Ide / Gerak

TOD: Berat di “D” daripada “T”

Saat semakin maraknya wacana dan rencana pembangunan berorientasi transit atau TOD, apakah keragaman penduduk (Indonesia) sudah masuk menjadi salah satu pertimbangannya?

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

--

Sumber: upload.wikimedia.org, 2019.

Kita semua setuju bahwa kemacetan menyebabkan kemiskinan; tidak hanya secara materiel, tapi juga imateriel. Tentu kita juga setuju kalau kota bukan untuk kendaraan melainkan untuk manusianya. Menjadi penting untuk kita memutar otak untuk keluar dari permasalahan ini. Begitu banyak wacana-wacana pengurangan kemacetan dari penggalakan kendaraan umum sampai upaya untuk mulai berpergian dengan pilihan moda tidak bermotor.

Namun, di sisi lain, kegiatan sehari-hari kita begitu tergantung pada kendaraan bermotor, membuat kita kadang menihilkan prahara jarak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita. Begitu lekatnya kita dengan kendaraan bermotor sampai-sampai membuat bentuk kota sedemikian rupa berubah mengikuti kebutuhannya; jalanan yang lebih luas, rumah-rumah yang semakin jauh dari pusat kegiatan, bahkan menghilangnya pejalan kaki dan pengendara sepeda. Kendaraan bermotor berubah dari sebuah kemewahan menjadi sebuah kebutuhan, seperti yang disinggung dalam manifestonya Unabommer.

Salah satu wacana solusi dari permasalahan sprawling perkotaan dan kemacetan ini adalah — yang juga sedang marak diperbincangkan —konsep transit oriented development (yang selanjutnya akan kita sebut TOD). Secara sempit, TOD adalah konsep membangun dengan kepadatan tinggi di dekat simpul transportasi publik. Tujuannya mulia, yakni agar pembangunan tidak melebar dengan bentuk mendatar dan mengurangi kebutuhan akan kendaraan bermotor. Tapi, apa iya?

Menjamah Konsep TOD

TOD memusatkan pengembangan kota di sekitar stasiun (atau bentuk simpul lainnya) untuk mendukung penggunaan transit, dan mengembangkan sistem transit untuk menghubungkan konsentrasi pembangunan yang ada dan yang direncanakan. Konsep ini populer di Amerika, Kanada, dan Australia sekitar tahun 2004 sampai 2005 (Renne, 2016). Konsep ini sebenarnya sudah lama dibicarakan dengan nama lain seperti “transit villages” atau“transit-friendly design”.

Peter Calthorpe menyampaikan bentuk dasar TOD berupa “pengembangan serba guna dalam jarak berjalan kaki rata-rata 2.000 kaki (sekitar 600 meter) dari halte transit dan area komersial inti; menggabungkan perumahan, ritel, kantor, ruang terbuka, dan penggunaan publik di lingkungan yang dapat dilalui, menjadikannya nyaman bagi penghuni dan pekerja untuk bepergian dengan transit, sepeda, berjalan kaki, atau mobil ”(Calthorpe, 1993).

Jika kita lihat pengejewantahannya dalam perencanaan di Indonesia, menurut Permen ATR/KaBPN Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit, TOD adalah “konsep pengembangan kawasan di dalam dan di sekitar simpul transit agar bernilai tambah yang menitikberatkan pada integrasi antarjaringan angkutan umum massal, dan antara jaringan angkutan umum massal dengan jaringan moda transportasi tidak bermotor, serta pengurangan penggunaan kendaraan bermotor yang disertai pengembangan kawasan campuran dan padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi.”

Kawasan TOD itu sendiri kemudian didefinisikan dengankawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang sebagai kawasan terpusat pada integrasi intermoda dan antarmoda yang berada pada radius 400 (empat ratus) meter sampai dengan 800 (delapan ratus) meter dari simpul transit moda angkutan umum massal yang memiliki fungsi pemanfaatan ruang campuran dan padat dengan intensitas pemanfaatan ruang sedang hingga tinggi.”

Melihat konsep dan definisi tersebut, kita bisa lihat bahwa TOD ada pada pelaksanaan “pengembangan kawasan campuran dan padat” dan “penggunaan angkutan umum massal” yang kemudian cita-citanya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Pengembangan kawasan campuran dan padat dilakukan dengan memberikan bonus zoning pada wilayah TOD; seperti bisa membuatnya lebih tinggi, lebih padat, atau bahkan mengubah guna lahannya jadi lebih beragam. Guna lahan campuran ini memberi kemudahan bagi mereka yang tinggal untuk memenuhi kebutuhannya secara lokal.

Sementara, penggunaan angkutan umum massal menjadi bentuk substitusi dari moda pribadi ke moda umum. Pergantian moda ini didukung pula dengan segala fasilitas yang membuat lebih mudah untuk berjalan kaki dan bersepeda di dalam wilayah TOD. Akhirnya, dengan adanya TOD ini diharapkan ketergantungan kita akan kendaraan bermotor menjadi berkurang, sehingga membuat sebuah kota menjadi lebih ramah bagi penduduknya.

Yang Bergeser dari TOD

Tulisan ini memang tidak akan menyentuh aspek teknis semacam ruang seperti apa yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda, atau seberapa jauh sebenarnya kita bisa bepergian dengan transit yang ada atau direncanakan. Namun, cita-cita pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pribadi melalui pembangunan kompak sesungguhnya sangat bertumpu keefektifannya pada sebuah poin penting: diversity in population.

Gagasan bahwa semakin padat dan beragam sebuah kawasan semakin pula terpusat pergerakannya bukanlah gagasan yang eksklusif dimiliki konsep TOD. Hal ini mudah dipahami dengan sedikit penjelasan mengenai trip distribution. Dengan beragamnya kegiatan di sebuah wilayah yang kompak, maka pergerakan kita, untuk memenuhi kebutuhan juga akan memusat. Biar bagaimanapun, jika ada yang dekat, kita pilih yang dekat, bukan? Setidaknya secara logis seperti itu.

Namun, implikasi guna lahan dan pergerakan ini sebenarnya juga dipertanyakan seringkali karena adanya self-selection dalam pemilihan tempat tinggal. Mereka yang tinggal di wilayah dengan akses yang baik dan kepadatan yang tinggi memang memiliki kesadaran untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Jadi, mungkin saja penggunaan kendaraan pribadi yang lebih sedikit di kawasan kompak bukan merupakan konsekuensi dari kepadatan ataupun aksesnya. Tapi, karena orangnya saja yang memang sudah ingin naik kendaraan umum.

Sebuah hal yang rawan menjadi kesalahan adalah ketika faktor self-selection dirusak karena ketidakmampuan orang-orang yang memiliki keinginan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadinya itu gagal untuk pindah ke lokasi tersebut karena banyak alasan. Salah satunya karena uang. Alasan mengapa begitu banyak orang tinggal di pinggiran adalah karena mereka hanya mampu untuk membeli di sana; di mana lahan lebih murah harganya. Jika kita bandingkan dengan harga yang ada di TOD, mungkin akan menjadi sama dengan mereka yang punya segmen iklan eksklusif di hari minggu jam 9 pagi.

Lalu, muncul kekeliruan kedua: pengalihan moda. Adalah tidak masuk akal untuk memaksa mereka, elit yang kaya raya, untuk menggunakan transportasi publik. Mereka hanya tidak akan berpindah dan itu adalah karena kendaraan publik bukanlah style mereka. Maka, jika wilayah TOD diisi oleh mereka yang sebenarnya tidak ada keinginan untuk menggunakan transportasi umum, apakah konsep ini akan mampu mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan bermotor? Saya pikir tidak.

Tanpa memastikan keragaman penduduk, sesungguhnya konsep ini tidak memberikan manfaat sebesar itu. Lantas, apakah konsep ini sesungguhnya untuk mengurangi ketergantungan kita akan kendaraan atau hanya akal-akalan developer untuk membangun lebih banyak?

ReferensiCalthorpe, P. (1993) The Next American Metropolis: Ecology, Community, and the American Dream. Princeton Architectural Press, New York.Chatman, D. G. (2009). Residential Choice, the Built Environment, and Nonwork Travel: Evidence Using New Data and Methods. Environment and Planning A: Economy and Space, 41(5), 1072–1089. https://doi.org/10.1068/a4114Renne, J., Curtis, C., Bertolini, L., Hesse, M., & Knowles, R. (2016). Transit Oriented Development. Abingdon, Oxon: Taylor and Francis.

--

--

Nefertari Pramudhita
Kolektif Agora

Mainly interested in the city and the choices people make in it