Conny Pattirajawane: Pelopor Perjuangan Wadam

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo
8 min readFeb 19, 2024
Ilustrasi Conny Pattirajawane karya Yasmin Aryani.

“(Saya) ingin menjadi manusia bebas dan bekerja mencari nafkah atas usaha sendiri.”

Sosok Conny Pattirajawane pernah diulas majalah Moderna edisi No. 3 Tahun 1 pada 25 Maret 1969 dengan judul “Profil Wadam.” Pada artikel sebanyak dua halaman yang ditulis oleh Boes Boestami itu, nama Conny ditulis dengan pelafalan “Connie.” Ia disebut-sebut sebagai “salah seorang tokoh wadam ibu kota.”

Boes mengawali tulisannya dengan merujuk pada peristiwa penting terkait visibilitas kelompok transpuan di Jakarta pada era 1960-an. Para transpuan — yang disebut sebagai “bantji” (banci) dalam artikel itu — diungkapkan telah membuat heboh perhelatan Djakarta Fair atau DF (kini Jakarta Fair/Pekan Raya Jakarta atau PRJ) yang pertama tahun 1968. Di salah satu ruangan rekreasi tertutup bernama Sasana Andrawina, para transpuan berkumpul. Sebagian dari mereka bahkan adalah pendatang dan secara khusus datang ke Jakarta untuk bisa berjumpa dengan sesama transpuan di sana. Dan kehadiran mereka tidak hanya menarik sesama transpuan lain, tetapi juga banyak lelaki yang mengunjungi Sasana Andrawina untuk melihat transpuan tampil dengan dandanan terbaiknya (sebagai perempuan feminin) dan berdansa dengan mereka. Fenomena tersebut diliput berbagai media dan memancing rasa penasaran Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (Bang Ali) yang turut mempelopori pameran terbesar di Asia Tenggara itu untuk melakukan serangkaian kunjungan dan berdiskusi dengan transpuan-transpuan yang memperkenalkan diri mereka dengan sebutan “wadam,” istilah yang dikreasikan dari kombinasi dua kata: wanita dan adam atau — menurut sebagian orang — hawa dan adam. Artikel itu menyinggung adanya tim “penyelidik” yang dibentuk Bang Ali untuk mengatasi masalah transpuan dari aspek sosial dan kemanusiaan yang berujung pada pendeklarasian secara resmi penggunaan nama wadam (menggantikan banci) di Paradise Hall di Taman Hiburan Rakyat (THR) tersebut. Paradise Hall — menurut Kemala Atmojo dalam bukunya Kami Bukan Lelaki (1986) — adalah “semacam bar yang seluruh kegiatannya dikelola banci.” Tina Lopez (Mami Tina), seorang transpuan senior (77 tahun) yang dulu pernah datang ke Jakarta dari Semarang untuk ikut kumpul di Sasana Andrawina dan kemudian diajak untuk menjadi penerima tamu pada kedatangan Ali Sadikin di Paradise Hall, mengutarakan bahwa Paradise Hall memang secara sengaja diinisiasi Bang Ali bagi para wadam untuk menggelar berbagai pertunjukan dalam perhelatan Jakarta Fair, termasuk kontes kecantikan Ratu Wadam Indonesia.

Potret Conny Pattirajawane. Sumber: Arsip Indonesian Film Center (IdFilmCenter).

Pada artikel yang diterbitkan Moderna, Conny Pattirajawane disebut sebagai “ketua terpilih dari Jajasan Wadam DCI-Djaya yang dibentuk dalam bulan Desember (1968) atas prakarsa Nj. Annie Mambo.” Jajasan Wadam DCI-Djaya atau Jajasan Wadam Djakarta (Yayasan Wadam DKI Jakarta) biasa disingkat JWD dan kemungkinan besar merupakan organisasi transpuan pertama di Indonesia. Arsip terkait yayasan itu belum dapat saya telusuri lebih lanjut ketika tulisan ini dibuat, namun kehadiran JWD bisa jadi telah membuka pintu terhadap kehadiran wadah bagi para transpuan di Jakarta sekaligus arena untuk kelompok transpuan melakukan perjuangan terkait dengan identitas dan ruang untuk tampil atau berekspresi. Meski tidak memiliki kejelasan rincian struktur maupun program/kegiatan, eksistensi JWD menegaskan bahwa organisasi yang dipimpin oleh transpuan dan didedikasikan untuk kaum transpuan, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk ada kala itu.

Kedekatan Conny dan Annie Mambo tampaknya sudah terjalin akrab sebelum pembentukkan JWD menjelang akhir tahun 1968. Annie Mambo adalah Direktur Aries Film (PT Aries Film), sebuah perusahaan film yang aktif memproduksi film layar lebar pada 1960-an dan 1970-an. Film-film yang pernah diproduksinya, termasuk Mendung Sendja Hari (1960), Istana yang Hilang (1960), Bintang Ketjil (1963), Kunanti Djawabmu (1964), Apa jang Kautangisi (1965), Matjan Kemajoran (1965), Sembilan (1967), Laki-laki Tak Bernama (1969), Dan Bunga-bunga Berguguran (1970), Dikejar Dosa (1974), Mama (1972), dan Dikejar Dosa (1974). Awal mula Conny berkarier di industri film adalah dengan menjadi penata rias artis untuk film Laki-laki Tak Bernama yang disutradarai Wim Umboh dan diproduksi tahun 1968. Selanjutnya, ia terus dipercaya sebagai penata rias maupun penata artistik pada banyak film, antara lain Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (1969); Pendekar Bambu Kuning (1972); Perempuan (1973); Tetesan Air Mata Ibu (1974); Cinta (1975); Kugapai Cintamu (1977); Secerah Senyum (1977); dan Hidung Belang (1978). Sementara pada film Dosa Siapa (1972), Conny tercatat sebagai perancang produksi (production designer).

Poster film Laki-laki Tak Bernama yang dirilis tahun 1969. Sumber: Wikipedia.
Salah satu adegan dalam film Apa jang Kau Tjari, Palupi? yang dirilis tahun 1969. Sumber: Wikipedia.

Moderna mengungkapkan bahwa saat itu, Conny berusia 28 tahun (kelahiran 1941) dan lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Saat lulus SMA tahun 1961, ia sempat bekerja di perusahaan penerbangan asing di Jakarta selama sekitar satu tahun. Namun, — seperti ditulis oleh Boes — Conny muda sudah tidak betah bekerja di kantor dengan mengenakan kemeja lengan panjang dan dasi sehari-hari.

“Connie ingin menjadi manusia bebas dan bekerja mencari nafkah atas usaha sendiri,” tulis Boes dalam ejaan bahasa yang dibakukan. Kesadaran Conny atas identitas diri sebagai transgender, telah ia rasakan sejak belia dengan penggambaran pada kalimat “sejak kecil perasaan halus kewanitaan telah melekat pada dirinya.”

Conny Pattirajawane adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya pensiunan pegawai koperasi pemerintah yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan. Dari nama belakang yang menunjukkan fam atau marga, kita dapat menelusuri keluarganya yang berasal dari keturunan yang memiliki kedudukan penting di Negeri Kariu di Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku. Setelah keluar dari perusahaan penerbangan, Conny bekerja sebagai pemotong rambut atau kapster (hairdresser) di dua salon: Kaleidoscope dan Lagita Botique di Jakarta. Ia digambarkan sebagai sosok dengan tinggi 1,74 meter; hobi berenang, berdansa, dan membuat kue; serta disebut “wadam intelek.” Tahun 1969, ia sedang menempuh kuliah Sastra Inggris.

Mami Tina yang berjumpa dan mengenal Conny di Sasana Andrawina, masih teringat kesan pertamanya atas sosok Conny. “Ia tinggi dan bicara bahasa Belanda,” kata Mami Tina. Ia juga bercerita tentang Conny bersama puluhan transpuan lain yang berkumpul di Sasana Andrawina, pernah secara khusus menemui Ali Sadikin (kemungkinan di Kantor Gubenur DKI Jakarta) untuk membahas persoalan wadam. Namun, sayangnya, Mami Tina berhalangan untuk bergabung. Seingatnya, ia saat itu ada urusan dengan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di Semarang yang kemudian tidak ia teruskan setelah semester lima. Mami Tina dan beberapa teman yang awalnya datang ke ibu kota hanya untuk main ke Jakarta Fair, kemudian memutuskan menetap karena merasa telah menemukan “jati diri” dan komunitas.

Menurut Mami Tina, hampir seluruh orang dalam foto adalah transpuan. Conny (ada pada urutan ketiga dari kiri di barisan paling atas) bersama para transpuan berfoto bersama ketika hendak menemui Gubernur Ali Sadikin untuk membicarakan persoalan transpuan di Jakarta pada 1968. Sumber: Perpustakaan Nasional RI dengan judul arsip “Gambar bersama [gambar]: foto bersama Ibu Ayu Agung, Baby Huwae dengan wadam-wadam Ibu kota Jakarta.”

Karier Conny di industri film dimulai dengan keterlibatannya dalam G. F. Original Fashion yang dipimpin seorang artis Gaby Mambo (Maria Gabriela Mambo) dan seorang transpuan Carmen. G. F. Original Fashion terlibat dalam urusan tata rambut untuk film Laki-laki Tak Bernama dan Apa Jang Kau Tjari, Palupi? yang ditayangkan pada 1969. Tak hanya di salon dan film, Conny juga ikut menata rambut para kontestan dalam pemilihan Ratu Pariwisata tahun 1969.

Setelah perhelatan Jakarta Fair yang pertama, — di mana Paradise Hall juga berhenti beroperasi — para transpuan tak lagi punya ruang untuk berkumpul. Mami Tina mengutarakan kalau ia bersama sejumlah transpuan lain sempat berkehidupan di jalan-jalan ibu kota, termasuk sekitar Menteng. Maka, tahun 1969, Conny turut membangun Wadam All Stars. Kelahiran kelompok hiburan yang terdiri dari 11 orang transpuan tersebut bisa dibilang menjadi tindak lanjut dari mereka yang aktif berkumpul di Paradise Hall dan pengembangannya turut didukung oleh Annie Mambo. Wadam All Stars melakukan show perdananya di Surabaya. Pertunjukan mereka di Kota Pahlawan — dikisahkan Mami Tina — membludak hingga membuat pagar pembatas jebol dan hotel tempat mereka menginap juga dikerumuni penggemar. Lalu, selama satu bulan penuh mereka menggelar tur ke berbagai kota di Pulau Jawa. Wadam All Stars menyajikan berbagai pertunjukan hiburan kontemporer, seperti tarian, nyanyian, dan peragaan busana. Banyak orang kagum karena itu menjadi pengalaman pertama bagi kota-kota di Jawa untuk menggelar pertunjukan modern yang menghadirkan transpuan-transpuan cantik sebagai bintangnya. Sebelumnya, sebagian masyarakat di Jawa hanya mengenal sosok transgender perempuan yang akrab disebut dengan banci atau — dalam bahasa Jawa — wandu lewat pagelaran tradisional berupa ludruk di Jawa Timur dan kesenian orkes di Jakarta.

Keberadaan Wadam All Stars telah secara langsung dan tidak langsung menginspirasi kelahiran berbagai kelompok hiburan serupa yang anggotanya adalah transpuan di kota-kota besar di Indonesia, terutama pada awalnya di Jakarta dan Surabaya. Mirna Martinely (Mami Mirna), kelak menjadi Ketua Himpunan Waria (Hiwaria), pernah tergabung sebagai anggota Wadam All Stars bersama Conny dan Mami Tina. Hiwaria adalah organisasi waria yang awalnya bernama Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) yang diprediksi berdiri pada 1973 dan dipimpin pertama kali oleh Maya Puspa. Pada 1979, ketika Mami Mirna dinobatkan sebagai ketua, nama Hiwad berganti menjadi Hiwaria. Perubahan nama itu kemungkinan terhubung dengan polemik penggunaan istilah “wadam” yang ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun Kementerian Agama usai Bang Ali tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta.

Berbagai kelompok dan sosok penting transpuan setelah Wadam All Stars tak lagi aktif di awal 1970-an, meliputi Bambang Brothers atau Bambros (didirikan sebelum Fantastic Dolls ada oleh Mirna dan saudara kembarnya); Fantastic Dolls (didirikan pada 1977 oleh Mirna, Lydia, Leila, dan Lisa di Jakarta); Golden Lady (didirikan tahun 1979 secara kolektif oleh Poppy Barbara, Chenny Han, Sofie Saboa, Arie Corren, Ade Seno, dan Lenny Lamour di Jakarta); Blue Angel’s (diprediksi didirikan pada 1978, namun sumber lain mengatakan 1983, dan dipimpin Angel Sahupala (Mami Angel) yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Waria Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong atau DPP Hiwaria MKGR di Jakarta); Golden Boys Cabaret Show (diprediksi sekitar pertengahan 1990-an oleh Jeanny Stavia atau Avi yang pernah menjadi model video klip Naif); Silver Boys (diprediksi didirikan pada Juli 1984 dan dipimpin Tata Dado di Jakarta); dan Apple Dolls (didirikan pada 1984 oleh Jane Budhiyanto atau Mami Jane yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah/DPD Hiwaria MKGR Jawa Timur di Surabaya).

Pada bagian akhir artikel yang diterbitkan Moderna, Conny ditanya apakah ia ingin mengubah kelaminnya. Ia bilang, selain ongkosnya yang sangat mahal, ia menganggapnya tidak perlu karena itu tidak membuat wadam dapat melahirkan keturunan.

Dari obrolan dengan Mami Tina, saya mendapat informasi (yang belum bisa saya konfirmasi lebih lanjut kepada Conny maupun keluarganya) bahwa Conny dikabarkan telah pergi meninggalkan Indonesia. Mami Tina bilang kalau ia juga sudah melakukan operasi kelamin atau vaginoplasti transgender serta telah tinggal dan menikah di Belanda. Dalam berbagai penelusuran arsip film yang coba saya lakukan secara acak, pencantuman nama maupun pelibatan Conny di dunia film nasional, tak lagi dapat ditemui setelah film Hidung Belang yang rilis tahun 1978.

Potret Conny Pattirajawane pada majalah Moderna (25/03/1969).

Sumber Tulisan

Atmojo, Kemala (1986). Kami Bukan Lelaki: Sebuah Sketsa Kehidupan Kaum Waria. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Boestami, Boes (1969). “Profil Wadam: Connie” dalam Moderna №3 Tahun 1 pada 25 Maret.

Hanggoro, Tri Hendaru (2016, 26 Februari). “Cara Bang Ali Hadapi Waria” dalam Historia. https://historia.id/urban/articles/cara-bang-ali-hadapi-waria-P3eRk (diakses pada 23 Juli 2023).

Lopez, Tina. Wawancara pribadi dengan Nurdiyansah Dalidjo. 23 Juli 2023.

IdFilmCenter. https://www.indonesianfilmcenter.com/profil/index/director/6452/conny-pattirajawane (diakses pada 22 Juli 2023).

IMDb. https://www.imdb.com/name/nm4487236/ (diakses pada 22 Juli 2023).

Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Laki-Laki_Tak_Bernama_(1969,_wiki).jpg diakses pada 22 Juli 2023.

Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Apa_jang_Kau_Tjari,_Palupi%3F (diakses pada 22 Juli 2023).

“Sang Mami & Para Pemimpin dalam Sejarah Gerakan Transpuan” merupakan sebuah proyek independen & kolaborasi yang dilakukan sebagai upaya pendokumentasian & promosi terhadap tokoh-tokoh penting transpuan yang telah memberikan kontribusi signifikan pada gerakan queer di Indonesia, khususnya komunitas transpuan. Melalui proyek ini, Nurdiyansah Dalidjo berkolaborasi dengan para aktivis senior transpuan & ilustrator/seniman perempuan/trans/non-biner untuk penyajian tokoh penting transpuan dalam bentuk tulisan dengan ilustrasi.

--

--

Nurdiyansah Dalidjo
Nurdiyansah Dalidjo

Unapologetic queer writer who seeks to memorialize the role of spices as the ingredients that fueled the revolution in Indonesia. Instagram: @penjelajah_rempah