KAIDAH GENRE CERITA ROMAN

Irsyad Ridho
Estafet
Published in
9 min readOct 29, 2022

Pada esai yang lain, saya pernah memaparkan sedikit tentang bagaimana menentukan pembagian genre cerita berdasarkan kriteria hubungan rasa dan cerita yang diajukan oleh perspektif Naratologi Afeksi. Meskipun genre cerita seringkali dipahami sebagai sekelompok cerita yang memiliki ciri-ciri khusus sehingga sepertinya terdapat batas-batas perbedaan yang jelas antara kelompok yang satu dan yang lain, Alaister Fowler mengingatkan bahwa konsep genre dalam sastra sebenarnya tidak bisa diperlakukan seperti kita menentukan spesies, genus, dan kelas dalam taksonomi biologi.

In literary communication, genres are functional: they actively form the experience of each work of literature. ….
It follows that genre theory, too, is properly concerned, in the main, with interpretation. It deals with principles of reconstruction and interpretation and (to some extent) evaluation of meaning. It does not deal much with classification.

Ini berarti bahwa genre dalam sastra pertama-tama bukanlah sebuah sistem klasifikasi yang ketat, tetapi hanya sebagai titik anjak untuk melakukan penafsiran lebih lanjut. Sebab, genre memberikan sistem kode atau kaidah pemaknaan yang sudah terbentuk sebagai tradisi penafsiran dari suatu zaman atau sekelompok kalangan terhadap teks sastra tertentu. Perubahan internal dalam genre tertentu pasti akan berdampak pada tawaran penafsiran yang baru. Dinamika perubahan penafsiran merupakan sesuatu yang sangat wajar dan justru menjadi roh dalam kehidupan sastra. Karena itu, tidak mungkin genre diperlakukan secara ketat sebagai klasifikasi yang bersifat tertutup. Percampuran, penyimpangan, perlawanan, dan penjelajahan baru akan terus-menerus terjadi dalam genre sastra.

Photo by Matteo Catanese on Unsplash

Tawaran Pamela Regis

Perubahan-perubahan internal dalam suatu genre akan lebih mudah dikaji jika kita cukup akrab dengan kaidah umum yang berlaku dalam suatu genre. Karena itu, tujuan esai ini terbatas saja. Saya hanya ingin menjelaskan kaidah genre cerita roman melalui pemikiran Pamela Regis (2003). Dia menawarkan delapan peristiwa naratif yang esensial yang membentuk genre roman, yaitu:

Delapan Peristiwa Naratif Esensial dalam Genre Cerita Roman (Pamela Regis, 2003)

Dari perspektif Naratologi, tawaran Regis ini lebih komprehensif, general, dan aplikatif daripada yang pernah diajukan sebelumnya oleh Northrop Frye (1957) dan Janis Radway (1991). Kaidah yang ditawarkan Radway terlalu spesifik sehingga kurang fleksibel untuk diterapkan pada cerita roman yang lain selain yang menjadi bahan penelitiannya, yaitu novel roman yang dianggap ideal oleh para pembaca Amerika di era 1980-an yang menjadi responden penelitiannya. Adapun tawaran Frye lebih mempertimbangkan cerita roman dari era klasik Eropa yang cenderung menjadikan tokoh lelaki sebagai subyek cerita sehingga sebenarnya kita bukan berhadapan dengan roman dalam pengertian modern, tetapi lebih bercampur dengan genre heroik, cerita kepahlawanan, sivalrik.

Karena itu, Regis mencoba melakukan penelitian terhadap novel-novel roman pada masa modern awal di Inggris sekitar abad ke-18 sampai abad ke-20. Dari sana, kemudian dia membangun sintesis teoretis untuk sampai pada tawaran tentang delapan peristiwa esensial dalam genre roman. Jadi, pertama-tama kita bisa membayangkan bahwa cerita roman pada umumnya akan berisi cerita tentang pertemuan dua tokoh — yang nantinya akan menjadi sepasang kekasih (sejoli). Pertemuan itu akan berlanjut ke tahap ketertarikan. Tahap ini biasanya akan berisi segala hal yang berkaitan dengan proses pendekatan, keakraban, kemesraan, saling pengertian, dan mungkin juga situasi serba kikuk, salah tingkah. Selanjutnya, cerita berlanjut ke tahap pernyataan cinta, yaitu salah satu atau keduanya akan mengungkapkan perasaan cintanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sampul buku Pamela Regis.

Tentu saja, halangan terhadap cinta mereka akan ada. Halangan ini bisa muncul dari pihak eksternal (orang tua, saudara, teman, mantan kekasih, dan sebagainya), bisa juga secara internal dari sejoli itu sendiri. Halangan ini pada dasarnya berkaitan dengan situasi lingkungan atau masyarakat tempat sejoli itu tinggal. Situasinya bisa sangat bervariasi, mulai dari persoalan kelas sosial, status kebangsawanan, perbedaan etnis dan agama, situasi keluarga, persaingan antar-teman sepergaulan, lingkungan profesi atau dunia kerja, sampai pada lingkungan psikologis atau kultural bawaan dari sejoli.

Halangan tersebut bisa diatasi, bisa juga tidak. Itu akan menentukan akhir ceritanya, apakah happy-ending atau sad-ending. Dalam proses menuju akhir itu, kita akan ikut merasakan bagaimana sejoli akan mengalami penderitaan, berada dalam situasi gawat, yang mungkin saja mengarah pada keadaan mendekati kematian, baik dalam arti fisik maupun psikis, yaitu yang disebut point of ritual death. Saya menerjemahkannya secara umum menjadi “kegawatan”.

Keadaaan gawat ini nantinya akan berujung pada pencerahan yang memungkinkan halangan bisa diatasi. Dalam tahap ini, salah satu atau kedua tokoh utama mengalami tingkat pemahaman atau kesadaran yang lebih tinggi tentang situasi yang ada. Di sini tokohnya juga lebih reflektif atas perasaan dan hubungan asmaranya, konflik yang mungkin ada, dan keputusan apa yang harus diambil. Semua ini memungkinkan mereka untuk seberapa jauh bisa mengatasi masalah atau halangan.

Kadang-kadang cerita sudah bisa dibuat berakhir di tahap pencerahan itu. Namun, bisa juga dilanjutkan ke tahap perkawinan sebagai peristiwa akhir yang secara resmi menjadi simbol penyatuan atau ikatan cinta asmara mereka. Tentu saja, peristiwa perkawinan itu sendiri tidak selalu ada secara harfiah dalam cerita roman, tetapi peristiwa penyatuan cinta itu bisa muncul dalam bentuk yang bermacam-macam, yang secara umum dapat dikatakan sebagai semacam peresmian ikatan cinta. Dalam istilah yang lebih popular bisa disebut sebagai peresmian “jadian”.

Penerapan ke Cerpen “Pertemuan”

Dalam uraian berikut ini saya mencoba menerapkan kaidah genre roman tersebut pada sebuah cerpen karya Dwitasari yang berjudul “Pertemuan”.

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Cleo yang berusaha untuk melupakan mantan pacarnya. Untuk itu, dia melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta dengan naik bus. Di bus itu dia duduk bersebelahan dengan seseorang yang bernama Raditya yang sangat mirip dengan mantan pacarnya. Selama perjalanan, mereka menjadi dekat dan saling tertarik. Namun, belakangan Cleo mengetahui ternyata Raditya sudah punya pacar. Itu membuat kemesraan di antara mereka terganggu. Mereka kemudian berpisah sesampainya di tujuan masing-masing. Di ujung cerita, tanpa sengaja Cleo bertemu kembali dengan Raditya di Yogyakarta. Kemesraan di antara mereka terjalin kembali.

Sampul buku kumcer Jatuh Cinta Diam-diam karya Dwitasari.

Dari ringkasan cerita tersebut, saya kira sudah tergambar sebagian dari delapan peristiwa esensial yang membentuk genre roman seperti yang diajukan oleh Pamela Regis. Untuk lebih lengkapnya, saya mencoba merincinya lebih jauh.

Cerpen ini dibuka dengan peristiwa ayah Cleo yang mengantar Cleo naik mobil ke terminal bus untuk memesan tiket. Selama perjalanan menuju terminal, terjadi percakapan di antara mereka. Dari percakapan tersebut kita bisa mengetahui masa lalu Cleo yang sudah putus dengan pacarnya. Dari percakapan itu, kita juga bisa melihat hubungan yang akrab, saling pengertian, dan keterbukaan antara Cleo dan ayahnya.

Adegan pembuka seperti ini sebenarnya memberikan informasi tentang situasi lingkungan/masyarakat dari tokoh utama cerpen ini, khususnya situasi keluarga Cleo. Dari sana kita bisa membayangkan bahwa keluarganya (ayahnya) memberikan kebebasan atau keleluasaan bagi Cleo untuk menjalani atau memutuskan sendiri kehidupan asmaranya. Informasi tentang situasi lingkungan/masyarakat semacam ini penting jika kita membandingkan dengan cerita roman yang lain, misalnya novel-novel modern awal Indonesia di era Balai Pustaka pada 1920-an yang memperlihatkan situasi lingkungan/masyarakat yang mengekang pihak perempuan untuk bisa memilih pasangan hidupnya sendiri.

Karena itu, di cerpen ini kita bisa menduga bahwa halangan pasti tidak akan muncul dari keluarga, tetapi pasti dari faktor lain. Di tengah cerita, kita memang menjadi tahu bahwa ternyata yang menjadi halangan adalah status Raditya yang ternyata masih punya pacar. Artinya, meskipun Cleo sudah begitu tertarik dan dekat dengan Raditya, secara moral dia merasa tidak nyaman. Itulah halangannya. Moralitas seperti ini sebenarnya merupakan ciri khas asmara modern yang monogamis, yaitu ketika seseorang sudah melihat dirinya sebagai individu yang bebas dan mandiri, maka cinta asmara juga harus bersifat individual. Jadi, hubungan asmara harus bersifat satu-dengan-satu (monogami). Cleo harus menunggu Raditya putus dulu dengan pacarnya jika dia ingin meneruskan hubungan asmaranya dengan Raditya.

Bagian terbanyak dalam cerpen ini memang terletak pada penggambaran peristiwa pertemuan dan ketertarikan. Pertemuannya terjadi secara kebetulan ketika sama-sama membeli tiket bus. Cleo dan Raditya tidak saling kenal. Cleo langsung tertarik kepada Raditya hanya karena wajah dan gerak-gerik Raditya mirip sekali dengan mantan pacarnya. Dari sini kita diberikan kilasan-kilasan singkat dari ingatan Cleo tentang putusnya hubungan dengan mantan pacarnya di masa lalu. Dari flashback itu kita bisa menafsirkan bahwa Cleo sebenarnya menyesali putusnya hubungan mereka, tetapi itu sudah telanjur dan tampaknya tidak bisa diperbaiki lagi. Jadi, pertemuannya dengan Raditya ini seperti memberikan harapan baru.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Selanjutnya, cerita bergerak menggambarkan kedekatan, perasaan nyaman, kecocokan, dan kemesraan yang tumbuh selama perjalanan. Dalam momen itu, Cleo menjadi tahu bahwa Raditya tidak hanya mirip secara fisik dengan mantan pacarnya, tetapi juga secara psikis. Pembawaan dan kesukaan Raditya sama juga dengan mantan pacarnya, yaitu enak diajak ngobrol, suka membaca buku-buku kritis sehingga obrolan bisa berkembang ke pembahasan pengalaman hidup yang lebih dalam. Dan, tentu saja juga sikapnya yang romantis.

Selama perjalanan, Cleo semakin tertarik dan terbawa suasana sehingga tumbuh perasaan cintanya kepada Raditya. Meskipun cerpen ini tidak menggambarkan peristiwa pernyataan cinta itu secara eksplisit, tetapi kita bisa menafsirkannya secara implisit. Sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta, mereka berdua sudah begitu dekat dan mesra, tetapi justru baru mengenalkan nama masing-masing ketika sebentar lagi akan sampai di tujuan. Pada momen setelah perkenalan nama dan hendak berpisah itulah kemudian mereka melakukan sentuhan fisik yang dapat kita tafsir sebagai saling menyatakan perasaan jatuh cinta. Saya kutipkan adegannya:

Wajah Raditya terlihat sangat tampan. Sinar lampu jalanan yang menelusup melalui jendela menerangi pipinya, membias indah. Wajah itu mendekat. Bibirnya mengecup kening Cleo. Beberapa detik saja kejadian romantis itu berlangsung, setelah itu mereka langsung saling melepaskan diri. Entahlah, Cleo tak tahu harus berbuat apa. Baru kali ini dia menaiki bus dan peristiwa mengejutkan ini seperti bonus tersendiri.

“Sori, kebawa situasi. Soalnya di sini dingin banget,” ucap Raditya canggung, tampaknya dia merasa bersalah. Sebenarnya, dia pun pasti tahu, jawaban itu bukanlah jawaban yang logis.

Cleo tertawa sebentar dan memandangi wajah Raditya. Pelan-pelan dia menyentuh kening Raditya dengan lembut. Rasanya tak apa jika mereka saling menghangatkan di tengah dinginnya embusan air conditioner. Dua orang yang baru saling berkenalan itu tiba-tiba merasa sudah berkenalan lama.

Meskipun masing-masing seperti menyangkal perasaan jatuh cinta itu, sebenarnya justru mereka sedang menyatakannya. Mereka hanya kikuk.

Tidak lama setelah “pernyataan” cinta itu, kegawatan pun mulai terjadi sebab halangannya kemudian juga menjadi jelas, yaitu status Raditya yang tenyata masih punya pacar. Mereka berpisah dengan perasaan yang tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini selanjutnya digambarkan di akhir cerpen melalui perasaan Cleo yang kesepian bercampur kesal dan kecewa.

Raditya melangkah keluar dan turun dari bus. Di luar dia mencari-cari bayangan Cleo di jendela. Cleo memasang wajah setenang mungkin. Dia hanya tersenyum getir saat bus bergerak kembali. Dia menatap Raditya yang semakin menjauh. Pemuda itu bahkan tak menitip nomor ponsel dan menyebutkan alamat jelasnya. Dia hanya meninggalkan kecupan di kening Cleo dan sisa rangkulan di tubuh Cleo.

Esok malamnya, Cleo datang ke pasar malam perayaan sekaten di Alun-alun Utara kota Jogja. Udara dingin masih terasa setelah hujan gerimis sore tadi. Cleo berjalan mengelilingi beberapa arena bermain yang ramai. Dia memperhatikan ramainya tong setan yang berisik dan penuh dengan pasangan muda-mudi yang memadu kasih. Melihat itu, Cleo kesal sendiri.

Dia semakin dibuat kesal ketika melihat pasangan yang berlalu-lalang di sekitarnya tampak bahagia sambil membawa kembang gula. Dia langsung membuang tatapannya ke arah kora-kora yang berayun dipenuhi teriakan yang memekakkan telinga.

Untuk mengisi rasa sepi dan kecewanya, Cleo mencoba naik kora-kora di pasar malam itu. Justru dia tidak menyangka dan setelahnya baru menyadari, seperti tercerahkan, bahwa ternyata naik kora-kora bisa menjadi sesuatu yang romantis. Sebab, ketika dia muntah-muntah sehabis naik kora-kora, justru tepat pada saat itu, tanpa diduga Raditya ternyata ada di situ, menghampirinya sambil membawakan teh hangat dan tisu. Meski cerpennya sudah berakhir di sini, kita bisa membayangkan bahwa pertemuan kembali kedua pasangan ini tentu akan berujung pada kebersatuan cinta asmara mereka. Maka, kita bisa menafsirkan bahwa pertemuan kembali ini adalah simbol ke arah peristiwa “jadian”.

Tawaran Diskusi Lanjutan

Begitulah. Saya sudah berupaya memperlihatkan bahwa cerpen “Pertemuan” karya Dwitasari ini ternyata mengandung kedelapan peristiwa esensial yang merupakan kaidah genre roman meskipun beberapa modifikasi dalam penafsiran memang diperlukan karena sifat implisit dalam peristiwa pernyataan cinta dan peresmian ikatan cinta.

Kedelapan peristiwa esensial ini selanjutnya dapat dijadikan titik anjak untuk melakukan penafsiran sosial-historis atau kultural. Sebagai contoh saja, peristiwa pertemuan akan menyimpan kode kultural tersendiri yang dapat berbeda-beda dalam zaman atau sekelompok pengarang yang berlainan. Mengapa, misalnya, cinta pada pandangan pertama menjadi sangat penting dalam cerita roman tertentu, tetapi tidak cukup penting dalam cerita roman yang lain? Apakah ini berkaitan dengan makna mengenai kesejatian cinta ataukah ada pergulatan makna yang lain?

Persoalan kultural lain, misalnya, mengapa cerita roman pada suatu zaman lebih mengeksplorasi peristiwa halangan, sedangkan cerita roman pada zaman yang lain justru lebih menekankan peristiwa ketertarikan daripada halangan? Bahkan, pilihan happy-ending atau sad-ending pun sebenarnya bisa didekati sebagai persoalan kultural pula.

Namun, semua ini memerlukan pembahasan tersendiri dalam esai yang tersendiri pula. Yang jelas, esai ini bisa diakhiri sampai di sini dulu.

--

--

Irsyad Ridho
Estafet

Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.