelaki dan perempuan yang digambarkan di dalam karya. Konsep oposisi biner yang diajukan oleh teori struktural dapat dimanfaatkan untuk mengamati hal ini. Dalam hal puisi Rendra, misalnya, kesenjangan hubungannya berlangsung dalam oposisi biner “gerak dan diam” atau “aktif dan pasif”, yaitu pihak lelaki digambarkan sebagai pihak yang bergerak dinamis dan aktif (melalui metafora kuda), sedangkan pihak perempuan digambarkan sebagai pihak yang pasif dan diam menunggu di rumah saja, mempercantik diri (melalui metonimia rambut yang panjang).

Jadi, puisi pertama ini pada dasarnya membangun gambaran hubungan yang tidak setara atau hierakis di antara pihak lelaki dan perempuan. Dengan kata lain, puisi ini mengulang kembali atau mencerminkan kembali hubungan hierakis yang memang biasa terjadi dalam hubungan lelaki dan perempuan di dalam masyarakat patriarkis. Puisi ini tidak memberikan alternatif apa-apa terhadap hubungan hierakis itu, tetapi justru memeliharanya karena itulah hubungan yang dianggap wajar di dalam masyarakat tersebut.

Langkah selanjutnya, Anda perlu membongkar peralatan estetis atau gaya pada level teks yang digunakan dalam puisi ini yang berefek untuk mewajarkan hierarki. Yang dianalisis di sini bukan efek estetisnya seperti dalam kajian stilistika, tetapi bagaimana gaya tersebut mengandung fungsi atau efek ideologis. Ketika kita melakukan kajian gaya dari perspektif stilistika, kita hanya menghubungkan peralatan estetis yang digunakan dalam sebuah karya sastra dengan efek estetisnya, yaitu keindahan atau keunikan karya tersebut. Kita tidak mengkaji bahwa peralatan estetis itu sebenarnya dapat pula memiliki efek ideologis. Nah, kajian ideologi justru hendak membongkar bagaimana peralatan estetis tertentu dapat berfungsi untuk “menyembunyikan” atau mewajarkan ketidaksetaraan yang berlangsung dalam masyarakat.

Dalam kasus puisi “Serenada Hijau”, hierarki gender yang ada “disembunyikan” melalui metafora dan metonimia yang membuat orang seperti teralihkan dari kenyataan hierarkis dan justru hanya berfokus pada keindahan bahasanya. Dengan begitu, hubungan asmara menjadi terasa manis. Kerinduan asmara pada kekasih (perempuan) diangkat ke level yang lebih tinggi (agung) karena disejajarkan dengan idealisasi alam yang biasanya digunakan dalam sastra beraliran romantisisme (seperti konvensi sastra Pujangga Baru di era 1930-an). Metafora dan metonimia yang digunakan dalam karya ini dapat dibayangkan seperti teknik estetis yang bisa membuat orang salfok (salah fokus) atau teralihkan dari kenyataan hierarki gender itu sendiri.

Jadi, posisi pihak perempuan diagungkan untuk justru direndahkan, yaitu tampak seperti dimuliakan dalam kata-kata yang indah, tetapi justru pada kenyataannya diletakkan pada posisi yang lebih rendah di dalam hubungan hierarkis masyarakat patriarkis, yaitu sebagai pihak yang dianggap pasif, menunggu di rumah saja untuk mempercantik diri.

Dalam puisi yang kedua, yaitu “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, Rendra sudah mengalami perubahan kesadaran. Dari segi gaya, puisi ini disebut sebagai puisi pamflet dalam perkembangan kepenyairan Rendra. Jika kita membaca informasi biografis Rendra sendiri, dia mengakui bahwa dia mengalami perubahan kesadaran ketika dia tinggal beberapa tahun di Amerika pada pertengahan era 1960-an. Suasana liris, mitis, dan romantis yang mulanya banyak mewarnai puisi-puisi awalnya ketika dia masih berada di Yogyakarta, sudah berganti dengan gaya prosaik, balada, dan protes sosial dalam puisi-puisinya selama dan sepulang dari Amerika. Kesadaran baru itu tampaknya juga berpengaruh dalam cara dia menggambarkan hubungan gender.

Dalam puisi kedua ini, terdapat tiga kelompok sosial yang terlibat, yaitu “aku”, para pelacur Jakarta, dan badut-badut yang merupakan sebutan ejekan untuk para politikus. Secara struktural, terdapat hubungan oposisi-biner dari tiga pihak tersebut, yaitu tokoh “aku” menyebut dirinya sebagai teman yang berpihak kepada para pelacur yang sedang dijadikan korban penghinaan oleh para politikus.

Dalam konteks sosiologis, pelacur biasanya adalah perempuan yang dipandang rendah dalam masyarakat dan merupakan objek seksual dari para lelaki hidung belang. Pada dasarnya relasi patriarkis yang sangat brutal terwujud dalam fenomena pelacuran. Para pelacur tidak hanya dijadikan objek seksual oleh lelaki hidung belang, tetapi juga dijadikan kambing hitam moralitas oleh para politikus yang di dalam puisi ini disamakan dengan para lelaki hidung belang itu. Itulah makna dari sebutan ejekan “badut” itu, sosok jahat yang bertopeng kebaikan moral. Jadi, di dalam puisi ini hubungan badut dan para pelacur digambarkan sebagai hubungan patriarkis yang ekploitatif. Terhadap hierarki gender patriarkis itulah tokoh “aku” kemudian bangkit melawan dan meminta para pelacur itu untuk melawan pula. Tokoh “aku” di sini mengambil posisi yang setara dengan para pelacur itu, yaitu sebagai teman.

Dari contoh analisis terhadap dua puisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa puisi “Serenada Hijau” mengandung ideologi patriarki, sedangkan puisi “Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta” justru mengandung perlawanan terhadap ideologi patriarki itu. Di sini kita juga dapat melihat bahwa pengarang yang sama, dalam hal ini adalah WS Rendra, dapat saja dipengaruhi oleh ideologi patriarki dan kemudian mengalami perubahan kesadaran dan berbalik melawan ideologi tersebut. Namun, dalam kenyataannya seringkali orang (laki-laki maupun perempuan) terus bergulat dengan ideologi patriarki itu, disadari atau tidak. Karena itulah kajian atau kritik ideologi sangat kita perlukan untuk membantu kita melakukan kritik diri yang terus-menerus.^^^

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.