Dilema Berpendapat di Era Internet

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readNov 19, 2020
Foto oleh Nsey Benajah di Unsplash

Berbicara dan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia. Hak asasi ini bahkan dilindungi oleh undang-undang negara. Kita dapat menemukannya dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.

Ada masanya di negeri ini, masyarakatnya kesulitan berpendapat. Bersuara lantang sedikit, kita bisa diringkus, ditangkap, diasingkan, ditembak, atau dihilangkan tanpa jejak. Pada masa itu, kebanyakan orang menutup mulut dan mengangguk saja dengan maksud Asal Bapak Senang.

Rasanya sudah dua dekade lebih kita memasuki sebuah zaman yang bisa disebut sebagai Era Internet. Era internet ini melahirkan teknologi canggih beragam bentuknya. Penemuan dunia modern ini banyak yang membuat orang semakin mudah berpendapat. Dengan bermodal menggerak-gerakkan jari di atas papan ketik atau layar sentuh ponsel pintar misalnya, kita bisa leluasa melemparkan opini ke mana saja.

Kemudahan dan kebebasan berpendapat di era internet mungkin menjadi sebuah momentum yang menjadi bukti bahwa demokrasi di negeri ini masih ada. Setiap orang punya hak untuk menyampaikan pandangannya dengan lugas, cepat, dan seketika menjangkau banyak sekali mata dan telinga di dunia maya maupun nyata.

Memang dasarnya sifat manusia yang selalu tidak pernah merasa cukup. Ketika memegang kebebasan dan kemudahan berpendapat, ujung-ujungnya kita kebablasan. Di mana-mana orang jadi seenak jidat melontarkan penilaian, penghakiman, bahkan penghinaan terhadap pihak tertentu. Dengan berlindung pada akun palsu (anonimitas), orang merasa bisa dengan santainya berbicara dan mengata-ngatai orang lain.

Melihat fenomena ini, aku dilematik. Di satu sisi, menyampaikan berpendapat memang adalah hak asasi manusia. Setiap orang punya hak untuk menyampaikan isi kepalanya kepada pihak lain. Di sisi lain, penyampaian isi kepala ini ternyata ketika sudah masuk ke ranah sosial, tidak bisa tidak, akan menyinggung beberapa pihak.

Terlebih lagi, saat ini orang semakin banyak yang beropini dengan tujuan utama menyerang pribadi seseorang. Jadilah perdebatan terjalin tidak sehat karena pembicaraan menjadi melenceng, membahas substansi yang menyerang soal personal.

Hal itu belum lagi dengan penyebaran berita palsu atau hoax. Zaman sekarang, mudah sekali bagi seseorang menyebarkan hoax yang dikemas tampak meyakinkan. Hoax ini beredar di blog, situs berita, media sosial bahkan melalui media chat seperti Whatsapp. Orang-orang yang malas atau memang tidak mengerti dan tidak bisa mengakses fakta, tentu akan mudah sekali termakan dan kebakaran oleh hoax ini.

Menanggapi kegilaan arus informasi, hoax, dan keganasan beropini, negara kita kemudian berusaha membuat peraturan sebagai bentuk pengendalian. Peraturan itu bernama UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang diatur dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2008. Keberadaan undang-undang tersebut diharapkan mampu menciptakan iklim yang kondusif dalam hal berinternet sehat di Indonesia.

Sayangnya lagi, undang-undang satu ini dianggap blunder. Ada sejumlah pasal karet yang dianggap bisa meningkatkan kriminalisasi yang tidak pada tempatnya. Salah satunya adalah pasal Pencemaran Nama Baik.

Secara sederhana, pasal ini seolah membenarkan seseorang untuk melaporkan orang lain atas dasar pernyataan yang menyinggung. Jadi, jika kamu merasa tersinggung oleh pernyataan orang lain di dunia maya, kamu bisa memasukkan dia ke dalam penjara. Padahal perlu kita ingat, soal tersinggung itu subjektif sekali bukan?

Tentunya keberadaan pasal ini menjadi sangat mengerikan untuk siapa saja yang ingin menyampaikan pendapatnya. Di satu sisi, pasal ini mungkin bisa memberikan efek jera kepada orang yang memang sukanya melempar bacot tanpa substansi. Di sisi lain, pasal ini bisa membuat penjara penuh (dengan sanksi yang tidak sepadan) hanya karena ada banyak orang yang mudah tersinggung.

Mungkin bisa ingat kasus Prita Mulyasari melawan RS Omni? Atau yang terbaru, kita bisa mengambil referensi pada kasus Jerinx SID (JRX) yang terancam bui 3 tahun karena mengatakan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) adalah kacung WHO.

Aku merasa apa yang dilontarkan JRX kepada IDI memang berpotensi menyinggung dan tidak pantas. Namun, apakah dengan alasan itu lantas ia layak dipenjara 3 tahun? Rasanya kurang adil, mengingat JRX menyampaikan pernyataan yang ada alasannya dan berdasarkan dengan apa yang dia yakini. Dia pun punya peran aktivisme yang tak kalah kencang dibandingkan bacotnya.

Melihat kenyataan yang ada, aku kini semakin menutup diri untuk banyak bicara. Aku mengurangi kebiasaan untuk mengkritik dan berkomentar di dunia maya, terutama mengkritik suatu badan atau pemerintah. Tulisan ini pun aku buat sudah dengan gaya yang main aman sekali. Berharap tidak ada pihak yang secara langsung merasa tersinggung. Aku malas sekali masuk penjara hanya karena bicara.

Aku juga mengurangi marah-marah di media sosial dan memilih untuk menelannya sendiri. Kalaupun benar ingin protes atau marah sekali, lebih baik bertemu muka dengan pihak terkait dan bicarakan empat mata saja.

Pilihan ini kuambil bukan karena takut. Namun, lebih karena aku malas berdebat dan malas masuk penjara untuk alasan sepele. Pasalnya, kadangkala orang mengomentari omongan orang lain bukan dengan maksud ingin berdiskusi dan menemukan jawaban. Ada yang sebenarnya lebih fokus pada keinginan untuk menyerang pribadi atau dasarnya memang suka ribut saja. Jika sudah begitu, tentu diskusi tidak akan sampai pada konklusi yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Apalagi saat ini orang juga banyak yang suka mengorek-ngorek masa lalu orang lain. Mereka menelaah setiap ucapan kita hingga ke masa bertahun-tahun lalu. Jika menemukan satu saja omongan kita yang menurut mereka salah, omongan tersebut akan diangkat lagi di tahun sekarang. Kita pun akan langsung bisa menjadi bulan-bulanan massa akibat omongan yang sudah tenggelam, yang mungkin bahkan sudah tidak kita yakini karena kita sendiri sudah berkembang perspektifnya.

Kesimpulannya, zaman sekarang, berpendapat itu susah. Mau bicara adil, dianggap sok bijak. Menyampaikan perubahan perspektif, dianggap plin-plan. Mau bicara sebebasnya, bisa masuk penjara. Akankah kita sampai lagi pada momen “baru buka mulut, sudah dipecut (baca: diculik)”?

--

--