TEORI STRUKTURAL: MENGKAJI SASTRA SEBAGAI KONVENSI DAN GENRE

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
13 min readApr 17, 2024

Bayangkanlah panel-panel lego yang beserakan di lantai karena ditinggalkan oleh adik kecil kita yang sudah tertarik pada mainan yang lain lagi. Panel-panel itu persis satu sama lain, berbentuk kotak-kotak kecil dengan bulatan-bulatan mungil yang berbaris di atasnya. Kita sulit membedakan satu panel dengan panel yang lain. Kita menganggap semuanya sama saja. Tapi, kapankah masing-masing panel akan berbeda dengan panel lainnya? Cobalah ambil beberapa panel, kemudian pikirkanlah sebuah bentuk, misalnya seraut wajah. Maka, pastilah Anda akan mulai menyusun panel yang satu dengan yang lain untuk menjadikannya seraut wajah. Tiba-tiba saja panel-panel yang tadinya tidak berbeda satu sama lain, kini menjadi berbeda-beda sesuai dengan posisinya di dalam bentuk seraut wajah. Ada panel yang berposisi sebagai hidung, ada yang menjadi telinga, mata, mulut dan seterusnya. Panel-panel yang tadinya tidak bermakna, kini diberi makna sebagai bagian-bagian dari wajah.

Sekarang, pikirkanlah sebuah bentuk yang lain. Barangkali sebuah mobil-mobilan. Copotlah panel hidung, mata, atau mulut di lego wajah tadi dan jadikanlah penel-penel itu sebagai sebuah roda di susunan lego yang baru, yaitu mobil-mobilan. Nah, bisa Anda bayangkan ‘kan sekarang betapa panel-panel itu bisa berubah menjadi apa saja sesuai dengan bayangan bentuk yang kita pikirkan? Betapa panel-panel itu tidak punya makna apa-apa di dalam dirinya sendiri, bukan? Satu panel baru bermakna ketika dibuat berbeda dengan panel yang lain di dalam susunan bentuk tertentu, entah itu seraut wajah ataupun sebuah mobil-mobilan.

Tanpa bahasa, pikiran hanyalah panel-panel lego yang berserakan. (Photo by Ryan Quintal on Unsplash)

Nah, teori struktural menganggap bahwa realitas itu seperti panel-panel lego yang berserakan. Kita tidak tahu apa maknanya sebelum kita memberikan bentuk padanya. Realitas akan terlihat sama saja sebelum ia disusun dalam suatu bentuk. Dengan kata lain, realitas itu pada dasarnya dapat kita beri makna karena kita membentuknya dalam sebuah susunan. Realitas tidak punya makna di dalam dirinya sendiri. Susunanlah yang memberikan makna atas realitas. Karena susunan, realitas yang satu menjadi berbeda dengan yang lain. Susunan seperti itulah yang disebut dengan “struktur” dalam teori struktural.

Jika struktur itu adalah buatan manusia sendiri, maka di manakah kita bisa melihat wujud struktur itu? Kalaupun Anda membayangkan sebuah bentuk di dalam benak Anda, saya tidak akan tahu bentuk apa yang Anda bayangkan jika Anda tidak mengatakannya pada saya. Sampai di sini, teori struktural berkesimpulan bahwa struktur paling dasar yang dimiliki manusia adalah bahasa. Melalui bahasalah sebuah pikiran dapat dibayangkan, menjadi berbentuk. Tanpa bahasa, pikiran hanyalah panel-panel lego yang berserakan. Jika Anda mengatakan sesuatu, pada saya maupun pada diri Anda sendiri, pada dasarnya Anda sudah membuat panel pikiran di dalam benak Anda menjadi sesuatu yang bermakna. Nah, bahasalah yang membentuk pikiran dan realitas, bukan sebaliknya. Inilah asumsi dasar teori struktural.

BERMAIN CATUR BERSAMA FERDINAND DE SAUSSURE

Mari kita pindah ke sebuah permainan lain yang lebih rumit daripada lego, yaitu catur. Anda harus mencari seorang lawan main jika ingin asyik bermain catur. Kehadiran seorang lawan membuat permainan catur menjadi permainan yang tak terduga, penuh taktik, tipu muslihat, gertak, dan ancaman. Namun, secerdik apapun Anda dan lawan Anda berupaya membangun strategi untuk menang, tetap saja Anda dan lawan Anda tidak boleh melanggar aturan atau kaidah dalam permainan catur itu sendiri. Anda tidak boleh melangkahkan benteng secara diagonal. Benteng hanya boleh melangkah secara lurus, itupun boleh jika tidak ada anak catur lain yang menghalangi langkahnya. Berbeda dengan benteng, kuda boleh melangkahi anak catur lain, asalkan tetap melangkah dalam bentuk huruf L. Jadi, setiap anak catur dibatasi oleh kaidah tertentu. Keseluruhan kaidah itulah yang membentuk permainan catur. Di tangan para pemainnya, kaidah-kaidah itu di satu sisi dapat memberi halangan pada langkah-langkah yang hendak diambilnya, tetapi di sisi lain juga dapat memberi peluang bagi strategi yang dirancangnya. Kaidah itu merupakan kesepakatan dari para pemain catur. Tanpa kesepakatan dalam kaidah, permainan akan berubah menjadi kesemrawutan.

Berbeda dengan lego, catur adalah sebuah permainan yang sudah terbentuk atau terkomposisi sejak awal. Maksudnya, bentuk anak-anak catur sudah dibedakan satu sama lain. Anak-anak catur itu juga disusun di atas papan catur yang sudah dibedakan warnanya sebagai tempat melangkahnya anak-anak itu. Anak-anak catur itu pun harus disusun dalam formasi awal yang sudah dibentuk dan harus melangkah dalam aturan tertentu. Semua itulah yang merupakan kaidah permainan catur. Para pemainnya sudah tidak bisa keluar dari kaidah itu, mereka sudah terlanjur berada di dalamnya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah memainkannya di dalam kerangka kaidah itu.

Photo by VD Photography on Unsplash

Bayangkanlah jika bahasa adalah seperti permainan catur, maka bagaimanakah kaidah permainannya? Itulah kira-kira yang dipikirkan oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss. Mari kita ikuti apa yang dia pikirkan dan bagaimana pikirannya kemudian memengaruhi ilmu sastra.

Bukan Makna, Melainkan Valensi

Jika kita membaca kamus, kita akan cenderung berpikir bahwa makna sebuah kata sudah terkandung di setiap kata itu sendiri. Karena itu, kita cenderung memahami makna kata sebagai hubungan antara kata itu dengan realitas yang diacunya. Misalnya, kita mengatakan bahwa makna kata “merah” adalah warna yang diacu kata itu di dalam realitas, yaitu realitas warna merah yang wujudnya dapat kita lihat sendiri dengan mata kita. Jadi, dalam hal ini, kita menganggap bahwa kata adalah nama untuk benda yang ada di dalam realitas.

Namun, Ferdinand de Saussure menolak pemahaman seperti itu. Menurutnya, makna tidak terjadi dari hubungan kata dengan benda dalam realitas. Kalau begitu, bagaimana makna terjadi? Saussure berpendapat bahwa makna itu pada dasarnya terjadi sebagai valensi bahasa. Apa itu valensi bahasa? Saussure menjelaskan dengan analogi dari permainan catur yang sudah saya uraikan di atas. Saussure mencontohkan begini:

Ambil kuda sebagai contoh: apakah secara mandiri kuda itu unsur dari permainan catur? Jelas bukan, karena di dalam sifat materinya yang murni, di luar kotaknya dan kondisi permainan yang lain, kuda tadi tidak bermakna apa pun bagi pemain dan hanya menjadi unsur yang konkret setelah diberi nilai tertentu dan menjadi bagian dari nilai itu. Misalnya, selama permainan berlangsung, anak catur itu hancur atau hilang. Dapatkah itu diganti dengan padanan yang lain? Tentu saja: bukan hanya dapat diganti oleh kuda yang lain, bahkan bentuk yang sama sekali berbeda dengannya dapat dinyatakan identik, asal diberi nilai yang sama.

Dengan contoh salah satu anak catur, yaitu kuda, Saussure ingin mengatakan bahwa makna kuda dalam permainan catur bukan terletak pada wujud fisik kuda itu sebagai sesuatu yang meniru bentuk kuda yang real. Tetapi, maknanya ditentukan oleh kedudukan kuda itu dalam kaidah permainan catur sehingga meskipun kuda itu diganti dengan wujud fisik yang lain, maknanya sama sekali tidak akan berubah karena kedudukannya sudah ditetapkan di dalam kaidah permainan catur. Kedudukan tertentu di dalam suatu kaidah itulah yang disebut oleh Saussure sebagai nilai atau valensi. Makna suatu kata terjadi dari valensinya. Tetapi, kita terlanjur tidak menyadarinya lagi karena valensi bahasa tidak dapat dilihat langsung, kecuali jika kita mengerti kedudukan suatu kata di dalam kaidah bahasa secara keseluruhan, seperti halnya kita mengerti kedudukan kuda dalam kaidah permainan catur. Yang kita sadari hanyalah bahwa makna kata seolah-olah merupakan nama atas sesuatu di dalam realitas. Padahal, menurut Saussure, jika kita berpikir begitu, sebenarnya kita telah terjebak dalam ilusi.

Berpasangan Tapi Berbeda

Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud “valensi” oleh Saussure, saya akan memberikan dua contoh perbandingan berikut ini. Pertama-tama, lihatlah salah satu tanda lalu lintas yang biasa kita sebut “lampu merah”. Ada tiga buah lampu dengan warna yang berbeda: merah, kuning, dan hijau. Merah maknanya “berhenti”, kuning maknanya “hati-hati”, dan hijau maknanya “jalan”. Kita semua tahu itu. Masalahnya adalah: bagaimana tiga warna itu dapat bermakna demikian? Bayangkan tiba-tiba salah satu lampunya rusak, misalnya warna hijaunya mati. Apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan tetap diam di tempat, berhenti di perempatan? Tentu saja tidak, bukan? Anda bisa menentukan bahwa ketika lampu kuning menyala dan kemudian mati, Anda akan langsung tancap gas karena Anda tahu bahwa seharusnya lampu hijau sudah menyala meskipun pada kenyataannya saat itu dia sedang tidak menyala. Tapi, dari mana Anda bisa memperkirakan begitu? Tentu saja dari kaidah urutan menyalanya lampu merah yang sudah terpola secara tetap setiap saat yang selalu Anda alami setiap hari. Jadi, meskipun lampu hijaunya mati, Anda tetap mengerti kedudukan lampu hijau di dalam kaidah tanda lalu lintas tersebut. Valensi lampu hijaulah yang membuat Anda mengerti maknanya.

Sekarang, mari kita lihat bendera negara kita yang sedang berkibar-kibar tertiup angin. Sang Dwi Warna kita menyebutnya: ada merah, ada putih. Merah bermakna “berani”, putih bermakna “suci”. Kita semua tahu itu. Pertanyaannya: mengapa warna merah pada bendera dan warna merah pada lampu merah ternyata maknanya berbeda? Padahal, secara fisik warnanya sama-sama merah, ‘kan? Nah, berdasarkan teori Saussure, sekarang Anda bisa menjawab bahwa merah yang sama bisa bermakna beda karena valensinya berbeda. Jadi, sekali lagi, valensilah yang membuat makna terjadi. Anda bisa menjawab demikian karena Anda mengerti bahwa kedudukan warna merah di dalam kaidah lampu merah tidak sama dengan kedudukan warna merah di dalam kaidah bendera negara kita. Kaidah lampu merah itu sendiri dibangun oleh perbedaan tiga warna yang masing-masing menyala secara bergantian dalam urutan yang tetap, sedangkan kaidah bendera kita dibangun oleh perbedaan dua warna yang diposisikan secara tetap. Merah-kuning-hijau saling berpasangan dalam hubungan perbedaan, begitu pula merah-putih. Berpasangan tapi berbeda, itulah yang sering disebut dengan istilah “oposisi-biner” dalam teori struktural. Lihat ilustrasinya dalam bagan di bawah ini.

Lantas, apakah “merah” itu sendiri punya makna di dalam dirinya sendiri? Teori struktural akan menjawabnya: tidak. Makna sebuah tanda ditentukan oleh valensinya yang dibangun dari hubungan oposisi-biner. Tanpa kehadiran merah, kuning tidak bermakna, demikian pula hijau. Ketiga-tiganya harus ada bersama dalam urutan tertentu agar masing-masing bisa bermakna. Hubungan oposisi-biner yang terbentuk di dalam suatu kaidah itulah yang kemudian disebut sebagai “struktur” oleh teori struktural. Dalam tulisan saya yang lain, saya pernah menjelaskan bagaimana saya menafsirkan makna kata “hijau” dalam judul puisi “Serenada Hijau” karya Rendra. Di sana saya hanya menafsirkannya dengan memperhitungkan konsep perangkat estetis berdasarkan teori stilistika. Tetapi, jika kita menggunakan teori struktural untuk menafsirkan makna “hijau” di situ, maka kita harus membaca puisi Rendra yang lain di dalam buku kumpulan puisinya “Mazmur Mawar” dan menemukan hubungan oposisi biner puisi “Serenada Hijau” dengan puisi-puisi yang lain yang juga menggunakan beberapa warna dalam judulnya, yaitu biru, violet, putih, hitam, kelabu, dan merah padam. Dalam hubungan struktural warna-warna itulah, kita bisa menafsirkan makna “hijau” secara lebih tepat sebagai bagian dari konvensi pemaknaan dalam puisi-puisi Rendra.

Kaidah dalam lampu merah dan bendera sangatlah sederhana. Sekarang, bayangkanlah kaidah sebuah bahasa, betapa halus dan rumitnya itu. Tetapi, itulah yang coba diselidiki oleh Ferdinand de Saussure. Atas jasanya melakukan pembongkaran kaidah bahasa dengan gigih, Saussure dianugerahi gelar Bapak Linguistik Modern. Bagaimana pemikirannya kemudian digunakan dalam ilmu sastra? Berikut ini saya ringkaskan beberapa contohnya.

BEBERAPA CONTOH KAJIAN GENRE YANG DIPENGARUHI TEORI STRUKTURAL

> Vladimir Propp dan Genre Dongeng

Vladimir Propp adalah seorang ahli sastra dari Rusia yang merupakan salah satu anggota dalam aliran Formalisme Rusia. Kita sudah menyebut salah satu anggotanya yang lain di bahan kuliah tentang teori stilsitika, yaitu Viktor Shklovsky. Vladimir Propp secara khusus mengkaji genre dongeng, dia meneliti ratusan dongeng dari negaranya. Dengan cara membandingkan plot dari dongeng yang satu dengan dongeng yang lain, Propp sampai pada kesimpulan bahwa ternyata dongeng Rusia memiliki kaidah penyusunan plot yang tetap. Propp menggunakan istilah teoretis yang khusus untuk menyebut plot, yaitu “fungsi”, yang dia definisikan sebagai tindakan tokoh yang fungsional dalam cerita. Dia menemukan 31 fungsi yang berurutan secara tetap yang merupakan kaidah plot yang membentuk genre cerita dongeng Rusia. Meskipun kemunculan kaidah tersebut bisa saja berjumlah kurang dari 31 dalam satu dongeng tertentu, tetapi urutannya ternyata bersifat tetap.

Pada perkembangan selanjutnya, temuan Propp itu digunakan oleh ahli sastra lain untuk meneliti dongeng-dongeng dari negara lain dan mereka membuktikan bahwa kaidah Propp itu cukup berlaku secara general. Berdasarkan temuan itu, kita dapat menegaskan bahwa jika sebuah cerita tidak memenuhi kaidah Propp itu, maka kita dapat menduga bahwa cerita tersebut tidak termasuk ke dalam genre dongeng. Itu artinya, jika Anda bermaksud membuat sebuah cerita dongeng, maka dengan sendirinya Anda akan terikat pada kaidah plot yang sudah menjadi konvensi perdongengan itu. Dengan demikian, genre sebenarnya bersifat mengikat proses penciptaan cerita oleh pengarang dan sekaligus juga membentuk cara pembaca memahami sebuah cerita. Itulah maksudnya bahwa genre adalah suatu konvensi.

>Arthur Asa Berger dan Genre Cerita Laga Khas Amerika

Arthur Asa Berger adalah ahli ilmu komunikasi dan budaya popular dari Amerika, lahir tahun 1933 dan sekarang masih berkarya. Pada tahun 1990-an dia pernah meneliti empat genre cerita laga yang popular yang sudah lama muncul di dalam novel dan film Amerika, yaitu genre cerita koboi (western), fiksi ilmiah (science fiction), detektif tangguh (hard-boiled detective), dan cerita spionase (spy). Temuannya memperlihatkan perbedaan ciri khas dari keempat genre tersebut. Ciri-ciri tersebut merupakan kaidah yang berlaku umum dalam genre masing-masing. Kaidah tersebut mencakup latar waktu dan tempat, tokoh utama atau jagoan, penjahat, plot, tema, kostum yang khas, kendaraan, dan persenjataan. Silakan perhatikan tabel di bawah ini.

Kaidah Genre Cerita Laga di Amerika Serikat

>Janice Radway dan Genre Novel Roman Amerika

Sebagai konvensi cerita, genre berpengaruh terhadap harapan pembaca atau penontonnya karena mereka sudah terbiasa dengan konvensi tersebut. Misalnya, akhir cerita dalam genre cerita roman (romance story) biasanya happy ending. Pembaca/penonton cerita roman cenderung akan mengharapkan happy ending itu. Jika sebuah novel atau film roman tidak happy ending, maka novel/film tersebut sudah menyimpang dari harapan pembaca/penontonnya. Mungkin mereka akan menjadi tidak suka dengan novel/film tersebut. Atau, bahkan mereka akan menganggapnya sebagai bukan cerita roman lagi. Dari contoh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penyimpangan terhadap konvensi tertentu dalam genre dapat membuat sebuah cerita tertentu dikeluarkan dari genrenya dan membentuk atau termasuk ke dalam genre lain.

Namun, pada sisi lain, jika konvensi genre terlalu ketat, pembaca/ penonton juga akan merasa bosan. Karena itu, variasi tetap diperlukan sejauh tidak mengubah ciri-ciri utama yang membentuk konvensi genre tersebut. Dalam kasus film roman, perubahan happy ending menjadi sad ending akan dirasakan oleh sekelompok penontonnya sebagai melanggar ciri utama, sehingga variasi dapat dilakukan pada aspek lain, misalnya mengubah tokoh dan latarnya. Contoh lain, dalam kasus genre spionase, latar yang berciri internasional sudah menjadi konvensi yang utama sehingga mengubahnya menjadi berciri lokal (tidak internasional) merupakan pelanggaran mendasar yang akan mengecewakan harapan konvensional pembaca/penonton.

Untuk memahami hal ini lebih jauh, mari kita lihat hasil penelitian Janice Radway (seorang ahli sastra dan budaya popular dari Amerika) terhadap novel-novel roman yang paling disukai oleh para pembaca di Amerika pada tahun 1980-an. Dengan menggunakan konsep fungsi dari Vladimir Propp, dia menemukan 13 fungsi yang terus berulang dalam genre cerita roman yang dia teliti. Tiga belas fungsi tersebut adalah:

Sebagai contoh, Radway memberikan ilustrasi tentang fungsi nomor 1. Dia menjelaskan bagaimana wujudnya dalam beberapa novel yang dia teliti. Dia mengatakan begini:

Cerita yang dianggap ideal dalam genre novel roman ini dimulai dengan peristiwa tercerabutnya si tokoh perempuan dari lingkungan awalnya yang nyaman dan akrab yang biasanya merupakan bagian dari masa kecilnya dan keluarganya. Inilah yang saya maksud dengan fungsi pertama, yaitu tokoh perempuan mengalami kehancuran nasib. Contohnya, tokoh Heather Simmons dipisahkan dari pelindungnya oleh pamannya yang jahat yang berniat menjualnya ke rumah bordil. Dalam novel lain, tokoh Julie Dever menderita sakit karena kecelakaan mobil di jalanan pegunungan yang terpencil ketika dia pulang dari liburan. Dalam novel yang lain lagi, tokoh Charlotte Hungerford meninggalkan kehidupan pribadinya yang nyaman untuk pindah ke Brighton, yang di sana status lajangnya dijadikan bahan gosip yang tidak menyenangkan. Tokoh Alaina McGaren dipaksa melarikan diri dari lahan pertanian keluarganya yang hancur selama Perang Saudara di Amerika, sedangkan tokoh Deanna Abbott minggat ke peternakan Arizona untuk melarikan diri dari orang tuanya yang selalu memaksakan kehendak mereka. Rincian peristiwanya memang berbeda-beda, tetapi semuanya memperlihatkan si tokoh perempuan mengalami kehancuran nasib atau menderita karena peristiwa tersebut memisahkannya dari dukungan lingkungan terdekat yang selama ini ada dan hal itu membuatnya tercerabut dari tempat dan identitasnya semula. Jadi, suasana permulaan cerita-cerita roman tersebut hampir selalu memperlihatkan perasaan terpencil dan rasa kehilangan yang dialami oleh si tokoh perempuan.

Dari penjelasan Radway di atas, kita bisa menghubungkan situasi dari fungsi pertama itu dengan fungsi terakhir yang happy-ending, yaitu nasib tokoh perempuan dapat diperbaiki kembali (karena dia sudah mendapatkan pasangan hidupnya yang merupakan pelindungnya yang baru). Akhir cerita yang bahagia itu terasa logis atau wajar karena sudah seharusnya demikian karena si tokoh sudah menderita sejak awal. Begitulah konvensi yang terbentuk dan diharapkan terjadi dalam genre roman.

Jika ke-13 fungsi yang diajukan Radway di atas hendak kita buat lebih sederhana, kita bisa membuatnya menjadi 7 urutan peristiwa berikut ini:

  1. Penderitaan (tokoh perempuan mengalami kesedihan/penderitaan),
  2. Pendekatan (tokoh lelaki melakukan pendekatan),
  3. Salah paham (terjadi salah paham selama proses pendekatan: sikap ambigu antara suka atau tidak, prasangka tentang motivasi seks bukan cinta, dsb.),
  4. Menjauh (karena konflik dan salah paham, keduanya menjauh),
  5. Berbaikan (tokoh lelaki mulai menyadari kesalahannya dan menunjukkan perubahan sikap, keduanya berbaikan),
  6. Pernyataan Cinta (tokoh lelaki menyatakan cinta dengan tulus dan tokoh perempuan menerimanya),
  7. Kebahagiaan (penderitaan tokoh perempuan hilang, berganti dengan kebahagiaan).

Kaidah genre roman yang diajukan oleh Radway ini kemudian diperbaiki oleh Pamela Regis (2003) dengan mengajukan kaidah genre roman yang lebih general. Kaidahnya dapat dilihat dalam bagan ini.

> Seno Gumira Ajidarma dan Genre Komik Roman Indonesia

Itulah kaidah plot cerita roman yang dianggap ideal oleh para pembaca Amerika pada era 1980-an menurut penelitian Radway. Kaidah tersebut terus-menerus muncul dalam banyak novel roman di Amerika di masa selanjutnya. Apakah kaidah semacam itu berlaku pula untuk cerita roman di tempat lain? Dalam kasus novel Indonesia pada era 1920-an tampaknya kaidah bahwa akhir ceritanya cenderung happy-ending tidak berlaku. Kaidah ini tampaknya terus berlangsung di Indonesia sampai era 1970-an dan turut mempengaruhi genre cerita komik roman Indonesia di era tersebut. Misalnya, Seno Gumira Ajidarma pernah meneliti plot komik roman Indonesia era ‘70-an, terutama karya Zaldy Armendaris, yang cenderung sad-ending (“Dunia Komik Zaldy”)Dia menemukan dua kaidah plot yang mendasari sad-ending ini, yaitu yang disebutnya dengan istilah pola “Kasih Tak Sampai” dan “Cinta Segitiga” (yang terdiri dari “Segitiga Damai” dan “Segitiga Perang”).

Penelitian Seno ini kemudian saya coba kembangkan melalui penentuan kaidah yang lebih rinci yang mendasari plot sad-ending dalam komik Zaldy Armendaris itu. Saya menemukan bahwa kaidah plot komik roman Zaldy berhubungan dengan pergulatan tokoh-tokoh ceritanya untuk mempertahankan status sosial mereka sebagai kelas menengah. Kaidah plot yang menjadi arena pergulatan tokoh-tokoh dalam komik tersebut terdiri dari empat jenis, yaitu perjodohan, broken home, perselingkuhan, dan jatuh miskin. Empat jenis fungsi/plot itu merupakan situasi sosial yang menyebabkan hilangnya atau putusnya asmara dari tokoh utama dalam cerita sehingga hampir semua ceritanya berakhir tidak bahagia.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.