Yogyakarta: Warga Digusur, Geser ke Mana?

Melihat Fenomena Disparitas Lahan Ngindung di Pringgokusuman

Naufal Habib
Nekropolis
6 min readSep 1, 2019

--

Sumber Gambar: Dokumentasi Penulis

Atas Nama Pariwisata

Keseriusan pemerintah meningkatkan tingkat kunjungan pariwisata ke dalam negeri tidak hanya sekadar jargon “wonderful Indonesia” dan kampanye akbar di media. Implikasinya mulai tampak pada perbaikan di lokasi sektor wisata unggulan, perencanaan lokasi pariwisata baru, dan pembangunan sarana-prasarana penunjang sektor pariwisata. Tentu saja, instrumen penting untuk mengakomodir semua kebutuhan pembangunan tersebut adalah lahan.

Terutama Yogyakarta, sebagai ikon wisata unggulan selain Bali. Kentara sekali penataan ulang berbagai lokasi wisata dan perbaikan fasilitas penunjang di setiap sudut kota yang disesaki keramaian. Kota ini seperti kehilangan “Yog” nya. Jika kita gunakan analogi tersebut pada nama panggilan kota ini, mengubah Y menjadi J, maka kehilangan “Jog” adalah ejawantah dari potret kota yang semakin “men-Jakarta”.

Teruntuk rakyat, silakan minggir, karena wisatawan mau mampir

Ada terlalu banyak destinasi, wisatawan butuh tempat untuk istirahat. Dari yang terjangkau hingga eksklusif, dari yang biasa hingga yang berbintang lima. Bangunan sewa itu umum disebut penginapan, rumah singgah, motel, hotel atau apapun. Tapi tetap saja, mereka tidak mengawang di angkasa, melainkan dibangun di atas tanah. Di tanah yang sama di antara warga kota yang berkegiatan dan bertempat tinggal.

Sayangnya, tidak banyak lagi tanah kosong di Yogyakarta. Sebagian besar sultan ground semakin tereduksi untuk kepentingan umum atau komersil. Sehingga lahan-lahan privat yang masih menganggur melambung tinggi harganya.Kapitalis” seperti pengembang ingin menggelontorkan dana besar untuk mempercantik bangunan hotel atau penginapan mereka untuk menggaet pengunjung. Demi memuluskan ini, lahan-lahan dengan harga rendah menjadi pilihan.

Salah satunya, lahan ngindung.

Apa itu “ngindung”?

Dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias, menyatakan sekitar 6 persen lahan di Yogyakarta yang merupakan sultan ground dan tidak adanya perhitungan resmi mengenai berapa jumlah lahan yang disewa dengan cara ngindung.

Tanah ngindung adalah istilah yang digunakan untuk sistem sewa lahan yang umum di Yogyakarta, dimana pemilik lahan memperbolehkan seseorang atau keluarga mendiami lahan yang mereka miliki tanpa kontrak tertulis yang sah. Sistem ini umum digunakan pada kerabat atau lingkungan dekat dari pemilik lahan dengan syarat pemilik lahan dapat mengambil lahan sewaktu-waktu tanpa persetujuan penyewa (Astuti, 2017). Konsekuensi dari sistem persewaan ini adalah penyewa dilarang membangun rumah permanen diatas tanah ngindung dan hanya diperbolehkan membangun rumah semipermanen dari kayu dan bambu sebagai material rumah. Sistem persewaan ini juga membatasi penyewa melimpahkan hak sewanya kepada penyewa lain (Sunarno, 2015).

Dalam bukunya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia. Ni’matul Huda membagi ngindung atas dua jenis, yaitu ngindung biasa (mempunyai rumah sendiri di atas tanah orang lain), dan ngindung tlosor yang mengandung arti sama sekali tidak mempunyai tanah sendiri, semata-mata dia hidup dalam rumah bukan miliknya yang berada di atas tanah milik orang lain (2013: 211).

Sistem sewa ini marak terjadi di tahun 1980an ketika banyak pendatang masuk. Namun, harga sewa lahan kota yang terlampau tinggi membuat mereka tidak mampu menyewa lahan. Oleh karenanya, mengindung adalah alternatif terbaik untuk bertahan hidup di kota ini.

Umumnya, pemilik lahan dan penyewa memiliki ikatan emosional sehingga mereka rela menyewakan lahan nya untuk dihuni dengan harga murah. Berdasarkan penyampaian Pak Rahmat (2019) warga ngindung membayar uang sebesar IDR 80.000–90.000 per tahun kepada pemilik lahan. Angka ini jelas kontras dengan harga sewa lahan pada umumnya yang bisa mencapai lebih dari sepuluh juta per tahun.

Sayangnya, seiring dinamika gonta-ganti pemilik rumah dan pergantian generasi pemilik lahan, ikatan emosional ini semakin memudar. Pemilik rumah tidak saling tahu dengan pemilik lahan dan pemilik lahan (ahli waris) tidak lagi melihat warga yang ngindung di tanahnya sebagai suatu komunitas. Mereka yang ngindung kini hanya dianggap sebagai objek materiil yang sewaktu-waktu dapat di uangkan jika dibutuhkan, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan.

Moratorium dan Pembangunan

Ketika moratorium pembangunan hotel di buka tahun 2013, salah satu hotel bintang empat dibangun 2,5 km di sebelah barat Tugu Yogyakarta. Bangunan hotel putih besar itu bernama Hotel Royal Darmo yang dibangun di atas tanah ngindung di Kelurahan Pringgokusuman. Area yang dulunya dikenal sebagai RT29 dan RT30 hilang dari administrasi kota. Berganti menjadi simbol kotak besar pada peta menggantikan kotak-kotak kecil yang dulunya merupakan perumahan warga.

Pembangunan ini sedikitnya menelan 72 rumah dengan jumlah penghuni lebih dari 300 orang. Penggusuran ini terbilang singkat, mulai dari pemberitahuan hingga perataan bangunan. Berdasarkan penuturan Haris (2019) 72 warga yang tergusur hanya diberi waktu tiga bulan untuk mengosongkan lahan dan kompensasi sebesar IDR 3.500.000 dari perataan bangunan rumah mereka.

Rundung warga “ngindung”

Faktor yang mempengaruhi prioritas perumahan ditekankan oleh Turner (1976), termasuk akses pekerjaan, keamanan, kepemilikan tanah, akses sosial, dan standar tempat tinggal. Menurut Li, et. al. (2009), faktor ekonomi, seperti pekerjaan, tabungan, dan kesempatan untuk pekerjaan yang lebih baik mengarah pada keputusan perumahan. Ada juga masalah lain yang harus dihadapi, seperti siklus hidup dan siklus hidup keluarga (Clark & ​​Onaka, 1983) dan faktor-faktor eksternal, seperti sistem penyediaan perumahan yang menghasilkan berbagai jenis tempat berlindung (Mahadevia & Shah, 2009).

Dari faktor yang disebutkan di atas, ada begitu banyak alasan sebagian besar warga yang tergusur dari RT29 dan RT30 tidak memilih pulang ke kampung halaman atau merantau ke tempat lain. Mereka tetap mencoba mencari peruntungan. Faktor ekonomi (mata pencaharian) dan fasilitas umum menjadi magnet besar kenapa warga kota yang menetap di lokasi pinggiran tetap kekeuh menggantungkan hidup di kota besar. Sebagian besar menyewa petakan rumah di dekat lokasi rumah lama mereka. Namun, dengan uang terbatas, mereka terjerat tinggal pada lokasi ngindung yang lain lagi. Mereka kembali “dihantui” bahaya penggusuran karena penjualan lahan.

Sisanya, lebih kurang 35 keluarga yang tergusur membetuk suatu komunitas yang bernama Pringgomukti. Mereka bersepakat untuk membeli lahan yang cukup untuk membangun rumah di Kabupaten Bantul, karena lahan di Kota Yogyakarta tidak ada lagi yang terjangkau. Sebuah kompensasi besar yang harus mereka bayar demi memiliki lahan dan rumah sendiri. Menyerah terhadap lahan di kota juga membuat sebagian warga komunitas tersebut menyerah dengan rutinitas mata pencaharian mereka yang biasanya. Menetap di tempat baru membawa konsekuensi beradaptasi dengan lingkungan baru dengan cara baru.

Dalam rangka pembangunan rumah di lahan baru mereka, Komunitas Pringgomukiti rutin mengadakan kegiatan seperti penggalangan dana mingguan. Kemudian dari internet, kelompok masyarakat ini mengenal Arkom (Arsitek Komunitas) Jogja, sebuah lembaga swasta yang bergerak dibidang penataan kawasan dan bangunan. Melaui Arkom, Pringgomukti kemudian mendapatkan bantuan pemerintah dari kementrian perumahan rakyat dan pekerjaan umum serta desain rumah dan perumahan baru yang akan mereka huni di lahan yang mereka beli di Bantul.

Ide desain dari Arkom oleh Aldi

Namun, pelik permasalahan tanah ngindung tidak selesai di RT29 dan RT30. Sebanyak 5 rumah di RT34 tergusur di Bulan Juni kemarin karena lahannya akan digunakan untuk pembangunan Gudang Pertamina. Tepat dibelakang Hotel Royal Darmo, RT35 dan RT37 terancam akan digusur karena pemilik lahan telah menawarkan tanahnya jika hotel ingin melakukan ekstensi bangunan.

Menurut Ketua RT35, terlihat ada kecenderungan pemilik lahan ingin menguangkan lahan ngindung miliknya. Karena sebagian besar ahli waris dari pemilik lahan sebelumnya tidak tinggal di Pringgokusuman dan mereka terlihat tidak berminat mengurus tanah ngindung serta pembagian waris melalui uang juga lebih mudah.

Pemerintah tak tahu-menahu atau tak mau tahu?

Dari hasil temu bicara, BAPPEDA (Badan Perencanaan Pengembangan Daerah) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengamini bahwa pemerintah cukup lalai perihal perumahan informal. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya data mengenai lingkungan tinggal informal. Tercatat hanya 40 persen dari keseluruhan perumahan area informal yang baru dipetakan. Alternatif perumahan bagi warga ekonomi lemah seperti rumah susun baru terbangun 44.974 unit dari rencana 550.000 unit, (RPJMN 2015–2019). Pemerintah terlihat sibuk sekali memperbaiki kawasan yang bersentuhan langsung sebagai citra kota seperti kawasan tepi sungai. Padahal, perumahan ngindung dan informal lainnya dapat berada di pinggiran atau pusat kota. Kawasan informal ini adalah kampung kota dengan jumlah populasi yang tidak sedikit.

Pengindung harus bersiap, karena inklusivitas kota sampai saat ini masih hanya berupa imaji.

Referensi:

Astuti, Wahyu Kusuma (2015) Substantiating ‘The Empty Signifiers’: Right To The City, Right To Water, and the Question of Oeuvre for Urban Social Movement In Yogyakarta. MSc UDP Dissertation Research Project, UCL

Astuti, Wahyu Kusuma. (2017) Perilaku Perumahan Migran Perkotaan yang Menduduki Tanah Ngindung di Yogyakarta. Jurnal Muara Ilmu Sosial, 1(1), hal. 288–295

Huda, Ni’matul. (2013) Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-Undangan Indonesia. hal. 213

Roitman, S. (2019) Urban Activism in Yogyakarta, Indonesia: Deprived and Discontented Citizens Demanding a More Just City. In: Yip, Ngai Ming; Martínez López, Miguel Angel; Sun, Xiaoyi (eds.) Contested Cities and Urban Activism. The Contemporary City. Palgrave Macmillan, Singapore, hal. 147–174

Setiawan, B. (2010). “Kampung Kota dan Kota Kampung; Tantangan Perencanaan Kota di Indonesia”. Pidato disajikan di Universitas Gadjah Mada sebagai pidato profesor di bidang perencanaan kota.

Turner, J. (1972). Freedom to Build: Dweller Control of the Housing Process. New York: The Macmillan Company.

Turner, J. (1976). Housing by People: Towards Autonomy in Building Environments. London: Moris Boyars Publisher Ltd.

--

--