EDITORIAL / WARGA

Informal di Kota, Meramal di Kata?

Refleksi tentang Semarak “Informalitas Urban” di Kolektif Agora dan Sekitarnya

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh anthoni askaria di Unsplash, 2020.

Dalam dua artikel terakhir, satu oleh Alvaryan Maulana dan lainnya oleh Nefertari Pramudhita, informalitas urban muncul sebagai kata kunci, yang jika dilucuti dari tulisannya, membuat pesan penulis bisa jadi tak ditangkap pembaca. Bohok, sapaan manis buat Alvaryan, mensyaratkan informalitas sebagai jalan memahami politik perkotaan (yang juga ia kemukakan dalam tulisan lainnya). Nene, panggilan Nefertari, menelusuri bagaimana informalitas jadi cara untuk bertahan di kota akibat gempuran agenda neoliberal.

Pun dalam banyak tulisan yang telah dipublikasikan Kolektif Agora, informalitas urban— entah dalam bentuk pamungkasnya sebagai permukiman, kegiatan ekonomi, atau artefak budaya — jadi topik yang begitu menarik untuk ditelusuri. Saya pribadi bertanya-tanya, mengapa ini berlangsung? Kerap kali, istilah ini tidak diartikan penulis, tapi apakah pendefinisiannya selalu perlu? Kenapa ya, dan kenapa tidak? Apa pula yang ada (atau tidak ada) di kepala pembaca saat membacanya?

Di Mana-Mana Informal

Tak hanya di Kolektif Agora, informalitas urban juga sebetulnya banyak muncul dalam gelembung pengetahuan urban belakangan ini, terutama dalam konteks Indonesia. Saya selalu senang mengambil contoh Rame-Rame Jakarta (RRJ), organisasi yang memang fokus meneliti tentang subjek tersebut. Lewat metode-metode apik dan visualisasi yang ciamik, mereka memberikan pendekatan baru dalam memahami informalitas urban, khususnya pedagang kaki lima (PKL).

Proyek-proyek penelitian institusi lain, baik nasional maupun internasional, termasuk pendidikan tinggi, juga menjadikan informalitas urban sebagai topiknya. Setelah pertama kali dicetuskan pada tahun 1970-an awal oleh Keith Hart dan ILO, “sektor informal” jadi bahan investigasi banyak kaum cendekia dua dekade terakhir.

Nama-nama seperti Ananya Roy, Nezar AlSayyad, Hernando de Soto, dan William Maloney telah mengembangkan diskusi tentang informalitas urban begitu jauh. Mereka bahkan ditasbihkan punya sekolah pemikirannya masing-masing soal fenomena itu. Agenda gerakan pro atau anti-informalitas juga kemungkinan terpengaruh satu atau lebih pandangan mereka.

Tak perlu tinggi-tinggi melihat pucuk menara gading, di layar gawai juga kita lihat representasi PKL yang sering jadi tajuk berita atau meme. Misalnya, yang terbaru, cuplikan video drone abang-abang pedagang yang dicurigai sebagai intel, karena kepergok sedang asyik berbincang lewat walkie-talkie. Entah ide siapa dan dari mana, musik latar video tersebut berasal dari iklan lawas “RCTI Oke”, yang sebetulnya cocok dengan respon si abang setelah tertangkap basah.

Tak statis, tapi juga historis, penuh cerita, spontan, dan musiman. Harmonis, tapi rentan dan acap berada dalam pusaran konflik. PKL, warga kampung kota, supir ojek, serta aktor dan aktivitas informal lain dan ragam identitas yang melekat adalah sesuatu yang sangat familier, terpatri dalam keseharian urban kita. Kita adalah pembeli, penjual, dan peminjam taktik-taktik informal. Kita merayakan, mengritik, dan mencari solusi. Membicarakan dan menuliskannya pun seakan jadi tak terhindarkan.

Luas, Dalam, Banyak Pertanyaan

Dari bermacam eksposur tersebut, rasanya, memecahkan misteri bagaimana informalitas kian berada di panggung tengah adalah usaha yang tak terlalu perlu dilakukan. Informalitas urban sendiri adalah tubuh pengetahuan yang masih gencar direproduksi dan diperdebatkan. Mendefinisikannya tentu akan selalu jadi pekerjaan sulit dan tak bisa dilepaskan dari konteks.

Apakah semua pedagang kaki lima informal? Apakah data tentang pekerja informal mewakili fenomena informalitas? Apakah semua rumah kumuh bisa disebut informal? Apakah semua yang tampak formal “tidak informal”?

Berpuluh pertanyaan mungkin bisa kita tembakkan. Berbagai asumsi juga bisa muncul saat kita melihat secara kasat mata bentuk-bentuk yang kita anggap “informal”, terkadang dilengkapi sentimen negatif, saviour complex, dan anggapan bahwa jika semuanya jadi formal maka kita terbebas dari masalah dunia (semacam paradigma pembangunan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara).

Lantas, bagaimana kita bisa tak sepenuhnya lari dari tanggung jawab epistemologis akan realitas sosial ini (kalau kita mau)? Jawabannya, saya pikir, berkaitan dengan sedalam apa kita memahami makna intrinsiknya.

Lewat diskusi di dunia akademik, berkaitan dengan sekolah pemikiran di bagian sebelumnya, informalitas urban telah dipahami sebagai sesuatu yang datang “dari atas” dan “dari bawah”.

Regulasi pemerintah (khususnya daerah, dalam konteks Indonesia) menentukan mana yang informal dan mana yang tidak. Meski peraturannya pun sudah ada, terkadang informalitas dibiarkan bebas, karena ada kesadaran bersama bahwa ia tetap harus hidup untuk menjamin kestabilan sosial dan politik, serta menjamin ekonomi tidak kolaps.

Di sisi lain, warisan kolonial dan sejarah panjang tentang pemisahan bangsawan-proletar, kaya-miskin, dan mayoritas-minoritas, ditambah pelbagai aturan saat ini pun membuat informalitas tetap informal “di bawah”. Hasilnya adalah pandangan-pandangan, yang mungkin tidak salah, tentang informalitas sebagai pilihan, gaya hidup, peluang, dan aspirasi. Juga bagaimana akhirnya kelompok masyarakat tak bisa “naik kelas” atau lepas dari belenggu informalitas, karena kekangan peraturan dan keterpaksaan bernavigasi di jalur abu-abu.

Pandangan lain yang mungkin berguna bisa kita gali dari sebuah tulisan lama (saya) di Kolektif Agora, tentang analogi pohon dan rizoma. Bermaksud mengambil jarak dari dikotomi formal-informal, kiasan itu mengajak kita menginvestigasi informalitas dari perspektif berbeda. Bukankah peraturan adalah sesuatu yang asing dan sulit dipahami bagi kelompok yang dianggap tak teratur? Bagaimana dengan fakta kalau kelompok yang berlagak teratur (seperti pejabat dan pengusaha favorit kita) juga korup, tak tahu aturan, dan sembarangan? Bukankah kita juga informal saat bekerja tanpa kontrak, tanpa dinaungi aturan yang layak? Sepohon dan serizoma apa kita?

Peringatan dan Panggilan

Alih-alih menempatkannya pada kategori kaku formal-informal, realitas urban selayaknya dipahami dalam spektrum yang dinamis, tergantung konteks spasial dan temporal, dan tak jarang berpindah dan menyesuaikan keadaan. Jika hanya melihat PKL atau warga kampung kota, misalnya, dalam konteks mengikuti aturan atau tidak, maka kita kehilangan kesempatan untuk memahami peran, interaksi, dan kerentanannya dalam membentuk dan memengaruhi ruang-ruang kota. Ini senada dengan repolitisasi isu urban: bahwa kita sudah kebanyakan mereduksi masalah perkotaan yang kompleks dalam rangka membangun dan menciptakan keteraturan.

Informalitas urban, sebagai sebuah fenomena, adalah kolam yang luas dan dalam untuk diselami. Kasus-kasusnya tak hanya menarik ditangkap dan digambarkan belaka, tapi juga berpotensi membuka khazanah untuk membuktikan dan melengkapi teori urban lain. Lebih keren lagi, bagaimana mereka bisa memantik munculnya kerangka konseptual baru, dan recentering pengetahuan urban berdasarkan realitas sosial di Dunia Selatan.

Saya sepakat bahwa informalitas urban punya daya sebagai “situs analisis kritis” dalam memahami permasalahan sosial-ekonomi hari ini. Refleksi akan posisi kita dalam konstelasi informalitas juga krusial. Dalam terjangan ide-ide segar soal solusi “berkelanjutan”, juga inovasi teknologi yang tak bisa kita tebak apa jadinya besok, kelompok yang dianggap informal tak jarang jadi target, kemudian berujung menimbulkan konflik dan kesenjangan baru.

Terakhir, informalitas juga relevan dengan telaah terhadap pemerintahan (governance) dan pengelolaan (management) ruang-ruang kota. Tak hanya di Dunia Selatan, yang memang kental dengan carut-marut politik elite dan jalanan, Dunia Utara yang terkenal karena teratur, berfungsi dengan baik, dan demokratis juga bisa jadi sasaran perspektif informalitas. Justru, dengan lensa demikian, kita bisa menggali ketidakadilan dan perampasan ruang hidup yang selama ini tak terlihat; serta mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Barat yang sering kita caplok untuk menyelesaikan masalah urban di Indonesia.

Tulisan-tulisan ringan, tapi berbobot, seperti karya Bohok dan Nene, layaknya jadi food for thought bagi pembuat kebijakan, aktivis perkotaan, dan warga-urban-yang-tak-mau-diberi-label-apa-apa, tapi berperan dalam derajat tertentu dalam mati atau hidupnya informalitas perkotaan. Besar harapan tulisan-tulisan serupa akan hinggap di kotak masuk Agora; atau di kanal lain, yang tak kalah pentingnya.

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between