Panky Kenthut: Ketua Perwakos & Perjuangan Transpuan di Kota Pahlawan

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
21 min readApr 21, 2024
Ilustrasi Panky Kenthut karya Ellena Ekarahendy.

“Asal keberadaan kami diakui saja sudah cukup.”

Selain Jakarta, saya menyadari bahwa Surabaya juga merekam sejarah panjang dan penting perjuangan hak transgender yang amat revolusioner dan solid. Saya rasa amat mustahil untuk tidak menyinggung apa yang pernah terjadi di Kota Pahlawan itu ketika kita membicarakan perihal perjuangan transgender di Indonesia.

Pada 1973, media dan publik baru saja dihebohkan dengan kasus Vivian Rubiyanti yang melakukan apa yang kala itu disebut dengan “operasi penggantian kelamin” di Singapura dan diikuti dengan permohonannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan untuk melakukan afirmasi gender sebagai perempuan pada KTP, paspor, dan dokumen legal lainnya. Saat itu, ia menang dan berhasil disahkan sebagai perempuan. Tak lama setelahnya, kita kembali dibuat gempar dengan sosok Henriette Sukoco yang disebut-sebut media menjadi orang pertama yang melakukan operasi kelamin di Indonesia tahun 1978. Henriette menjalani prosedur medik yang menegaskan identitas dan ekspresi gendernya sebagai perempuan di Rumah Sakit Darmo di Surabaya oleh Dokter Djohansjah Marzuki yang saat itu baru pulang dari Belanda untuk memperdalam bedah plastik. Dan mengikuti pendahulunya Vivian, Henriette menempuh perjuangan di jalur hukum dan memperoleh ketetapan sebagai perempuan melalui putusan pengadilan. Sejak itu, selain Jakarta, Surabaya menorehkan sejarah atas kesuksesan transpuan dalam memiliki pilihan untuk melakukan transisi dan pengakuan secara hukum.

Tetapi, di sini saya tak akan membahas lebih lanjut soal inovasi di dunia kedokteran, khususnya bedah plastik penyesuaian jenis kelamin (gender-affirming surgery), terkait dengan pilihan maupun proses transisi medik, melainkan mengajak kita untuk melihat lebih dalam lagi pada gerakan perjuangan transgender di Kota Pahlawan melalui kehadiran sebuah organisasi transpuan tertua yang masih bertahan hingga sekarang, yaitu Perwakos. Perwakos pada awalnya merupakan kepanjangan dari Persatuan Waria Kota Madya Surabaya, tetapi kini — mengikuti perubahan administrasi kewilayahan — telah berubah menjadi Persatuan Waria Kota Surabaya. Perwakos secara legal lahir pada 13 November 1978. Kehadirannya tak terlepas dari sosok pendiri sekaligus ketua pertamanya: Panky Kenthut.

Sosok Panky Kenthut. Sumber: TEMPO/Kemala Atmojo.

Panky Kenthut (terkadang dikutip pada berbagai sumber dengan pelafalan Pangky Kentut/Pangky Kenthut/Pangky Kethut/Panky Kentut/Pangki Kentut) pernah disebut-sebut sebagai “tokoh waria” oleh berbagai media di Jawa Timur selama akhir 1970-an hingga 1990-an. Tidak hanya populer di kalangan media, sosok Panky sebagai transpuan (kala itu lebih dikenal dengan sebutan “waria”) sekaligus pejuang “hak waria,” juga diakrabi beragam pejabat publik, pebisnis, dan tokoh di Surabaya. Begitu tenarnya ia sampai-sampai banyak orang memanggilnya dengan sebutan Mba Panky atau Zus Panky ketika masih muda dan kemudian menjadi Ibu Panky atau Mami Panky. Meski begitu, — dengan segala keterbatasan kapasitas dan jangkauan saya dalam menelusuri lebih lanjut tentang Panky Kenthut — sejauh ini saya masih kesulitan untuk bisa mendapatkan berbagai material atau arsip, termasuk kliping media dan foto, tentang sosok pendiri Perwakos itu.

Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Mohamad Haris Nasution dan Wisnu (2018), tahun-tahun sebelum kelahiran Perwakos, sebetulnya sudah terdapat sejumlah perkumpulan transpuan di Surabaya. Perkumpulan-perkumpulan tersebut bersifat sporadis dan belum terorganisasi selayaknya organisasi modern yang memiliki struktur organisasi, program kerja, dan infrastruktur lainnya, melainkan berbasis pada kelompok-kelompok transpuan pekerja seks di area “mangkal” (tempat komunitas transpuan biasanya berkumpul dengan sesama, mencari teman kencan, dan melakukan kerja seks transaksional). Mengacu pada dokumentasi Perwakos pada tahun pertama berdirinya, jumlah individu transpuan di Surabaya telah diprediksi mencapai 1.823 orang. Pergerakan transpuan yang masif dari berbagai daerah ke Surabaya turut dipicu oleh pesatnya pembangunan ibu kota Provinsi Jawa Timur itu dan diiringi dengan perkembangan prostitusi. Di berbagai sudut kota, tempat-tempat mangkal bermunculan, mulai dari jalan raya, rel kereta, tepi sungai, hingga tempat keramaian lainnya. Tempat-tempat prostitusi yang lekat dengan komunitas transpuan, termasuk Pacar Kembang, Moroseneng, Tambak Asri, dan Gang Dolly, sebuah lokasi prostitusi yang awalnya diperuntukkan bagi tentara Belanda di masa kolonialisme dan berkembang hingga mendapat julukan sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara sebelum akhirnya ditutup pada Juni 2014 lalu. Sehingga, berbagai persoalan yang membelenggu komunitas transpuan di sana pun tak terlepas dari prostitusi. Selain diskriminasi dan stigma, ada masalah-masalah khas di kalangan transpuan pekerja seks yang disoroti Perwakos, seperti ketiadaan KTP, tempat mangkal yang aman dari razia dan tindak kekerasan oleh aparat, akses pendidikan dan pekerjaan alternatif, pemberdayaan (akses pekerjaan layak), kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, dan lain-lain.

Gagasan pendirian Perwakos, diakui Panky, awalnya terinspirasi dari apa yang sebelumnya telah digagas di Jakarta lewat kehadiran organisasi transpuan Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang diprediksi berdiri tahun 1973 dan diketuai Maya Puspa (Mami Maya). Kehadiran HIWAD kala itu turut didukung oleh Gubernur Ali Sadikin (Bang Ali). Persinggungan Panky dengan komunitas transpuan di Jakarta yang dulu disebut dengan wadam (sebelum menjadi waria) sebetulnya telah terjalin sebelum HIWAD lahir.

Tina Lopez (Mami Tina), salah seorang anggota grup hiburan transpuan Wadam All Stars dan Ratu Wadam 1972, mengaku ketika Wadam All Stars pentas di Surabaya tahun 1968, Panky Kenthut hadir dan menjalin kontak dengannya dan kemungkinan juga dengan anggota Wadam All Stars lainnya. Panky juga mengunjungi Jakarta — kemungkinan di awal tahun 1970-an — saat HIWAD baru lahir dan berbagai show transpuan menjadi tren di ibu kota dengan pula dukungan dari Bang Ali, termasuk perhelatan Ratu Wadam maupun pentas Fantastic Dolls yang dipimpin Mirna Martinely (Mami Mirna) di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Saat itu, di Surabaya suatu perkumpulan transpuan telah tumbuh di Jl. Jimerto, namun karena adanya aduan masyarakat, perkumpulan atau tempat kumpul-kumpul transpuan itu mengalami pemindahan paksa dan pengusiran oleh aparat yang membuat komunitas terpecah-pecah. Panky terpikir untuk bukan hanya membuat organisasi modern yang menjadi wadah berkumpulnya komunitas transpuan dengan penggalian pada ragam aktivitas kreatif, tetapi ia menginginkan organisasi itu benar-benar dianggap legal dan diakui pemerintah. Maka, dengan bantuan lembaga hukum, ia membidani lahirnya Perwakos yang kemunculannya sukses mendapat dukungan pemerintah setempat lewat advokasi yang dilakukan Panky terhadap Pemda Kodya Surabaya (kini Pemkot Surabaya) dan pihak Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di bawah kepemimpinan Wali Kota Surabaya Soeparno (1974–1979). Perwakos disahkan di hadapan notaris M. M. Lomanto, S. H. dengan Akta Pendirian Nomor 46 bertanggal 22 November 1978. Pada tanggal 11 Januari 1979, Perwakos terdaftar pada Kantor Wilayah Departemen Sosial Jawa Timur dan pada 15 Maret 1979, terbit surat pengesahan dari Departemen Sosial Republik Indonesia (kini Kementerian Sosial).

Secara resmi, tujuan pokok Perwakos adalah “meningkatkan kesejahteraan anggotanya para waria, dengan jalan memberikan pengarahan dan bimbingan pada bidang keterampilan pekerjaan, kegiatan bidang kesenian dan sosial, serta membantu dan membela hak-hak manusiawi para waria.”

Variasi logo Perwakos: pada awal berdiri (kiri), perubahan yang diperkirakan tahun 1990-an (tengah), dan yang terakhir atau saat ini (kanan).

Panky sebagai ketua, tentu saja tidak sendiri. Ia punya tim awal yang terdiri dari Ratna M. sebagai wakil ketua, Aryatie sebagai sekretaris, Ana Melinda sebagai bendahara, serta Fara dan Inge D. sebagai humas. Hanya berselang kurang dari satu bulan, tepatnya 14 Desember 1978, dengan restu dari Wali Kota Madya Surabaya, prosesi pelantikan pengurus dan anggota dilakukan di Gedung Serba Guna Lantai VI Kota Madya Dati II. Pada surat yang dikeluarkan pemerintah Nomor 11.998/30/XIII/78/wisel, pemerintah menghimbau agar organisasi itu “menjadi wadah para waria di Surabaya, sehingga tidak melakukan aksi mangkal yang meresahkan warga.” Setelahnya, Perwakos mendapat perhatian Pemda dan serangkaian pertemuan dengan Dinas Sosial terjadi. Panky meminta dukungan untuk tempat atau fasilitas bagi Perwakos. Saat itu, usianya baru sekitar 25 tahun.

Foto Panky dalam sambutannya untuk buku Apa yang Anda Ketahui Mengenai: Kehidupan Transexual dan Waria. Sumber: Buku Kehidupan Transexual dan Waria (1990: 80).

Panky Kentut lahir tahun 1952 di Surabaya dari orang tua yang berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Ada darah Tionghoa di dalam dirinya. Panky adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakaknya lelaki dan adiknya perempuan. Saat ayahnya meninggal, ia dan saudara-saudaranya dibesarkan oleh ibunya sebagai orang tua tunggal di Kota Metropolitan itu.

Panky muda dikenal sebagai sosok yang cantik, pintar, dan luwes bergaul. Ia lulusan pendidikan tinggi Akademi Bahasa Asing (ABA) di jurusan Bahasa Inggris. Panky mengaku kalau ia sudah menjadi waria sejak kecil dan mulai berdandan sebagai perempuan saat duduk di bangku kelas 1 SMA. Di usianya yang belia, yaitu 23 tahun, ia telah memiliki keterampilan dalam tata rias dan bekerja di salon. Kepeduliannya pada sesama telah tumbuh dan itu tidak hanya dibuktikan dengan kerja-kerja yang didedikasikan untuk komunitas transpuan saja. Sebab, saya mendapat informasi tentang Panky yang pernah turut mendukung pembangunan musala meski ia beragama Kristen. Di rumahnya yang seringkali diramaikan dengan kehadiran kawan-kawan transpuan dan kesibukan kerja-kerja terkait Perwakos, ia tinggal bersama ibu kandung dan seorang laki-laki yang menjadi pasangan hidup sampai akhir hayatnya. Di rumah sekaligus kantor Perwakos itu jugalah ia membuka jasa konsultasi sebagai paranormal, sehingga tak sedikit pengusaha yang datang meminta nasihat atau wejangan untuk memperlancar hal-hal tertentu, termasuk hutang dan bisnis.

Pada awal kelahiran Perwakos, Panky berhasil menghimpun 100 orang transpuan untuk menjadi anggota. Angka itu kemudian membengkak hingga 150 orang dan terus bertambah di tahun-tahun selanjutnya. Kelak, pada puncak kejayaannya, menurut Sonya Vanesa (Mami Sonya) yang sejak 2012 menjabat Ketua Perwakos, organisasi itu pernah memiliki anggota sebanyak 1.520 individu transpuan sekitar tahun 1995–1996.

Untuk menjadi anggota, Perwakos melakukan seleksi bagi calon anggota untuk menaati sejumlah aturan, termasuk menjaga nama baik organisasi serta memberi kontribusi positif bagi sesama anggota dan masyarakatnya. Panky mengaku anggota Perwakos terdiri dari transpuan dengan beragam profesi dan latar belakang. “Ada beberapa waria di antaranya waria yang berstatus dokter, sarjana hukum, dan intelektual lainnya, tapi biasanya ‘menutup diri’ di mata masyarakat karena menjaga prestise kedudukan sosial mereka,” katanya. (Moerthiko, 1990)

Pada sebuah surat pembaca di majalah GAYa NUSANTARA, sosok yang dikenal amat vokal itu pernah melayangkan protes dalam pemberitaan terkait dengan dugaan transpuan anggota Perwakos yang mengaku sudah “operasi ganti kelamin,” tetapi tetap bekerja seks.

“Sangat disesalkan nama waria tersebut disingkat dengan Iv, tetapi menyangkut nama organisasi Perwakos yang tidak disingkat sama sekali. Ini menyinggung organisasi, karena sebagian cerita ini tidak benar,” tulisnya. Ia pun menegaskan bahwa tidak ada waria yang sudah menjalani operasi, tapi berprofesi sebagai pekerja seks karena mereka ia anggap adalah orang-orang yang mapan secara ekonomi dan umumnya bekerja sebagai pengusaha salon. “Tindakan Perwakos mengahadapi kisah atau masalah yang begini, yalah dengan mencoret/mencabut keanggotaan Iv. Dan melarang Iv beroperasi di Jl. Irian Barat, juga dari semua kegiatan Perwakos.”

Sudut pandang maupun komentar Panky yang melarang waria anggota Perwakos untuk “menjajakan diri” di jalan, memang kerap dilontarkannya kepada publik dan media. Ia sendiri telah mendapatkan kritik dari kalangan komunitas soal itu. Namun, apa yang dilakukan Panky tampaknya lebih kepada perihal strategi ketimbang menegaskan apa yang terjadi sesungguhnya di lapangan. Ia sangat berhati-hati soal itu karena terhubung dengan nama baik organisasi serta nilai dan praktik moral pemerintah yang melihat transpuan pekerja seks seolah jadi pengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Sementara itu, — di saat yang bersamaan — ia bersama Perwakos tengah melakukan lobi dan membangun kemitraan dengan pemerintah untuk membangun citra positif waria. Dan pada kenyataannya, Panky tak pernah terang-terangan melarang anggota Perwakos untuk tidak mejeng dan ia sendiri tak sungkan untuk turun tangan dalam upaya membebaskan anggotanya (termasuk yang pekerja seks) saat tertangkap razia aparat. Sedangkan tentang Jl. Irian Barat yang disinggung itu, tentu ada sejarah yang unik dan tak terlepas dari perjuangan Panky.

Pada awal berdirinya, Perwakos telah banyak menerima keluhan dari kelompok transpuan soal ketiadaan ruang dan keprihatinan atas ketidaklayakan tempat-tempat kumpul yang ada, termasuk kerentanan pada pengusiran. Maka, Panky (bersama para pengurus Perwakos) memberanikan diri ke Kantor Wali Kota Madya Surabaya di Jl. Jimerto pada awal Februari 1980 dan meminta Wali Kota Madya Surabaya Moehadji Widjaja untuk memberikan bantuan berupa “bekal-bekal keterampilan serta tempat penampungan bagi waria” — seperti dikutip dalam sebuah berita pada Liberty yang terbit pada edisi 1 Maret 1980. Moehadji pun bukan hanya telah menyambut baik kedatangan rombongan Perwakos, melainkan pula memberikan janji atas pemenuhan harapan yang diutarakan Panky itu, tepatnya keterampilan di bidang menjahit dan lainnya serta tempat penampungan di daerah Kenjeran untuk komunitas waria bertemu dan menyalurkan kegiatan maupun bakat. Saat itu, Pemkot Surabaya kerap memandang transpuan sebagai pengganggu ketertiban, sehingga razia pun dilakukan terhadap transpuan. Ia atas nama Ketua Perwakos mengadvokasi pemerintah setempat untuk sesungguhnya menindaklanjuti kembali penampungan sementara di Jl. Mayjen Soengkono — diberikan wali kota madya sebelumnya — yang hanya bertahan selama Januari 1979 dan tidak layak karena terbuka (ketiadaan tempat berteduh dari hujan dan terik matahari). Panky tegas meminta perlindungan hak atas ruang untuk berkumpul dan berekspresi (aman dari razia dan tindak kejahatan terhadap transpuan) serta dukungan pemenuhan hak ekonomi bagi transpuan. Dan perjuangan tersebut berbuah manis. Jalan yang sempat populer disingkat Ibar itu, sesuai rekomendasi Panky, akhirnya ditetapkan secara resmi sebagai tempat kumpul komunitas transpuan. Di sana, aparat tidak melakukan razia, justru mereka turut melindungi komunitas.

Potret dalam Liberty №1382 yang menampilkan foto rombongan Perwakos tengah melakukan pertemuan dengan Wali Kota Surabaya Moehadji Widjaja. Sumber foto: Arsip QIA.

“Kita dikasih tempat untuk kumpul atau mejeng, tapi enggak boleh terima tamu atau bikin prostitusi,” ungkap Mami Sonya ketika saya bertanya tentang Ibar padanya.

Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Ibar masih berupa jalan yang memiliki kebun-kebun dan terdapat area kosong di sekitar sungai. Dalam satu malam, seratusan transpuan mangkal di Ibar. Tentu saja, hal itu turut mengundang laki-laki untuk datang mencari teman kencan.

“Akhirnya, ya waria merengek agar bisa mejeng. Karena, penghasilannya apa kalau enggak mejeng? Waria ‘kan kerjanya salon dan mejeng. Yang enggak punya salon, ya mejeng. Banyak waria kumpul, banyak laki juga kumpul. Ada namanya Mak Gondes akhirnya buka kamar kayak gubuk.” Mami Sonya bercerita dulu terdapat tujuh kamar yang dikenal dengan julukan Elciko, kepanjangan dari “elek, cilik, kotor.” Dalam bahasa Indonesia, kata “elek” dan “cilik” berarti jelek dan kecil. Harga sewanya Rp500 per sekali main. Ia bilang, “Saya juga ikut mejeng. Ya, namanya waria itu ya semuanya mejeng. Soalnya bagaimana ya, tamu itu jam enam sudah pada kumpul sebelum waria datang, jadi tamu mesti cari dan waria itu laku. Satu malam bisa dapat sampai 20-an tamu.”

Menurut Mami Sonya yang telah menjadi anggota Perwakos sejak 1983 dan pernah menjabat sebagai wakil ketua di bawah kepemimpinan Panky pada 1987–2001, Panky menyadari kalau sebagian besar transpuan Surabaya memang bekerja sebagai pekerja seks, termasuk anggota Perwakos. Tetapi, kemungkinan karena bermitra dengan pemerintah yang masih melihat pekerja seks sebelah mata dan juga upaya membangun “citra waria” yang positif, Panky amat berhati-hati atau menjaga tentang itu.

“Kalau tak boleh (kerja seks), ya Mba Panky didemo,” canda Mami Sonya.

Tempat mangkal transpuan di Jl. Irian Barat tetap aktif hingga akhirnya dibubarkan oleh Trirismaharini yang mulai menjabat sebagai Wali Kota Surabaya selama dua periode pada 2010–2015 dan 2016–2020. Ia menginginkan Kota Surabaya bebas prostitusi.

Di Surabaya, Perwakos juga memiliki program seni dan budaya yang dihubungkan dengan kesejahteraan sosial komunitas transpuan. Panky berpengaruh besar dalam menumbuhkan industri hiburan berbasis transpuan di sana. Hal itu pernah diawali melalui kerja sama Perwakos dan Taman Remaja Surabaya. Di sana, Perwakos memiliki acara rutin berupa hiburan yang dibawakan oleh kawan-kawan transpuan dalam format orkes. Berdasarkan penelusuran arsip, ada Orkes Melayu Misri Mutiara dan Waria Nada yang terkait dengan Perwakos. Selain orkes, terdapat pula band Waria Surabaya yang terdiri dari 14 sampai 20 orang dan kerap diundang untuk tampil keluar kota. Mereka tampil dengan bernyanyi, menari, dan melakuan fashion show bak model profesional.

“Keluar kota honor sekitar Rp300 ribu. Tapi untuk bermain di pentas Taman Remaja Surabaya ini honornya hanya sekitar Rp75 ribu,” ungkap Panky. Itu bukanlah nilai yang kecil pada dekade 1980-an dan awal 1990-an. Kehadiran grup-grup yang terafiliasi dengan Perwakos tersebut kemudian memperkaya dunia seni dan hiburan yang didominasi oleh komunitas transpuan dengan munculnya ragam kelompok hiburan serupa, termasuk The New Imitation Flowers, The Doll, The Apples, The Troops, dan Gelora Surabaya. Grup yang terakhir disebut itu hadir dalam bentuk ludruk Jawa Timur-an modern yang menyajikan transpuan anggota Perwakos sebagai bintang utamanya. Kala itu, berbagai kelab, kafe, hotel, dan restoran di Surabaya kian diramaikan dengan ragam pentas transpuan.

Superstar Dorce Gamalama adalah salah satu sosok transpuan yang pada awalnya sukses meniti karier sebagai penyanyi ketika ia akhirnya merantau ke Surabaya ketika pentas-pentas transpuan begitu populer pada 1980-an. Meski pernah manggung bersama Mirna Martinely (Mami Mirna) untuk band Bambang Brothers (Bambros) dan menjadi anggota Fantastic Dolls, namun nama Dorce baru melejit ketika wajahnya diakrabi berbagai kelab malam di sana. Pada buku Jalan Berliku Seorang Dorce Gamalama, ia mengaku kalau Panky merupakan teman yang turut mencarikannya pekerjaan bernyanyi saat itu. Kelak, Dorce juga melakukan operasi dengan Dokter Djohansjah Marzuki (yang kebetulan juga adalah teman sekolah Panky) dan dan mengurus permohonan untuk diakui sebagai perempuan di Pengadilan Negeri Surabaya.

“Dulu, itu kayak pasar malam. Ramai,” kenang Mami Sonya tentang Taman Remaja Surabaya. “Setiap Kamis, malam Jumat, ada Waria Show. Para waria menari, joged. Dan, pengunjung suka joged sama waria.”

Cita-cita Perwakos berangsur-angsur nyata untuk mempersatukan kaum transpuan serta mengangkat derajat dan martabatnya. Lewat Bidang Usaha Kesejahteraan Sosial, mereka memberikan akses pemberdayaan keterampilan komunitas transpuan di bidang tata rias, busana (kursus menjahit), dan lainnya. Mami Sonya menuturkan bahwa pemerintah pernah memberikan salon untuk dikelola maupun menjadi tempat belajar transpuan. Selain itu, ada juga kegiatan bagi komunitas transpuan untuk mengikuti Program Pendidikan Kesetaraan (Paket) A dan B yang setara SD dan SMP mengingat banyak transpuan yang tidak memperoleh akses sekolah formal. Lalu, ketika epidemi HIV menghantam komunitas pada dekade 1990-an, Perwakos melakukan penjangkauan untuk edukasi seputar HIV/AIDS, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, dan kampanye penggunaan kondom. Organisasi tersebut juga memberikan bantuan bagi anggotanya yang hendak berwiraswasta dan mengalami musibah, misalnya sakit atau meninggal.

Pada akhirnya, Perwakos telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pergeseran “citra waria” di Kota Pahlawan yang perlahan-lahan bergeser dari yang semula hanya dilekatkan dengan pekerja seks jalanan, menjadi sosok yang punya ragam profesi di bidang tata rias (salon), jahit, serta seni dan hiburan.

“Banyak waria tak punya KTP, jadi Mba Panky itu juga bantu untuk buatkan KTP,” kata Mami Sonya. “Diambil foto dan dibikinkan KTP Sementara, itu untuk satu tahun.”

Sekitar tahun 1987 atau 1988, (Mami Sonya lupa tepatnya kapan) Perwakos pernah menyelenggarakan proses pemilihan Ketua Perwakos. Saat itu, Panky Kenthut kembali terpilih.

“Dia itu waria yang sekolah tinggi. Jadi, dia dipercaya (komunitas) waria karena waria ‘kan sekolahnya minim,” jawab Mami Sonya ketika saya tanya alasan mengapa Panky Kenthut bisa memimpin Perwakos selama lebih dari dua dasawarsa. “Mba Panky juga orangnya tegas. Meski ada rasa takut, tapi berani hadapi apa pun. Dengan anak buahnya benar-benar mau jaga, saya salut dengan dia jadi ketua. Kalau ada waria dipukuli preman, dia datangi ke kantor polisi, ke rumah sakit. Kalau ada waria kena razia, Mba Panky datang saja, sudah keluar.”

Seiring dengan kian dikenalnya Perwakos, jejaring aktivisme Panky pula terus tumbuh dan tidak terbatas di Surabaya dan Jawa Timur, melainkan hingga ke Jakarta dan mancanegara. Ia ternyata masih memiliki ikatan darah dengan Paul Kwee Tjong Oen (Paul K.), pendiri sebuah organisasi gay Ikatan Persaudaraan Orang-Orang Sehati (IPOOS) di Jakarta. Menurut Florens Lee (Kak Florens) — seorang aktivis dan pengurus IPOOS serta desainer fesyen — yang sempat tinggal di rumah Paul dan akrab menyebut pria itu dengan panggilan “papi,” Panky dan Paul adalah saudara sepupu. Tentu saja, Panky pernah berkunjung ke kediaman Paul di sekitar Tanjung Duren yang menjadi tempat kumpul sekaligus persinggahan para anggota IPOOS. Begitu pun Panky memiliki kedekatan dengan para tokoh maupun pimpinan berbagai organisasi/kelompok LGBTIQ+ di Indonesia, termasuk Angel Sahupala (Mami Angel), Mirna Martinely (Mami Mirna), dan Dede Oetomo.

Di kancah internasional, selama 19 hari pada Juli-Agustus 1990, Panky Kenthut ikut menjadi partisipan yang melakukan study tour ke Australia bersama 11 perwakilan aktivis/pekerja sektor AIDS lainnya di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Australian Federation of AIDS Organisations (AFAO). Ia juga menjadi wakil Indonesia (selain Panky, ada juga Ferry Hadju dari Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara/KKLGN) yang menghadiri perhelatan “AIDS in Asia and the Pacific Conference” (AIDS di Konferensi Asia dan Pasifik) dan “The 4th National Conference on AIDS” (Konferensi Nasional AIDS Keempat).

Panky (sosok ketiga dari kiri) ketika melakukan lawatan ke Australia bersama para perwakilan aktivis/pekerja di sektor AIDS tahun 1990. Sumber: National AIDS Bulletin edisi September 1990 pada hal. 21.

Merlyn Sopjan, Putri Waria Indonesia 2006 dan Ketua Ikatan Waria Malang (IWAMA) pada 1996–2011, mengenang sosok Panky sebagai senior yang ramah. Merlyn mengaku pernah berjumpa dengan Ketua Perwakos itu ketika dirinya menjadi bagian dari keluarga IWAMA pada pertengahan 1990-an. “Waktu itu, aku baru bergabung di organisasi IWAMA. Jadi, masih junior. Kalau ketemu beliau, ramah. Jarang ‘kan waktu itu senior yang friendly. Itu, sih, kesanku selama mengenal beliau sampai meninggalnya,” ucap Merlyn. Ia masih mengenang senyum Panky ketika mereka bertatap muka.

GAYa NUSANTARA menyebut Panky sebagai “tokoh waria yang sangat disegani.” Namanya muncul berkali-kali dalam surat pembaca dan berbagai pemberitaan majalah terbitan Yayasan GAYa NUSANTARA (GN) tersebut. Panky bahkan pernah menulis cerpen.

“Aku menangis, aku bersedih, aku menyesal, aku frustasi, aku benci! Ya… jelas semua itu bercampur aduk menjadi satu, tapi sebentar saja. Ah… suratan takdir memang sudah tergores begitu buatku. Itulah nasibku, itulah hidupku.” Begitulah paragraf penutup dari karya fiksinya berjudul “Semu” yang terbit pada majalah edisi nomor 11. Cerita itu berkisah tentang jalinan cinta seorang tokoh transpuan dengan lelaki yang kemudian meninggalkannya untuk kembali ke kampung halaman dan menikah dengan perempuan pilihan ibunya.

Menariknya lagi, Dede Oetomo, pendiri Lambda Indonesia dan GN, pernah membuat tulisan berjudul “Kesan-kesan dari Malam Parade Aktor-Aktoris Perwakos” yang terbit dalam Liberty No. 1454 pada 18 Juli 1981. Artikel tersebut merupakan impresi Dede yang kala itu datang bersama tiga temannya yang berasal dari Amerika Serikat ke acara pesta dalam rangka Tahun Cacat Internasional 1981 yang bertajuk “Malam Parade Aktor-Aktoris Perwakos” di Gedung Wanita, Jl. Kalibokor, Surabaya pada 26 Juni 1981. Pada kesempatan yang sama, mereka juga merayakan ulang tahun Panky Kenthut.

Dede menggambarkan bahwa malam itu terdapat kira-kira seribu orang yang sebagian besar adalah waria yang datang bersama pacar, teman, dan keluarga mereka dari bayi sampai kakek-nenek. Selain itu, hadir pula para pejabat Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur serta korps diplomatik. Pesta tersebut didukung oleh Wali Kota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur karena mereka mengirimkan perwakilan untuk memberikan kata sambutan. Bagi saya, — dan mungkin juga generasi yang tumbuh di tahun-tahun menguatnya gelombang anti-LGBTIQ+ dan maraknya pengkambinghitaman kelompok queer oleh pejabat/politisi di era populisme — itu merupakan sebuah tonggak yang sulit dibayangkan oleh kita sekarang ini.

Dari momentum tersebut, Dede merefleksikan harapan pada gerakan gay dan lesbian di Indonesia yang masih “merintis perjuangan.” Ia bahkan sampai mengutarakan kalau “para waria adalah perintis dalam usaha mengurangi kesenjangan antara pria dan wanita.” Beragam transpuan di sana turut memeriahkan suasana dengan menari, menyanyi, dan melawak. Tak sedikit dari mereka yang berasal dari luar kota, sengaja datang untuk ikut bersenang-senang. “Kami kagum karena para waria di Surabaya sudah berani menangani nasib mereka sendiri dan membawanya ke arah kebahagiaan jasmani dan rohani. Itu yang penting dan patut diteruskan, saya kira. Saya angkat topi terhadap kaum waria Indonesia,” tutup Dede pada tulisannya.

Panky tentu pernah marah dan melakukan protes keras terhadap pernyataan “tidak ada waria di dalam hukum” untuk mengaitkannya pada persoalan pengakuan dan perlindungan hak-hak transgender di Indonesia. Menurutnya, itu membuat komunitas transpuan semakin dipinggirkan, bahkan ditindas, dengan ketiadaan pengakuan terhadap identitas transgender. Kritik kerasnya itu termuat dalam majalah Liberty No. 1715 pada edisi bertanggal 15 Desember 1989 dengan judul “Pangky Khentut Menggugat: Tanggapan Umum.” Namun, sampai tulisan ini dibuat, saya masih belum dapat menemukan arsip untuk publikasi tersebut.

Hingga kini, ketika kita telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), sebagian aktivis dan pakar hukum berpandangan bahwa kedudukan transpuan atau kelompok LGBTIQ+ di mata hukum pun masih belum jelas dan tegas. Apalagi, kita tengah menghadapi tren kebijakan hukum daerah yang mendiskriminasi kelompok queer dengan melihat keberagaman gender dan seksualitas sebagai penyakit atau penyimpangan serta upaya untuk mengkriminalisasi individu LGBTIQ+. Setelah Aceh memiliki Perda Syariah yang memberikan hukuman cambuk kepada homoseksual, Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah maupun Peraturan Daerah (Perda) dengan tendensi anti-LGBTIQ+ menular ke banyak daerah. Langkah-langkah mempidana atau melakukan tindak kekerasan atas dalih “penyembuhan” atau terapi konversi terhadap orang-orang LGBTIQ+ juga pernah didorong lewat berbagai usulan Rancangan Undang-Undang oleh berbagai kelompok konservatif agama.

“Asal keberadaan kami diakui saja sudah cukup,” ucap Panky ketika ia pernah diwawancara dan dimintai komentar tentang operasi afirmasi gender. Ia memutuskan untuk tidak melakukan operasi, namun terdapat penyesuaian yang dilakukannya terhadap kelopak mata, dagu, dan payudara. (Atmojo, 1986) Saat itu, memang ada kesan bahwa mereka yang telah melakukan transisi medik lewat operasi (dulu sempat dikenal dengan istilah “transseksual”) seolah memiliki keistimewaan lebih untuk diakui (hak-haknya) sebagai “perempuan” ketimbang mereka yang tidak, dengan status tetap sebagai “waria.”

Dan jauh sebelum Panky memperkenalkan istilah “hak waria” ke publik, sejak awal Perwakos berdiri tampaknya itu juga telah disadari Panky. Pada artikel Liberty sebelumnya yang membahas tentang pertemuan Perwakos dengan Wali Kota Madya Surabaya, — selain meminta tempat penampungan dan program pemberdayaan keterampilan hidup — ia telah menyinggung tentang ketidakjelasan status sosial dan status hukum waria.

“Waria menghendaki status tersendiri di antara status wanita dan status pria serta mengharapkan pengakuan secara resmi… dari pemerintah maupun masyarakat. Juga diharapkan untuk menertibkan waria-waria yang masih banyak berkeliaran di jalan,” tulis Liberty. Terkait dengan pengakuan status tersebut, saya ingin melihatnya sebagai suatu terobosan mengingat pada konteks saat itu masih banyak pihak yang masih enggan mengakui transgender maupun gender non-biner, melainkan sebagai sosok lelaki yang menyimpang atau tidak normal. Panky memperjuangkan waria sebagai “identitas” dengan status sosial dan hukum yang tak lagi abu-abu. Begitu pun dengan istilah “berkeliaran di jalan” yang saya hendak tafsirkan sebagai orang-orang yang hidup dengan ketidakjelasan nasib (tidak diakui sebagai warga negara) karena tak memiliki dokumen identitas formal, khususnya KTP.

Mungkin hal semacam itulah yang kelak membuat Panky, — setelah tumbangnya Soeharto pada 1998 — punya haluan lain untuk berjuang di ranah hukum dan politik. Ia pernah terlibat dalam kampanye politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pasca-Reformasi. Panky menerjunkan komunitas transpuan anggota Perwakos untuk terlibat dalam aksi kampanye di jalan-jalan Kota Surabaya. Kehadiran mereka memberikan kemeriahan istimewa pada pesta demokrasi kala itu. Tentu saja, Panky membangun semacam janji politik dengan politikus PDIP untuk urusan hak-hak transgender. Setidaknya, ia telah mencoba dengan segenap cara meski belum berhasil.

“Waktu itu, waria perjuangkan PDIP agar Pak Bambang jadi wali kota. Setelah menang, Mba Panky sama saya ke kantor PDIP. Itu (kami) tak ditemui, padahal janjinya mau dibuatkan shelter untuk waria.” Bambang Dwi Hartono menjadi Wakil Wali Kota Surabaya untuk masa jabatan 2000–2002 dan menang sebagai wali kota untuk tahun 2002–2010 selama dua periode. Harapan terhadap rumah singgah dari pemerintah bagi transpuan, belum terwujud.

Panky tidak menyerah. Ia bersama Perwakos telah semakin dekat dengan GN dan Dede Oetomo yang pada awal 1999 mendeklarasikan diri bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Saat itu, istilah “hak LGBT” sudah semakin populer dan gerakan waria (sebagai gerakan transgender) juga telah tergabung dengan gerakan homoseksual dengan familiernya istilah “gerakan LGBT” secara nasional. Dan di tahun 1999 tersebut, tepatnya pada 25 Juni, Perwakos dan GN menyelenggarakan Gay Pride dengan tema “Emansipasi Kelompok Waria, Gay, dan Lesbian Indonesia” di kediaman Konsul Prancis Dimitry Ovtchinnikof.

Kliping media yang menampilkan potret Panky (kanan) sedang berbelanja di lingkungan tempat tinggalnya. Sumber: Arsip QIA.

Namun, Panky tak berumur panjang. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada Jumat, 21 September 2001 saat usianya baru 49 tahun.

Mami Sonya masih ingat kata-kata terakhir yang pernah diucapkan Panky Kenthut kepadanya sebelum berpulang. “Mba Panky bilang, ‘Kalau aku sudah enggak ada, aku titip ke kamu. Ini tolong dijaga agar jangan sampai Perwakos jatuh ke tangan orang yang enggak bagus atau tak bertanggung jawab.’ (Aku balas,) ‘Kok, ngomong gitu kayak mau meninggal saja.’ Ia kena serangan jantung. Malamnya masuk rumah sakit, paginya meninggal.”

Seperti diberitakan majalah GAYa NUSANTARA, selepas kepergian pendiri dan ketuanya yang karismatik itu, Perwakos kemudian menyelenggarakan acara “Pemilihan Ketua Perwakos Periode 2002–2005” pada 12 Februari 2002 di Gedung Balai Sahabat Surabaya. Acara tersebut tak hanya dimeriahkan dengan kehadiran para transpuan anggota Perwakos yang datang dengan gaun dan dandanan meriah, tetapi juga perwakilan berbagai organisasi queer di Jawa Timur, wartawan, politisi, dan pejabat daerah.

Mami Sonya mengabarkan bahwa usai Panky tiada, organisasi sempat dipimpin oleh Mba Yayu sebelum dirinya terpilih sebagai Ketua Perwakos pada 2012 lalu.

Hingga kini, Perwakos masih tetap hidup dan menjadi organisasi transpuan tertua yang masih bertahan hingga tulisan ini dibuat dan ditayangkan. Tongkat estafet perjuangan Panky Kenthut pun berlanjut dan berumur lebih panjang dari yang mungkin bisa ia duga. Tidak hanya di Surabaya, tapi semangat juang Perwakos telah berlipat ganda ke berbagai daerah di Nusantara. Ada banyak pengurus dan anggota Perwakos yang pergi atau pulang ke tempat lain di luar Surabaya kemudian mendirikan organisasi transpuan dengan corak dan nama yang terinspirasi dari Perwakos, — termasuk penggunaan nama organisasi yang diawali dengan “persatuan waria/perwa-” di banyak daerah di Indonesia — salah satunya adalah Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas), seperti yang diungkapkan Lis Andriani Alen (mantan anggota Perwakos) sebagai penggerak sekaligus pengusul nama organisasi transpuan yang tahun 2023 lalu telah merayakan hari jadi ke-25. Warisan Panky Kenthut dan Perwakos berkembang untuk kita melanjutkan perjuangan hak transgender maupun hak LGBTIQ+ di Indonesia kini dan nanti.

Foto bersama kawan-kawan Perwakos, termasuk Mami Sonya (paling kanan), di rumah singgah sekaligus kantor Perwakos ketika saya bergabung dalam tim Queer Indonesia Archive (QIA) melakukan pendokumentasian sejarah lisan di Surabaya pada pertengahan April 2022. Sumber: Dokumentasi QIA/Sidhi Vhisatya.

Sumber Tulisan

Atmojo, Kemala (1986). Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Baihaqi, Amir (2023, 27 Mei). “Mengenal Perwakos, Satu-satunya Organisasi Waria di Surabaya Sejak 1978” dalam detik.com. https://www.detik.com/jatim/berita/d-6741846/mengenal-Perwakos-satu-satunya-organisasi-waria-di-surabaya-sejak-1978 (diakses pada 15 Maret 2024).

Gamalama, Dorce dan Gunawan, FX Rudy (2005). Aku Perempuan: Jalan Berliku Seorang Dorce Gamalama. Jakarta: Gagas Media.

GAYa NUSANTARA (2002). “Pemilihan Ketua Perwakos Periode 2002–2005” dalam GAYa NUSANTARA Edisi 91, halaman 47.

Jalil, Abdul (2022, 23 September). “Sejarah Gang Dolly Surabaya, dari Makam Menjadi Tempat Prostitusi Terbesar” dalam Solopos.com. https://jatim.solopos.com/sejarah-gang-dolly-surabaya-dari-makam-menjadi-tempat-prostitusi-terbesar-1430274 (diakses pada 14 Maret 2024).

Kenthut, Panky. “Semu” (Cerpen) dalam GAYa NUSANTARA №11.

MA (1980, 1 Maret). “Perwakos Menghadap Walikota” dalam Liberty 1382.

Manthey, Geoff (1990). “AFAO Study Tour to Australia by Community-Based South East Asian AIDS Workers” dalam National AIDS Bulletin Volume 4, №8, September. Australia: AFAO.

Moerthiko (1990). Apa yang Anda Ketahui Mengenai: Kehidupan Transexual dan Waria. Solo: Surya Murthi Publishing.

Pangaribuan, Purnama dan Purbantina, Adiasri Putri (2022). “United State Agency for International Development Partnership and the Surabaya City Transvestite Association in the Fight against HIV/AIDS 2014–2016” dalam Jurnal Sosiologi Dialektika. Surabaya: Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Airlangga.

TEMPO. Pangki Kentut dalam Data Tempo. https://www.datatempo.co/foto/detail/P0511201200362/pangki-kentut (diakses pada 18 Maret 2024).

Wisnu dan Nasution, Mohamad Haris (2018). “Perkembangan PERWAKOS (Persatuan Waria Kota Madya Surabaya) pada Tahun 1978–1999” dalam AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 6, Nomor 4. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Karmadina, Carlin (2023). “25 Tahun Perwakas dan Gerakan Gender Akar Rumput di Maumere” dalam Lau Ne. https://laune.id/25-tahun-perwakas/ (diakses pada 14 April 2024).

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah