EDITORIAL

Transisi Transportasi: Tua di Jalan (Bagian 1)

Ruang Tak Kasat Mata yang Boros Sumber Daya

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Sangkara Nararya, 2018.

Banyaknya pilihan transportasi yang tersedia membuat persepsi jarak warga kota relatif lebih mulur. Ruang-ruang kota yang terzonasi memaksa warganya untuk selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak hanya untuk bekerja, tapi juga untuk mencari hiburan. Karena persepsi jarak yang mulur ini, tanpa sadar perpindahan menghasilkan ruang transisi tak produktif yang tidak saja memiskinkan secara material, tapi juga imaterial.

Pekerja Jakarta yang melakukan pulang-pergi kerja setiap hari tentu memerlukan alat transportasi yang memadai. Kebanyakan orang memilih transportasi publik karena biaya ekonomis kendaraan pribadi relatif lebih mahal. Sementara, moda tranpostasi publik di Jakarta menjadikan KRL dan TransJakarta sebagai nadi utama yang menyambungkan moda transportasi publik lainnya. Ini menjadikan KRL dan TransJakarta sebagai andalan untuk sekitar 3,5 juta komuter Jabodetabek setiap harinya.

Sayangnya, transportasi publik bukan tanpa efek samping. Meski relatif lebih murah secara ekonomis, biaya secara psikologis seringkali sama saja dengan kendaraan pribadi. Mengemudi kendaraan pribadi di tengah kemacetan menimbulkan stres, berdesak-desakan di transportasi publik pun sama menimbulkan stres. Apa pun pilihan moda transportasinya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain membutuhkan biaya, waktu, dan menimbulkan beban psikologis.

Foto dari cuplikan video Opini.id

Menjadi Komuter di Jakarta

Hampir dua minggu saya tinggal di Jakarta Selatan untuk mengikuti workshop di Universitas Tarumanegara yang terletak di Jakarta Barat. Saya tinggal di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, karena tidak mampu menyewa tempat tinggal dekat tempat workshop saya (terdengar familiar?).

Hal ini membuat saya melakukan perjalanan menggunakan TransJakarta selama sekitar 35 menit setiap harinya untuk sekali berangkat, dan 45 menit lagi untuk pulang kembali dari sana. Itu pun kalau saya tidak melakukan perjalanan ke tempat lain. Misalnya, saya harus menambah 30 menit (dikali dua) jika saya ingin melanjutkan perjalanan pulang pergi ke daerah Meruya, atau 1–1,5 jam jika saya ingin pergi ke Depok.

Serupa halnya dengan sahabat saya yang tinggal di Depok. Ia menghabiskan setidaknya 1,5–3 jam untuk perjalanan menuju kantornya di pusat Jakarta. Waktu yang ia habiskan terdiri dari 45–60 menit untuk perjalanan di kereta, dan sisanya dari stasiun kereta ke lokasi kantornya berada. Bisa dibayangkan beban psikologis harian yang harus pekerja komuter tanggung.

Kehidupan Serba Cepat

Sering lihat minimarket menyediakan makanan cepat saji? Dulu di minimarket paling ada hanya minuman atau makanan ringan saja. Kalau pun ada makanan agak berat, paling sekadar roti. Tapi, sekarang makanan berat pun tersedia di minimarket dan siap santap.

Dulu orang makan makanan berat di rumah atau membawa bekal dari rumah. Restoran pun hanya untuk kepentingan khusus dan harus meluangkan waktu seperti pada jam makan malam. Makan adalah kegiatan penting yang menghabiskan setidaknya 15–30 menit dan dilakukan dengan khidmat. Kemudian, zaman modern yang serba cepat menuntut kegiatan makan dipercepat juga; hadirlah restoran cepat saji.

Namun di masa kini, semuanya harus lebih cepat lagi. Makanan berat tidak lagi hanya hadir di restoran, tapi juga di toko serba ada. Makan sudah bukan kegiatan sakral, tapi sekadar keperluan mengisi perut saja. Orang-orang boleh datang, makan, lalu pulang. Atau bahkan bisa langsung keluar untuk dimakan di perjalanan.

Makanan Sangat Cepat Saji di Minimarket Jakarta

Tidak ada lagi yang sakral, semua harus serba cepat. Waktu luang dan pikiran segar menjadi barang mewah. Kebahagiaan pun menurun.

Untuk mendapatkan kembali kebahagiaan yang hilang, masyarakat urban cenderung mencari sumber-sumber kebahagiaan pengganti. Terbatasnya ruang fisik membuat mereka harus berkompromi dengan memilih ruang non fisik seperti internet, atau ruang komersial yang terjangkau dari tempat bekerja. Ruang komersial itu bisa berupa mall, bioskop, karaoke, sarana olahraga indoor, dan kafe-kafe. Baik internet maupun ruang komersial alternatif (lagi-lagi) perlu dibayar dengan uang.

Lalu, bagaimana dengan warga yang tidak mampu membeli ruang-ruang alternatif tersebut? Apakah harus pasrah menerima kebahagiaan yang terus tergerus? Juga bagaimana dengan warga yang rumah tinggalnya tak terjangkau KRL atau TransJakarta? Ruang transisi yang mereka dapatkan tentu jauh lebih besar.

Work Life Balance

Pola ruang urban saat ini yang terkotak-kotak memaksa kita untuk memisahkan kehidupan pribadi dan pekerjaan. Work and life menjadi dua hal terpisah yang perlu dibuat seimbang. Moda transportasi menjadi ruang-ruang transisi antara work and life yang semakin hari semakin jauh jaraknya. Jarak ini tidak saja jauh secara fisik, tapi juga waktu dan psikologis. Ada “ruang” yang tergerus menjadi sebatas penghubung antara lokasi asal dan lokasi tujuan.

Perjalanan yang direduksi menjadi sekadar kegiatan berpindah ruang telah memiskinkan waktu dan mental manusia. Perjalanan tidak saja mengeluarkan biaya material, tapi waktu yang digunakan pun dapat menguap tanpa produktivitas. Seperti misalnya tidur di perjalanan bukanlah tidur yang produktif, karena hasil istirahat yang didapat bukanlah istirahat yang layak untuk mental. Tidak selayak tidur siang atau duduk-duduk santai di serambi rumah.

Ruang transisi yang lebih besar menghabiskan biaya yang lebih besar juga. Biaya hidup yang boros ini menyulitkan orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, memaksa mereka terus hidup dengan cara hidup yang sama: hidup yang terjebak lingkaran setan kemiskinan.

--

--