Dorce Gamalama: Sang Superstar Indonesia

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
13 min readJul 1, 2024
Ilustrasi Dorce Gamalama karya Ambar Rahmi.

“Menjadi perempuan adalah mimpiku. Aku merasa jiwaku benar-benar utuh seorang perempuan. Tak ada keraguan lagi…. Bagaimana pun aku ingin menjadi perempuan. Aku ingin diakui negara.”

Pada 16 Februari 2022 lalu, — di tengah pandemi yang masih melanda — dunia hiburan Indonesia mendapatkan kabar duka dengan berpulangnya Dorce Gamalama. Ia pergi meninggalkan kita usai dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan akibat komplikasi diabetes, alzheimer, dan dinyatakan positif Covid-19. Tak lama setelah tersiar berita tersebut, saya menulis sebuah obituari yang dipublikasikan oleh Queer Indonesia Archive (QIA) di situsnya yang mengulas kisah hidup Dorce yang tidak terlepas dari konteks sejarah queer di Tanah Air. Saya (bersama QIA) menayangkan tulisan itu karena dalam kesedihan akan kematian sosok penting seperti Dorce, kita memang telah kehilangan, tetapi kita sesungguhnya juga patut merayakan. Perayaan itu merupakan upaya untuk kita kelak tak mudah melupakan figur Dorce Gamalama yang jenius dan jenaka. Kita patut untuk terus mengenangnya karena ia merupakan pula simbol perjuangan dan kemenangan atas capaian-capaian dari representasi politik maupun budaya populer yang mewakili gerakan perjuangan transgender di Indonesia.

Dorce Gamalama lahir pada 21 Juli 1963 di Solok, Sumatera Barat. Pada usia tiga bulan, ibu yang telah mengandung dan melahirkannya wafat, sedangkan ayahnya pergi merantau meninggalkannya ketika ia masih lima bulan. Kelak, saat Dorce berumur genap setahun, ia mendengar kabar kalau sang ayah telah menyusul si ibu untuk ikut berpulang. Dorce kecil dirawat oleh nenek yang dipanggilnya Emak. Nama Emak kelak ia abadikan untuk nama rumah tradisional adat Minang yang ia dirikan: Rumah Gadang Hajah Siti Darama. Selama lima tahun, Dorce diasuh Emak di kota kelahirannya. Masa kanak-kanaknya kemudian ia lanjutkan di perantauan. Emak membawanya ke Jakarta untuk tinggal bersama keluarga dari anak Emak yang lain.

“Di sinilah keras hidup berawal,” ungkap Dorce menggambarkan situasi masa kecilnya di ibu kota, tepatnya Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. “Rumah itu terlalu sesak, kami terlalu banyak. Bayangkan bagaimana sesaknya rumah sempit yang didiami oleh 15 jiwa. Memang tak hanya aku yang numpang di rumah bibi, tapi juga keponakan-keponakan bibi dan pamanku tinggal di sana. Saat tiba waktu tidur, rasanya seperti ikan tongkol yang dijemur di tampah. Berjejer-jejer.” Gambaran tersebut ia tulis pada buku berjudul Aku Perempuan: Jalan Berliku Seorang Dorce Gamalama yang ditulisnya bersama FX Rudy Gunawan dan diterbitkan GagasMedia (2005).

Di sana, Dorce merasa tak mendapat kasih sayang selain dari Emak. Ia dianggap anak yang bandel dan susah diatur. Ia merasa sendiri dan terkucil serta mengaku tak memiliki cita-cita, melainkan membayangkan “bekerja di salon, mengurusi kepala orang, dan mempercantiknya.”

Di usia belia, Dorce mulai mengakrabi kehidupan di jalanan, di mana ia bermain bebas serta mencari uang untuk makan dan jajan dengan menjadi loper koran atau berjualan apa pun dari pedagang asongan: panganan kecil, rokok, permen, minuman, dan lain-lain. Sementara di rumah bibinya, ia sering menerima kekerasan. Begitu juga dari teman sepermainan. Dengan sedikit terharu, ia pernah bercerita bagaimana anak-anak sebayanya dan para orang tua mengusirnya atau melarang anak-anaknya bermain dengannya. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ekspresi diri yang feminin dan ia dirundung sebagai banci.

Saat duduk di kelas tiga SD, Dorce akhirnya dititipkan ke keluarga kakaknya di Bukittinggi. Di sana, ia lagi-lagi lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah, khususnya pasar. Namun, ia tidak betah tinggal di daerah yang pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra itu dan kabur ke rumah pamannya di Padang karena mendapatkan perlakuan yang tidak layak. Akan tetapi, untuk yang kesekian kali, ia justru mengalami kekerasan terkait dengan apa yang dikatakannya sebagai “penyiksaan” dari anak-anak pamannya.

Ketika tinggal di Padang dan mendengar kabar kalau Emak sakit di Jakarta, Dorce kecil merasa sedih. Ia mengaku menangis sekeras-kerasnya sampai harus diikat di batang pohon pisang kala itu karena memaksa untuk bisa pergi menemui sosok yang dianggapnya paling menyayangi dirinya dan mengerti ia apa adanya. Pada suatu kesempatan, ia akhirnya benar-benar kabur dari Padang ke Jakarta seorang diri menaiki kapal laut dengan dibantu seorang ibu yang iba padanya. Namun, setibanya di Jakarta, ia malah mendapati Emak telah tiada. Sejak itu, Dorce mengaku tumbuh sebagai anak yang pemurung, tapi ia jadi lebih berani melawan. Dorce pun masih sering menghabiskan waktu di jalan dan hidup luntang-lantung tak karuan. Dan orang-orang masih mengejeknya dengan sebutan banci. Ia sering ditemukan tidur di emperan toko atau tepi jalanan.

Garis hidup Dorce berubah ketika pada suatu peluang, ia dipertemukan dengan Mirna Martinely (Mami Mirna) dan saudara kembarnya Bambang Priyo. Keduanya saat itu telah populer sebagai figur publik dan musisi. Selain lewat grup musik Bambang Brothers (Bambros), Mami Mirna juga dikenal sebagai “tokoh waria” dan pemimpin kelompok hiburan yang seluruh anggotanya adalah transpuan: Fantastic Dolls. Perkenalan Dorce dengan Mami Mirna terjadi ketika Bambros tengah manggung di sebuah kolam renang di Jakarta. Di sela-sela pentas, mereka mempersilakan pengunjung untuk ikut bernyanyi ke atas panggung. Dan dengan penuh percaya diri, Dorce kecil mengajukan diri. Mungkin ada rasa yang campur aduk mengingat ia pernah ditolak untuk bernyanyi di atas panggung pada pagelaran 17 Agustus di lingkungan rumahnya. Tetapi, Mirna mengizinkannya naik. Ia tampil dan menyanyikan lagu orang dewasa. Para penonton dan Bambros dibuatnya terkagum-kagum. Setelahnya Mami Mirna mengajaknya bergabung dengan Bambros. Itu menjadi momen yang kemudian mengubah nasibnya. Dorce mengaku bahwa ia menemukan hidup di atas panggung. Ia belajar secara otodidak untuk bernyanyi berbagai jenis lagu, melawak, dan menghibur dengan menirukan tokoh-tokoh lain, terutama Mami Mirna.

Pada sebuah wawancara, Chenny Han — seorang tokoh transpuan yang sempat bergabung dalam Fantastic Dolls, menyandang predikat sebagai Queen of the Universe (Ratu Waria Sejagat) tahun 1992, serta pengusaha dan desainer baju pengantin terkenal — pernah berkomentar tentang teman kecilnya di Kramat Sentiong itu dan Mami Mirna selayaknya sepiring sajian komplit lauk dan kerupuk. Menurutnya, mereka berdua kompak dalam menghibur orang.

“Dorce nurunin Mirna,” kata Chenny. “Plek ketiplek, seratus persen ilmu Mirna diserap oleh Dorce dan ditambahi kelebihan Dorce.”

Bersama Mami Mirna, Dorce tampil dari panggung ke panggung di berbagai kelab malam di Jakarta kala baru beranjak remaja. Menyadari ada yang “berbeda” dari sosoknya, Mami Mirna kemudian memberinya sebuah nama panggung yang menjadi nama depannya hingga akhir hayatnya, yaitu Dorce. Ia pun mulai memperkenalkan diri sebagai Dorce Ashadi untuk menggantikan nama kecilnya Dedi Ashadi.

Uang dari manggung bersama Mirna-lah yang menopang hidupnya. Dorce mandiri sejak umur belia. Dan akhirnya, ia mendapatkan kebahagiaan lain untuk menampilkan identitas dan ekspresi gendernya.

Dorce mengaku bahwa Mirna, figur yang sangat dikaguminya, adalah orang yang dianggapnya mewakili “jiwanya yang lama terpenjara.” Ia bilang, “Dia (Mirna) yang paling memahami jiwaku…. Cara membawakan lagu cukup memukau. Mirna bisa bernyanyi semerdu Erni Johan, namun juga mampu meledak-ledak saat ia menunjukkan sisi maskulinnya sebagai gurauan…. Tampil cantik dengan gaun perempuan, melenggang genit dan bebas mengekspresikan sisi keperempuanan yang kudamba.”

Terinspirasi oleh Mami Mirna, hasrat Dorce untuk mengenakan rok semakin menggebu. Upah pertamanya manggung bersama Mirna, ia belanjakan untuk sebuah rok span yang seksi di Pasar Rumput. Memakai rok membuatnya merasa genap dan melayang, katanya. Dorce lantas bergabung dengan Fantastic Dolls ketika berusia 18 tahun.

“Sudah tak ada lagi Dedi. Ia terkubur rapat-rapat seiring dengan munculnya nama Dorce. Impianku terkabul, manggung dengan baju perempuan,” tulisnya pada buku biografinya.

Dorce pada majalah SARINAH. Sumber: Arsip QIA.

Tahun 1982, — dengan niatan untuk merealisasikan mimpinya tentang Bali — Dorce nekat pergi dari Jakarta dengan maksud mengunjungi Pulau Bali. Ia naik kereta ke Surabaya. Tapi, bukannya melanjutkan perjalanan, ia malah tertambat di Kota Pahlawan. Hidupnya terlunta-lunta di sana, bahkan Dorce sempat menjadi pekerja rumah tangga (PRT) demi menyambung hidup. Namun, ia teringat cita-citanya menjadi penyanyi. Maka, di malam hari, ia kerap mengunjungi berbagai kelab malam di Surabaya dan akhirnya berjumpa dengan Yoyok, seorang musisi di sebuah kelab bernama Shinta. Dari Yoyok, Dorce dikenalkan dengan Panky Kenthut (Mami Panky) yang turut berperan dalam mencarikannya pekerjaan sebagai penyanyi atau penghibur. Dan selain Mami Mirna, Mami Panky juga dianggap yang paling berjasa dalam mendukung kariernya.

Pada 1980-an, Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) sebagai organisasi transpuan terbesar di Surabaya, memang tengah mengembangkan anggotanya untuk bisa mengambil peran (pekerjaan) di bidang seni dan hiburan. Organisasi yang didirikan dan dipimpin Mami Panky tersebut sukses dalam menciptakan tren hiburan berbasis transpuan di Surabaya, mulai dari pentas kelompok musik, ludruk, tarian, peragaan busana, nyanyian, dan semacamnya di tempat karaoke, kelab malam atau diskotek, taman hiburan, resepsi atau pesta, dan acara-acara lain yang bahkan diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun pejabat setempat. Orang-orang mengenal para penampil atau seniman anggota Perwakos dengan julukan “aktris Perwakos.”

Foto-foto Dorce saat pentas di awal kariernya. Sumber: Halaman 29 pada buku “Aku Perempuan.”

Di Surabaya, karier Dorce meroket. Jadwal manggungnya kian padat. Dalam satu hari, ia bisa tampil di beberapa panggung berbeda.

Seiring berjalannya waktu, Dorce merasa keinginannya untuk menjadi (dan diakui sebagai) perempuan kian kuat. Ia mengaku telah mengonsumsi pil KB sejak remaja karena temannya bilang itu dapat menumbuhkan payudara. Namun, Dorce juga menyadari ada keunikan lain pada tubuhnya. Jakun dan rambut halus pada wajah atau bagian tubuh tertentu yang biasanya ada pada lelaki, misalnya kumis, jenggot, dan bulu kaki, tidak tumbuh di dirinya. Ia tidak mengalami pubertas seperti umumnya remaja lelaki. Kondisi itu bisa saja dikaitkan dengan interseks, tapi di sini saya tak akan mengidentifikasinya demikian karena itu tak lagi dapat dikonfirmasi dengan mendiang Dorce dan ia pun — dalam penelusuran media yang saya akui juga terbatas — tidak pernah mengakui dirinya sebagai interseks, melainkan hanya perempuan.

Pada acara bincang-bincang televisi Angin Malam episode 42 dengan tajuk “Perjalanan Dorce Menuju Operasi Plastik,” Dorce mengutarakan alasan mengapa ia mengambil jalan operasi afirmasi gender (gender-affirming surgey) yang dulu lebih dikenal dengan “operasi kelamin.”

“Aku ke toilet lelaki, takut diperkosa; ke tempat perempuan, ya tahu sendiri. Akhirnya, aku mengadu ke Sang Khalik…. Ingin jadi apa? Aku ingin jadi perempuan benar, tapi dengan keadaan ini bagaimana, Tuhan? Lalu, aku konsultasi dengan dokter ini (Prof. Dr. dr. Djohansjah Marzuki, Sp.BP. atau Johan Marzuki, dokter bedah plastik di Rumah Sakit Soetomo, Surabaya)…. Terus aku dikasih surat (rujukan) ke dokter anu, psikolog, psikiater….”

Pada bukunya, Dorce menyebut sosok Vivian Rubiyanti yang diketahuinya telah lebih dulu melakukan operasi kelamin dan berjuang untuk mengganti identitasnya sebagai perempuan. Dorce terinspirasi pada perjuangan Vivian.

“Aku operasi ingin jadi perempuan, aku ingin diakui negara,” tegasnya. “Aku juga ingin naik haji. Dengan perempuan ini, aku ‘kan jadi jelas.”

Atas rekomendasi sahabatnya, Handayani Kristanti (kini akrab disapa Bunda Handayani) yang mempelopori Persekutuan Doa Waria, Gay, dan Lesbi (saat ini menjadi Persekutuan Hidup Damai dan Kudus/PHDK) tahun 1989 di Surabaya, Dorce melakukan operasi kelamin dengan Johan Marzuki tahun 1983. Sekitar tiga tahun setelahnya, ia mengurus perubahan identitasnya ke Pengadilan Negeri Surabaya dan legal dinyatakan sebagai perempuan dengan nama Dorce Ashadi meski di atas panggung ia kerap bergonta-ganti nama belakang, termasuk Dorce LKPR (pelesetan “laki-laki/perempuan”), Dorce Orang Aring, Dorce Emco, Dorce Manice, Dorce Elkafeer, dan lain-lain. Kelak, ketika ia kian tenar dan pentas di Ternate, Maluku Utara bersama Benyamin Sueb, Sultan Ternate Mudafarsyah merestui nama Dorce Gamalama yang dipilih dan diambil dari nama gunung api di Pulau Rempah tersebut. Ia mengaku Gunung Gamalama membuatnya terkesan karena keindahan, kesuburan, serta keberadaannya yang sendirian, namun mengayomi masyarakat di sekeliling pulau.

Hingga beranjak senior dan masih sering tampil di televisi, Dorce gemar mencandai dirinya sendiri yang seringkali masih diragukan publik. “Sebetulnya kita cuma berbeda tipis saja. Kau (perempuan) kelak bisa beranak, aku cuma bisa kasih enak.” Ia lebih memilih untuk tetap menghibur dan membuat orang tersenyum ketimbang mempertentangkan anggapan orang.

Poster film Dorce Sok Akrab. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Dorce_Sok_Akrab (diakses pada 17 Juni 2024).

Babak baru keartisan Dorce dimulai saat tampil di TVRI Surabaya. Hal tersebut sontak membuatnya semakin dikenal di Jawa Timur dan setelahnya tawaran-tawaran untuk tampil membanjirinya. Tahun 1987, ia ke Jakarta atas undangan pentas di Ancol. Menyusul kemudian, giliran TVRI Nasional yang mengundangnya untuk mengisi acara Perayaan HUT TVRI ke-28 pada 1989. Sejak itu, nama Dorce Gamalama dikenal seantero Tanah Air. Maka, ia memutuskan kembali meniti karier di Jakarta. Dan di tahun yang sama, film feature panjang perdananya dirilis dengan judul Dorce Sok Akrab.

Sebetulnya, sebelum film itu, Dorce pernah terlibat dalam film yang berkisah tentang transpuan dan dimotori kelompok transpuan sendiri, yaitu Mereka Memang Ada (1982). Popularitas film tersebut ditunjukkan dengan keberadaan kaset yang menjadi soundtrack film tersebut, di mana Dorce menyumbangkan dua lagu.

Dorce Sok Akrab yang menghadirkan Dorce sebagai pemeran utama bersama Kadir, Doyok, dan Nurul Arifin, mendapat sambutan hangat di bioskop. Dengan jeda hanya satu tahun, Dorce kembali menghiasi layar lebar dengan Dorce Ketemu Jodoh, di mana ia beradu akting dengan Rina Hasyim, Ida Kusumah, Harry Capri, dan sederetan bintang lain. Namanya kian melambung dan menjadi sensasi media, bukan hanya di Indonesia, tapi juga Malaysia. Setelah film, ia masuk dapur rekaman dan mengeluarkan album Cintaku Kendur di Jalan. Namun, album musik pertamanya yang diproduksi perusahaan rekaman Billboard itu tidak menuai sukses penjualan. Meski begitu, ia terus berkarya dengan menciptakan lagu dan menyanyi, bahkan konsisten membuat album-album ragam genre secara mandiri.

Pada 1990-an, TVRI menghadirkan program bincang-bincang yang menghadirkan Dorce Gamalama sebagai host atau pembawa acara, yakni Dorce Show. Program dengan nama yang samalah yang kemudian dimunculkan lagi dalam rentang 2005–2009 di Trans TV. Program tersebut meledak dan pernah dinominasikan sebagai “Program Talkshow Terbaik.” Dari sana, ia akrab dengan sapaan Bunda Dorce.

Sepanjang kariernya, kiprah Dorce di dunia musik tidak bisa dibilang kecil. Pada puncaknya, ia memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) atas peluncuran sembilan album sekaligus dalam lima bulan dengan waktu perilisan sepanjang November 2005 sampai Maret 2006. Hingga kini, mungkin ratusan lagu dan puluhan album musik telah ia ciptakan dan karya-karyanya tersebar dalam berbagai aliran musik (jazz, melayu, dangdut, country, religi, pop, keroncong, anak-anak, dan lainnya) dan telah dinyanyikan oleh banyak penyanyi populer di Indonesia dan Malaysia.

Sampul album perdana Dorce berjudul “Cintaku Kendor di Jalan.” Sumber: https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/koleksi/kaset/3geg814-jual-dorce-gamalama-cintaku-kendor-di-jalan-audio-kaset-billboard (diakses pada 18 Juni 2024).
Sampul salah satu album dangdut Dorce berjudul “Mader oh Mader Aku Ingin Pulang.” Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=H-FzqgPim3o (diakses pada 18 Juni 2024).
Sampul dari album Dorce Gamalama yang beraliran jazz.

Secara personal, saya mengagumi perjuangan Dorce dalam merebut pengakuan di berbagai bidang atas penyematan figur “bunda” (keibuan) yang didefinisikan oleh kultur atau nilai yang cis-heteronormatif. Pada acara-acara formal, seperti undangan untuk pentas di hadapan para presiden dan pejabat di Istana Negara, ia bisa tampil anggun dengan kebaya atau songket dan rambut sasak atau bersanggul. Ia pernah menghibur hampir seluruh Presiden Indonesia, kecuali Soekarno. Dorce bahkan sempat menikah dengan seorang lelaki selama tujuh tahun, namun bercerai dan ia mengangkat anak. Namun, perjuangannya untuk diakui sebagai perempuan (atau ibu) ternyata belum ia anggap selesai setelah operasi dan persidangan di pengadilan. Tahun 1990, ia menunaikan ibadah haji. Keputusan itu diikuti dengan ragam kontroversi hingga ia terpaksa berkonsultasi dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kyai Haji Hasan Basri yang kemudian menasihatinya untuk pergi dengan mengenakan pakaian perempuan.

“Masalah dosa, itu urusan aku sama Tuhan,” katanya menanggapi komentar miring kepergiannya ke Mekah. Sepulang dari Tanah Suci, ia menyesuaikan namanya menjadi Hajah Dorce Gamalama Halimatussadiyah. Ia bilang, “Aku merasa terlahir kembali.” Sejak itu, ia semakin antusias mempelajari Islam, bahkan Nahdlatul Ulama (NU) pernah mengundangnya untuk berbagi pengalaman sebagai transgender di berbagai seminar. Keputusan besar lain yang ia ambil kemudian — sebagai seorang perempuan muslim — adalah berjilbab.

Setidaknya hingga buku biografinya terbit, Dorce telah memiliki empat orang anak. Seluruhnya ia angkat dan rawat ketika mereka berusia dini, bahkan ada yang dari bayi.

“Masa kanak-kanak yang tidak terlalu ceria itu, membuatku selalu berpikir tentang indahnya kasih sayang seorang ibu. Mendorongku untuk selalu mengekspresikannya pada anak-anakku,” kata Dorce mengutarakan alasan mengadopsi anak.

Tak berhenti di situ, Dorce lalu membangun yayasan dan mendedikasikannya untuk kehidupan anak-anak yatim yang ia asuh.

“Orang berkata tentang diriku, mereka anggap hina. Jangan salah, aku juga manusia yang punya rasa dan ada cinta. Biar begini, aku punya yayasan. Anak yatim aku 1.600.”

Pada 2019, ia bersama rekan-rekannya menggagas aksi penggalangan dana untuk anak-anak terdampak perang di Palestina. Kedermawanan Dorce bukanlah hal yang ia buat-buat atau dijadikan konten publikasi.

“Dorce ini gila dan dermawan,” singgung Chenny Han ketika saya bertanya tentang kenangan yang tak terlupakan selama ia berkawan dengan Bunda Dorce. Chenny bercerita kalau Dorce pernah begitu gila dengan tengah malam menggedor rumahnya untuk meminta bayaran di muka dan tunai ketika Dorce hendak tampil di acara kantornya. “Waktu itu ATM enggak seperti sekarang ada di mana-mana dan (pengambilan uangnya) terbatas,” ucap Chenny. Ia bilang, uang itu dipakai Dorce untuk ia bagi-bagikan ke korban banjir di Jakarta pakai motor. Dari situlah Chenny menyadari betapa teman kecilnya itu memang benar-benar gila dalam konotasi yang positif, tapi juga nekat untuk merujuknya pada betapa kuat jiwa sosial Dorce.

Karier dan popularitas Dorce Gamalama selama lebih dari tiga dekade membuat siapa pun kagum dan menghormatinya. Pada suatu waktu, ia mengaku pernah ditawari partai politik untuk terjun ke dalam dunia politik, termasuk tawaran bakal calon bupati. Namun, ia tidak mengiyakan pinangan tersebut.

Dengan bijak, ia berkata, “Untuk rakyat, kita enggak harus duduk di DPR/MPR…. Aku cukup berbahagia dengan apa yang aku punya.”

Memasuki masa lansia, Dorce terus konsisten berkarya dan sibuk pentas sampai terpaksa rehat karena kesehatannya memburuk dan akhirnya tiada pada umur 59 tahun. Ia telah melalui banyak hal dan beragam capaian, merepresentasikan perjuangan panjang dan dinamis dari gerakan transgender Indonesia. Ia telah memilih dan menghadapi jalan berliku dengan menantang serangkaian halangan. Dengan gaya khasnya yang selebor, lucu, bersuara merdu, dan menghibur, Dorce telah keluar sebagai pemenang untuk banyak rintangan tersebut. Ia melampaui seorang superstar, melainkan sosok multitalenta yang revolusioner dalam industri hiburan kita.

“Saya tak punya dendam yang menyakitkan hati orang. Saya ingin tunjukkan kalau Allah kasih rezeki banyak, saya bikin kolam renang, saya bikin mainan untuk anak-anak…. Aku bisa ukur kebahagiaan kalau aku bisa memberikan sesuatu pada orang yang membutuhkan — membutuhkan pertolongan, membutuhkan kasih sayang. Kebahagiaan yang paling hakiki adalah bagaimana aku bisa kasih sayang dengan anak-anak.”

Dan kita akan selalu mengenang petuahnya yang begitu sering ia lontarkan: kesempurnaan hanya milik Allah.

Bunda Dorce ketika muda. Sumber: Arsip QIA.

Sumber Tulisan

Angin Malam episode 42 “Perjalanan Dorce Menuju Operasi Plastik.”

Dalidjo, Nurdiyansah (2022, 24 Februari). “Mengenang Bunda Dorce yang Abadi atas Waktu” dalam QIA. https://qiarchive.org/id/mengenang-bunda-dorce/ (diakses pada 17 Juni 2024.)

Gamalama, Dorce dan Gunawan, FX Rudy (2005). Aku Perempuan: Jalan Berliku Seorang Dorce Gamalama. Jakarta: GagasMedia.

Han, Chenny. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 17 Maret 2024.

NET FAMILY. Program talkshow Sarah Sechan edisi “Bunda Dorce menangis” dalam YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=HLr7Vx4dHh4&list=LL&index=12&t=31s (diakses pada 17 Juni 2024.)

NET FAMILY. Program talkshow Sarah Sechan edisi “Sarah Sechan dapat hadiah spesial dari Bunda Dorce dalam YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=wt_v_oi3R8I (diakses pada 17 Juni 2024.)

Wikipedia (2022, 25 November). Dorce Sok Akrab dalam Wikipedia https://id.wikipedia.org/wiki/Dorce_Sok_Akrab (diakses pada 17 Juni 2024.)

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah