Time to stop the exploitation of free academic labour

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia
5 min readDec 28, 2020

Profil penulis (ORCID | GOOGLE SCHOLAR)

Ini tentang artikel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh mendiang Jon Tennant di Jurnal European Science Editing.

Hot air balloon Pxhere CC0

Dari gratisan menjadi keuntungan

Dalam dunia publikasi dunia yang telah menjadi industri, prinsip dari gratisan menjadi keuntungan sudah nyata terlihat. Dunia publikasi memang intinya menyerap hasil kerja orang lain (tanpa bayaran) dan mengubahnya menjadi keuntungan. Yang termasuk ke dalam eksploitasi jurnal untuk waktu kerja gratisan kelompok akademik (free academic labour) adalah meninjau makalah. Barangkali Anda kurang jelas.

Ya industri publikasi memang industri yang unik, yang hampir tidak ada padanannya. Saya bukan orang ekonomi atau teknik industri, tapi sepertinya cukup mengetahui bahwa industri publikasi adalah mungkin satu-satunya industri yang dikendalikan dan mengendalikan pasar, tetapi tidak memasukkan seluruh komponen produksi sebagai komponen pembiayaan. Mohon koreksi untuk istilah yang saya pakai ya.

Oligopoli telah terjadi

Saya senang belajar sejarah (membosankan memang selalu bicara tentang masa lalu). Semalam dalam salah satu tayangan dokumenternya, stasiun CGTN menceritakan tentang kolonialisme yang salah satunya dipicu oleh penemuan pala di Kepulauan Banda dan teh di India. VOC kemudian dikenal dengan monopolinya.

Sama halnya dengan dunia otomotif, hasrat saya yang lain. Di kala kecil dulu, saya melihat bagaimana di awal 1980-an. merek-merek mobil Eropa masih banyak terlihat di jalanan, bahkan lebih sering terlihat dibanding merek-merek dari Jepang. Iklan-iklannya banyak saya lihat di seksi Motorcar di Buku Halaman Kuning (baca: buku telpon). Selain Mercedes dan VW dulu mobil-mobil Peugeot (504 dan 505), Fiat (124, 125, Mirafiori) dan Alfa Romeo (Alfeta dan Alfasud) sering saya lihat di garasi orang-orang. Entah kenapa saya jarang melihat BMW. Kemudian di akhir 1980an, mobil Jepang banyak yang masuk, hingga saat ini, Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi (secara berurutan) adalah lima besar merek mobil di Indonesia (bahkan mungkin di dunia).

Dunia publikasipun sama. Industri publikasi telah dikuasai oleh beberapa kelompok kecil saja. Untuk kelompok penerbit komersial ada nama-nama seperti Elsevier, Springer, Wiley, dan Taylor and Francis. Oligopoli telah terjadi, jangan lupa itu.

Tidak membayar peninjau bukan masalah utamanya

Kembali ke artikel utama di atas. Yang masalah sebenarnya bukan membayar peninjaunya (reviewer), tapi menggunakan hasil peninjauan (artikel ilmiah final) untuk mencari keuntungan. Jadi kalaupun para peninjau dibayar, tapi hasil akhirnya tetap muncul perhitungan keuntungan, maka tetap saja salah.

Loh kok bisa? Ya karena jurnal atau penerbit bukanlah pihak yang membiayai riset yang menjadi bahan baku artikel. Dalam kasus Indonesia, yang paling banyak membiayai riset adalah kementerian.

Sudah sering saya sampaikan kalau model bisnis jurnal di indonesia adalah salah satu yang paling sehat, walaupun sering tekor dana operasionalnya. Tapi ini terjadi di mana-mana, termasuk India. Simak juga rangkuman diskusi tentang model bisnis publikasi ini.

Dana operasional adalah masalah yang paling sering muncul. Dulu dana operasional sangat dibutuhkan untuk mencetak jurnal. Tapi sekarang di era digital terkoneksi, kebutuhan lain ternyata lebih penting, yaitu honor atau insentif untuk tim pengelola jurnal. Waktu seseorang yang sudah punya kegiatan rutin untuk melayani orang lain mahal harganya kalau dirupiahkan dengan cara yang benar. Walaupun niat melayani harus yang utama, kompensasi finansial (sebagian saja) sebaiknya memang harus tetap ada, kecuali kalau gaji dari kegiatan rutin memang sudah besar. Salam hormat saya untuk para pengelola jurnal Indonesia.

Yang masalah adalah telah dilupakannya prinsip dari kita, oleh kita, untuk kita (mirip dengan semboyan di masa Orde Baru) harus tetapi yang utama. Komunitas akademik (konteks global) harus bersatu-padu dengan satu motivasi untuk mempercepat pengembangan ilmu. Di sinilah komunitas seperti RINarxiv dahulu INArxiv, Peer Community In (PCI). Walaupun prinsip itu selalu muncul di awal, sayangnya kemudian dilupakan ketika jurnal yang bersangkutan sudah masuk Sinta-X atau Q-x. Seketika status sosialnyapun berubah. Memang diposisikan seperti itu secara sistematis. Pada saat itulah motivasi lain bermunculan.

Untuk model bisnis jurnal LN terbagi ke dua sistem: nirlaba (not for profit) dan untuk mencari laba (for profit). Yang sudah jelas sakit (dalam pemikiran saya di atas) adalah yang for profit seperti Elsevier, Springer, Wiley dst. Yang not for profit sendiri ada dua: ada yang betulan dan konsisten not for profit dan ada pula yang karena alasan efisiensi dan penyederhanaan justru berubah haluan bekerja sama dengan penerbit for profit.

Yang masalah adalah model bisnis tidak etis

Makalah di atas terutama menembak model bisnis tidak etis yang dilakukan oleh penerbit komersial. Jadi kalau memang kurang dana operasional, silahkan mendisain Rancangan Anggaran Biaya (RAB) yang wajar, yang bisa membuat semua komponen bekerja lancar. Kemudian dicari sumber pembiayaannya, salah satunya adalah minta iuran ke penulis, atau meminta mereka membayar APC (Catatan: asal tidak ada motif lain). Jangan dilupakan juga fakta bahwa kita harus membayar untuk menayangkan bahkan membaca hasil kerja kita sendiri. Tidak banyak bedanya dengan proses pemasangan iklan sebenarnya.

Tren akses terbukapun (open access/OA) dimanfaatkan untuk keuntungan mereka. Springer Nature adalah salah satu yang menjadi sorotan. Juga praktek mirror journal oleh Elsevier. Mirror journal adalah jurnal full OA yang sengaja dibuat sebagai sandingan versi non OA atau hybrid OA nya hanya untuk memenuhi kriteria kebijakan Plan S. Jadi misal awalnya ada Journal AAA kemudian dibuat kembarannya Journal AAA-X yang full OA. Silahkan disimak juga perspektif dari penerbit komersial, mari kita baca sama-sama.

Masalah lainnya adalah kejar-mengejar indeksasi, yang pada akhirnya akan menaikkan status sosial tujuannya. Tidak ada bedanya dengan para pekerja pemula yang motivasi berkarirnya adalah memboyong Mercedes C-Class terbaru. Sempit sekalikan pemikirannya.

Jangan terlalu bangga kalau diminta menjadi peninjau

Melihat fenomena di atas, di sisi lain jangan terlalu bangga kalau diminta untuk menjadi peninjau oleh penerbit komersial (Elsevier dkk). Mereka membutuhkan tenaga kerja gratis kita. Ini tidak bisa kita sebut sebagai pengabdian kepada masyarakat, karena jelas kegiatan meninjau kita tidak berpengaruh langsung kepada masyarakat tapi mempengaruhi ke aliran keuangan perusahaan.

Jadi ya biasa saja.

Fakta bahwa Anda dinilai oleh mereka sebagai peneliti bereputasi memang tidak boleh dipungkiri. Patut disyukuri dan terus dikembangkan. Tapi masalahnya bukan pada reputasi Anda. Bukan pada tepat atau tidaknya reputasi Anda untuk jurnal mereka dan bahkan apa betul atau tidaknya posisi reputasi Anda lebih tinggi atau lebih rendah dari peneliti lain. Masalahnya adalah reputasi Anda dipakai untuk mendukung praktek bisnis yang tidak etis.

Kalau memang ada waktu ya terima, kalau tidak ada waktu ya jangan. Lakukan peninjauan sebaik mungkin. Selalu meng-encourage penulis jangan men-discourage. Penulis pemula apalagi masih mahasiswa pasti butuh lebih banyak dorongan. Kritik dapat diberikan tanpa harus menurunkan semangat.

Jangan pilih kasih, agama manapun bilang tolonglah yang lebih membutuhkan. Jadi jangan selalu menolak permintaan peninjauan dari jurnal Dalam Negeri (DN) tapi selalu menerima bahkan pamer permintaan peninjauan dari jurnal Elsevier. Apalagi kalau yang diceritakan IF atau Q jurnalnya. Paling sedih saya, karena pada waktu yang berbeda orang yang sama pasti marah kalau tempat parkir mall khusus untuk merek mobil tertentu saja.

Pamerkan isinya. Bukan mereknya. Ini prinsip hidup. Mau jadi dosen atau jadi apapun.

--

--

Dasapta Erwin Irawan
Good Science Indonesia

Dosen yang ingin jadi guru | Hydrogeologist | Indonesian | Institut Teknologi Bandung | Writer wanna be | openscience | R user