Fitur

Demi Hajat Orang Banyak

Menyelami Air Limbah Domestik Perkotaan

Nayaka Angger
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya (Bandung, 2018)

Pukul 4.46 dini hari, pagi masih beku. Sederet guncangan berkelakar dalam perut dan membangunkanmu dari tidur. Kau bangkit, mengambil enam langkah menuju pintu kamar kecil di samping lemari. Sekujur tubuhmu menegang dan bergetar serejang, berkontraksi hebat seakan tengah putar balik mobil tanpa kemudi daya. Lewat tujuh menit, ayam geprek semalam telah undur diri dari kolon dan hilang entah ke mana ditelan bejana porselen. Pukul 4.55, kau kembali terlelap.

Dua ratus tahun lalu, buang air tidak semudah ini.

Yang Dibuang dalam Bayang

Keadaan dunia pernah baik-baik saja, setidaknya sebelum dua kondisi terjadi pada umat manusia: kita semakin pandai dan kita semakin banyak.

Nalar yang terus berevolusi memungkinkan manusia mengeksploitasi alam dan terus menciptakan hal serta kegiatan baru. Dari merajut kaus sampai memproduksi plastik, dari menambang emas sampai membangun gedung. Sayangnya, hampir setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia — dan manusia itu sendiri — menghasilkan residu, yang secara sederhana dirujuk sebagai “limbah”. Semakin pandai kita, semakin banyak yang dibuang. Namun, masalah sesungguhnya berserang kalut justru ketika kita beranak-pinak.

Kota adalah spesimen yang akurat untuk mengobservasi tempat manusia pesta pora reproduksi. Konsentrasi penduduk yang tinggi dan sistem aktivitas yang kompleks menghasilkan timbulan limbah yang luar biasa banyak dan beragam. Dari seluruh limbah tersebut, terdapat satu jenis yang begitu fundamental dan siginifikan, tetapi kerap terabaikan dan disembunyikan dalam bayang-bayang kota: air limbah.

Air limbah, secara sederhana, terbagi menjadi dua jenis, yakni grey water dan black water. Grey water adalah air kotor domestik yang berasal dari sisa aktivitas rumah tangga seperti air bekas mandi, cuci piring, atau sisa kuah makanan. Di lain sisi, black water adalah air kotor berupa limbah buangan kotoran manusia.

Membicarakan hal ini nampak banal, tetapi justru merekalah yang selalu hadir di bawah langkah kaki kita, diam-diam mengalir entah ke mana. Pasti akan ada batas kesabaran bagi siapa yang selalu ada, tetapi gagal diperhatikan.

Dari sini, izinkan saya berbicara kotor.

Kelabu dan Terbilas

Grey water atau air kelabu adalah setiap air limbah yang dihasilkan oleh rumah tangga ataupun perkantoran dari aliran tanpa kontaminasi feses/kotoran. Air kelabu ini adalah air buangan yang dihasilkan oleh sumber-sumber seperti wastafel, pancuran, bak mandi, mesin cuci, ataupun pencuci piring. Jika sedikit saja tertumpangi feses, dianggap keseluruhan aliran tersebut adalah air hitam. Semacam “nila setitik, rusak susu sebelanga”, tapi tidak senikmat susu bahkan setelah dicampur nila.

Air kelabu jarang sepenuhnya bebas dari tinja, terutama akibat kegiatan membersihkan daerah dubur ketika mandi, serta dalam beberapa kasus, akibat mencuci lampin (popok) kain cuci ulang. Namun, jika dikelola dengan baik, air kelabu dapat digunakan untuk kebutuhan lain.

Kalau pernah tinggal sebentar setelah buang air, kebanyakan mungkin akan menyadari bahwa air bilasan yang digunakan menenggelamkan kotoran kita tidaklah sedikit. Faktanya, kloset siram modern menghabiskan sekitar 3–6 liter air sekali pencet. Sayang rasanya jika air sebanyak itu ternyata bisa diminum. Tapi, toh, memang sebaiknya jangan, sebab mayoritas air siraman toilet di perkotaan berasal dari penggunaan kembali air kelabu.

Air kelabu jua seringkali dialirkan kembali sebagai air irigasi bawah permukaan karena mengandung zat seperti nitrogen, fosfor, serta kalium yang bermanfaat bagi tanaman dalam kadar yang tepat. Selain itu, karena tingkat kontaminasinya yang relatif lebih minimal, penyediaan air bersih melalui pengolahan air kelabu dianggap dapat mengurangi kebutuhan untuk mengekstraksi sumber air bersih.

Hitam dan Tenggelam

Black water atau air limbah hitam pada dasarnya adalah air limbah buangan toilet yang mengandung feses, urin, serta air dan tisu dari bilasan kloset. Berbeda dengan saudaranya yang kelabu, limbah hitam mengandung lebih banyak patogen yang sangat berbahaya, terutama, bagi manusia.

Rata-rata orang mengeluarkan sebanyak 125–250 gram limbah hitam tiap harinya. Sedikit, memang, tapi kalau di kota? Hasilnya adalah ribuan ton limbah hitam. Itu berarti ribuan ton pula mikroba berbahaya seperti Salmonela typhi ataupun Vibrio cholerae penyebab tifus dan kolera, yang berati ribuan ton jua ampas makanan, lemak, sel mati, telur cacing, serta nutrien yang berbahaya bagi lingkungan hidup.

Persoalannya, limbah hitam menjadi serius karena ia dihasilkan oleh kegiatan manusia yang sangat manusiawi. Semacam ritus yang diakomodasi oleh semesta untuk meregulasi tubuh kita dari segala yang telah diserap. Berbeda dengan mandi cantik atau cuci gelas, buang air adalah perkara yang tak bisa dan tak seharusnya dibatasi atau diintervensi secara signifikan.

Sebagaimana telah disinggung sekelumit, asimilasi antara karakteristik limbah hitam yang berbahaya dan sulit diolah dengan keniscayaan kota yang padat penduduk menjadikan limbah hitam masalah yang sangat akut bagi kota. Jika manusia seyogianya buang air besar sekali setiap hari, maka pada tahun 2017, akan ada 120 orang yang buang air besar setiap detiknya di Jakarta. Atau, jika seluruh penduduk Jakarta buang air secara bersamaan, maka diperlukan bangunan ruang toilet setinggi 18.812 lantai yang meluas ke seantero kota.

Penggambaran yang begitu menjijikan, kotor, dan bau — seharusnya. Namun, sepertinya jalanan kota masih bebas dari tinja bergelimpangan, dan kolam taman belum nampak kekuningan selayaknya urin. Pertanyaannya, ke mana semua kotoran tersebut? Terlintaskah di benak bahwa seharusnya kota tempat tinggal kita sudah tenggelam oleh kotoran kita sendiri?

Sihir macam apa ini?

Dua Ratus Tahun Kemudian, Mencari Rumah Baru

Dua ratus tahun lalu, pada tahun 1854, Broad Street, London, terjangkit wabah kolera yang merenggut 616 nyawa. Padatnya penduduk akibat urbanisasi membentuk sebuah kompleks aktivitas yang tumpat, sehingga sistem pembuangan air penuh sampai air limbah dari tangki septik rumah-rumah meluap dan merembes lewat lantai. Akibatnya, pemerintah kota memutuskan untuk mengalirkan limbah tersebut ke Sungai Thames; mengontaminasi suplai air bersih seluruh kota.

Peristiwa tersebut menjadi salah satu pelajaran dan titik balik sistem sanitasi dan pembuangan air perkotaan. Dua ratus tahun kemudian, sistem pembuangan air telah berevolusi. Penduduk juga sudah tidak barbar melemparkan tinja dari jendela ke jalan. Kecil kemungkinan kita akan meminum air limbah peternakan, air sungai kotor, ataupun air buangan MCK secara langsung. Air limbah kini telah menemukan jalannya sendiri untuk “disucikan”.

Tidak ingin rasanya bicara keruhnya sistem limbah perkotaan, tetapi apa daya, yang membuang perlu tahu kabar yang terbuang.

Salah satu prinsip utama dalam pengolahan air limbah adalah memisahkan antara air kelabu dengan air limbah hitam, sebab keduanya membutuhkan intensitas dan jenis penanganan yang berbeda. Bagi air kelabu, disediakan tiga jalur kirab purifikasi: dialirkan kembali ke air permukaan setelah diolah; dialirkan menjadi air tanah melalui penyaringan dengan pasir atau unsaturated soil; atau dialirkan sebagai air irigasi.

Pengelolaan air kelabu biasanya dilakukan dengan sistem off-site yang tersentralisasi di suatu tempat, jauh dari kehangatan rumah. Air sisa sabun dan lemak di piring akan digiring dari lubang wastafel menuju selokan atau “got”, kemudian terus melaju sepanjang saluran air dan (seharusnya) berakhir di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Sayangnya, hanya sedikit kota di Indonesia yang mengadopsi sistem tersebut, kebanyakan hanya mengalirkannya ke sungai terdekat. Itu sebabnya film laga Indonesia tidak ada adegan menyusuri gorong-gorong untuk memburu penjahat, sebab selain sempit, ya, keluarnya di kali.

Lain lagi dengan air limbah hitam. Kebanyakan kota di Indonesia masih menganut sistem on-site untuk mengelola air limbah hitam, contohnya adalah menggunakan tangki septik. Tiap rumah hampir pasti memilikinya, atau dalam konteks lingkungan padat penduduk, biasanya terdapat tangki septik komunal yang mengumpulkan kotoran dari rumah sekitarnya. Di Kota Bandung dahulu kala, terdapat tangki septik komunal dengan teknologi mutakhir di daerah Tegalega. Tangki tersebut bernama Imhoff Tank. Familiar?

Namun, tangki septik hanya berfungsi mengumpulkan. Ke mana truk-truk tinja yang datang dan menyedot kering kotoran kita? Sebetulnya saya tidak pernah ikut menumpang truk tinja pulang, tapi kabarnya mereka pergi ke sarana khusus untuk limbah hitam yang kebanyakan dirujuk sebagai Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Sayangnya, masih ada saja truk tinja yang kedapatan membuang muatannya di tempat-tempat umum seperti taman, lahan sengketa, ataupun sungai.

Sulit sebetulnya menjabarkan bagaimana sistem pengolahan air limbah yang seharusnya, tetapi setidaknya lebih mudah untuk menyadarkan bahwa ada sistem yang berjalan di gelapnya kota, menghantarkan reja-reja kehidupan kita ke rumahnya yang baru.

Ada yang terjadi di balik lenyapnya apa pun yang terbuang, hilang tak pernah terjadi begitu saja.

Penutup

Sebagai salah satu elemen dasar kehidupan manusia, air sejatinya selalu dalam keadaan baik. Dari seluruh air di planet bumi, hanya 2,5% yang berupa air bersih. Dari 2,5% tersebut, hanya 1,2% yang berada di permukaan, 30% berupa air tanah, dan sisanya terjebak dalam bentuk gletser dan tudung es.

Sayangnya, sekitar 70% dari rata-rata 127 liter konsumsi air bersih harian manusia berubah menjadi air kotor. Kekalutan pengelolaan air limbah yang telah disampaikan sebelumnya mengisyaratkan sebuah inisiatif serta daya lebih untuk mengonservasi air bersih; dimulai dari memerhatikan produksi air limbah kita.

Berhenti siram air kecil dengan tombol buang air besar. Berhenti cuci pakaian hanya setelah sekali menggunakannya. Berhenti gunakan terlalu banyak wadah dan peralatan makan. Berhenti makan makanan terlalu pedas, buanganmu terlalu berbahaya. Dan, berhenti mandi di pancuran ketika risau, sebab terlalu banyak air yang terbuang untuk menenangkan hati gamangmu.

Tidak perlu paham detail sistem air limbah, cukup mengerti bahwa air limbah itu ada, banyak, dan berlipat ganda. Kendalikanlah hajatmu, demi hajat orang banyak.

Referensi

  • Badan Pusat Statistik Indonesia (2017), Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017, BPS, Jakarta.
  • Naipospos, Binsar PH. (2018), Air Limbah, Materi Kuliah: Pengantar Infrastruktur Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
  • OECD (2008), OECD Environmental Outlook to 2030, OECD.
  • Perlman, Howard, dan USGS. “Water Questions & Answers How Much Water Does the Average Person Use at Home per Day?” Livestock Water Use, the USGS Water Science School, https://water.usgs.gov/edu/qa-home-percapita.html.
  • Turner, Ryan. 2017. Environmental Implications Of Greywater Irrigation Within An Urban Development [Disertasi]. Queensland (Australia): Queensland University Of Technology.
  • “Standar Toilet Umum Indonesia.” Standar Toilet Umum Indonesia | PERPUSTAKAAN, https://pustaka.pu.go.id/?q=content/standar-toilet-umum-indonesia.
  • https://en.wikipedia.org.

Selasa, 7 Agustus 2018

Nayaka Angger
Pemimpin Redaksi Kolektif Agora
nayaka.angger@gmail.com

Baca tulisan sebelumnya mengenai isu limbah perkotaan dan limbah elektronik, serta ikuti kami di Instagram untuk kabar teranyar.

--

--