The English Game: Ketika Sepakbola Mulai Jadi Opsi Mencari Nafkah

Elsofaris
oragol
Published in
4 min readApr 11, 2021

--

Tentang pengabdian yang bertransformasi menjadi komoditas pendatang cuan~

Pekerja versus bangsawan di salah satu pertandingan sepakbola (sumber: Netflix) | A. Arfrian

MARET tahun lalu, ketika pandemi baru saja merebak di dunia, berbagai kebijakan mengenai pembatasan mobilitas dan pengumpulan masyarakat mulai diberlakukan. Tak terkecuali dalam gelaran liga-liga sepakbola di Eropa. Kompetisi terpaksa dihentikan sementara, seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kasus Covid-19 di benua biru itu. Seluruh penikmat sepakbola pun dipaksa untuk berpuasa sejenak. Hadir di waktu yang tepat, 14 hari setelah kita berpuasa, Netflix memberi kita cara untuk menikmati sepakbola dengan bentuk lain, yakni film serial berjudul “The English Game”.

Mini serial berjumlah 6 episode tersebut menceritakan tentang awal mula sepakbola profesional berkembang di negeri Elizabeth, Inggris. Tak sekedar itu, “The English Game” justru saya tangkap sebagai fenomena dari bagaimana suatu objek yang awalnya bebas dari kepentingan ekonomi, bertransformasi menjadi suatu objek yang mulai bersentuhan dengan kepentingan ekonomi, dan hari ini telah menjadi suatu ekosistem industri modern yang telah berprinsip untuk terus mengeruk cuan.

***

Suatu hari pada pertengahan 2010, saya pernah dimarahi ibu akibat terlalu sering menghabiskan waktu bermain di rental playstasion dan warnet. Ibu saya acapkali mengomel sebab saya terus menghabiskan uang jajan untuk hal yang dia anggap tak berguna.

“Ngapain sih kamu kerjanya cuma ngegame dan cuma nontonin video Youtube sampai sore di warnet?,” tanya ibu sambil mengancam pengurangan uang jajan saya.

Saya cuman diam dan sesekali meminta maaf kepada ibu saya. Hanya itu yang bisa saya lakukan agar duit jajan tak terpotong. Namun dalam hati, saya bertanya-tanya soal kenapa sampai sebegitunya ibu saya tidak suka dengan kegiatan yang saya lakukan? Sebagai seorang remaja, tentu wajar dibenak saya hanyalah bermain dan bermain. Yaa, ini sebagai cara untuk melampiaskan kepenatan setelah bosan berkegiatan di sekolah.

Apalagi situasinya begini; saya hidup di sebuah daerah di mana tanah lapang tempat kami bermain sepakbola semakin sempit akibat pembangunan, beberapa permainan tatap muka yang mulai ditinggalkan — dan tampak membosankan. Di lain pihak, perkembangan teknologi digital masuk dalam kehidupan kami dan tampak lebih mengasyikkan. Sementara kami sendiri perlu medium lain untuk menyaluran energi kami yang terlampau melimpah di fase umur kami saat itu.

Singkatnya, tanah lapang makin sempit, teknologi digital mulai berkembang. Dan, terjadi transformasi di berbagai aspek kehidupan termasuk wahana bermain remaja yang mulai merambah ke digital. Jangan salahkan kami! Kami hanya tergiring menjadi bagian dari bagaimana dunia ini bekerja. Andai saja argument seperti demikian bisa saya sampaikan untuk menangkis omelan ibu saya dulu, pasti ongkos jajan saya akan tetap dipotong. Huft!

***

Dalam serial “The English Game”, ada satu dialog bernuansa idealis-naif yang menurut saya cukup menarik:

“Seorang yang bermain (sepakbola) untuk uang, tidak akan sebaik seorang yang bermain demi kecintaan pada permainan sepakbola.”

Namun, dialog ini hadir bukan dari ruang hampa. Selain sebagai hiburan, baik kelas pekerja ataupun bangsawan menganggap sepakbola sebagai ajang pertarungan kelas. Maka, tiap pertandingan diselenggarakan atas dasar kebanggaan kelas antar keduanya.

Menjadi pemain sepakbola di era itu bak pahlawan atau punggawa yang mempertaruhkan nama baik identitas kelas mereka, buruh vs bangsawan. Mereka bermain dengan loyalitas tanpa pamrih. Adapun mendapat upah darinya adalah suatu yang di luar kewajaran bahkan dianggap kontroversi kala itu.

Namun, adalah Fergus Suter yang menabrak nilai-nilai prinsipil itu dengan pindah dari klub lamanya di Skotlandia menuju Lancashire, Inggris untuk bergabung dengan Darwen FC. Dia dibayar untuk bermain di sana. Dia bisa dikatakan sebagai pesepakbola profesional pertama.

Suter lantas mendapat kecaman dari berbagai pihak, kelas bangsawan maupun pekerja, terutama para petinggi FA (PSSI-nya Inggris) yang notabene adalah kelas bangsawan. Suter dituduh menerima suap untuk bermain bersama Darwen. Kecaman pun bertambah ketika dirinya memutuskan pindah ke Blackburn Rovers dengan alasan bayaran yang lebih mahal. Suter yang semula menjadi idola bagi pendukung Darwen akhirnya dianggap sebagai pengkhianat atau ‘Judas’ karena bermain bola hanya untuk uang. Namun dalam dialog yang lain, Suter punya bantahan begini:

“Aku tidak disuap, aku dibayar untuk menghibur orang banyak yang membayar mahal untuk melihatku.”

Pernyataan Suter itu kemudian dianggap sebagai titik di mana pandangan orang-orang terhadap sepakbola perlahan bergeser ke arah profesionalitas. Bakat, skill, serta kerja keras seorang pemain sepakbola perlu dihargai serupa upah seorang buruh yang bekerja berjam-jam dalam pabrik. Sepakbola yang semula hanyalah permainan dan sarana hiburan pun kemudian ikut bergeser sebagai sebuah tontonan berbayar seiring dengan semakin bertambahnya orang-orang yang tertarik menonton pertandingan.

Dari sini kemudian proses komodifikasi berjalan. Suatu barang, gagasan, jasa yang berupa skill menjadi objek dagang. Di dalamnya terjadi transaksi antara si pemilik jasa dan penikmat jasa. Pemilik jasa dalam hal ini adalah pemain sepakbola macam Fergus Suter, sedangkan penikmat jasanya adalah pemilik klub dan seluruh penonton yang menyaksikan kepiawaian Suter dalam lapangan.

***

Nyatanya, hari ini orang-orang mulai menyadari bahwa kegiatan masa kecil yang kami lakukan, sedekade yang lalu; bermain playstation, menonton dan mengunggah video ke youtube, telah mengalami komodifikasi dari yang hanya objek hiburan menjadi objek mencari penghidupan. Sekarang kita tahu kan kalo seorang yutuber bisa lho beli Ferrari. Sebuah fenomena yang sama sekali tidak disadari oleh sebagian besar dari kita, sedekade lalu.

Saya penasaran sih kalo orang-orang sezaman Fergus Suter masih hidup, bagaimana reaksi mereka saat tahu pelepasan klausul Harling Haaland dan/atau upah Lionel Messi yang bisa sebegitu tinggi, melebihi upah PNS di Inggris.

Hari ini kita hidup pada situasi di mana pekerjaan seseorang sudah menjadi begitu beragam. Anak-anak yang hidup di zaman ini pun punya opsi cita-cita yang lebih beragam pula. Sepuluh tahun yang lalu, seorang anak tak mungkin punya cita-cita menjadi youtuber — kalaupun ada, pasti akan ditertawakan. Namun, sekarang berbeda. Si anak yang pingin jadi bak Atta Halilintar akan di dukung oleh orang tua maupun lingkungan sekitarnya.

Proses ini juga secara luas terjadi di kehidupan kita hari ini. Berlimpahnya tenaga produktif dan minimnya ketersediaan lapangan kerja, tak memungkinkan semua terserap dalam pekerjaan formal atau pekerjaan yang diidamkan oleh mertua boomer. Orang-orang kemudian berpikir keras untuk melakukan komodifikasi objek menjadi sesuatu yang menghasilkan cuan.

Lantas, menjadi gamers, youtuber, podcaster, atau hanya sekadar tukang cicip makanan bisa jadi beberapa contohnya. Ya gitu sih![]

--

--

Elsofaris
oragol
Writer for

Andai tak bisa mengontrol, mulut saya mungkin akan sering mencela.