Makan dan Ingatan

PanchoNgaco
Pancho Ngaco
Published in
4 min readNov 11, 2020
Foto oleh National Cancer Institute di Unsplash

Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, malam adalah waktu yang paling aku tunggu. Sebab, pada waktu tersebut, ayah suka membawa kami sekeluarga untuk keluar mencari makanan enak. Aku bahkan tidak pernah keberatan dibangunkan dari tidur lelap jika alasannya demikian. Aku malah senang-senang saja bisa begadang sambil makan enak di luar rumah.

Banyak sekali tempat makan enak yang menjadi persinggahan kami di malam hari. Hampir semuanya enak. Hampir semuanya menjadi favoritku. Beberapa bahkan masih sering kudatangi ketika pulang kampung beberapa tahun belakangan ini.

Kadang kami mampir ke Sate Pak Doel di pinggir jalan, seberang toko gudang rabat. Sate tersebut sebenarnya hanya sate ayam biasa. Hanya saja, daging satenya tebal-tebal dan rasanya enak. Selama makan di sana, kami biasanya mengobrol sembari memandangi kendaraan lalu lalang di jalan pada malam hari.

Selain Sate Pak Doel, kami juga suka makan nasi Padang pinggir jalan. Salah satu langganan kami ada di Jalan Sesetan, Denpasar. Warung Padang kaki lima itu biasa kami sebut Padang Acang. Nama itu berasal dari nama sang penjaga warung tersebut, yaitu Koh Acang, seorang cina muslim. Selain tempatnya bersih, pilihan lauknya lengkap, harganya juga sangat murah. Tak heran ia menjadi warung Padang favorit keluarga kami.

Jika sedang rindu masakan Cina, kami akan mengunjungi Restoran Popular. Restoran itu berada di Jalan Teuku Umar, Denpasar. Letaknya dekat dengan perempatan yang menghubungkan Teuku Umar dengan Jalan Imam Bonjol dan Sunset Road. Restoran satu itu menawarkan masakan Cina yang enak, termasuk boga bahari segar. Kami sering makan malam bersama di sana, termasuk saat momen tertentu seperti ulang tahun. Kami bahkan selalu memilih restoran ini untuk mengadakan jamuan makan malam apabila ada kerabat dari luar kota datang.

Aku ingat pernah merayakan ulang tahun di sana dan mendapatkan majalah Vanness Wu dari kakak sulungku. Aku juga ingat kami pernah makan di sana sambil membawa anak anjing kami yang tiba-tiba sakit karena tersangkut di kaleng daging bekas makan induknya. Ketika aku pergi dengan rasa kecewa dari acara ulang tahun teman baikku (hanya karena dia tidak memberikan potongan kuenya padaku sebagai teman baiknya), aku mendatangi restoran itu untuk makan kerang rebus sendirian, sambil menangis.

Selain Popular, rumah makan masakan Cina kesukaan kami satu lagi juga ada di bilangan Teuku Umar. Kami tidak pernah tahu nama asli restoran tersebut. Nama yang kami ingat dan sematkan kepadanya hanyalah “Daihatsu”. Kami menyebutnya demikian karena restoran ini memang buka setiap malam di dalam bengkel mobil Daihatsu yang tutup.

Meski berada di dalam bengkel mobil, masakan Cina di restoran ini sangat enak. Bahkan bisa dibilang lebih enak daripada di Popular. Beberapa menu yang kusuka di sini adalah Ayam Kuluyuk, Cap Cay, Sapi Lada Hitam, Mie Goreng, dan Fuyung Hai. Dari semua itu, pilihan yang paling kusuka adalah Fuyung Hai. Menurutku Fuyung Hai Kedai Daihatsu ini masih menjadi yang paling enak di antara yang selama ini kumakan.

Satu lagi yang tidak boleh sampai kulupakan tentu saja Warung Sudi Mampir di Ubung. Warung tenda ini menjual sop dan sate kambing. Warung makan itu adalah tempat pertama kalinya aku mencicipi sop kaki dan sate kambing. Otomatis, sampai sekarang aku masih menganggap standar enaknya makanan tersebut ya di Warung Sudi Mampir ini.

Bisa dibilang, Warung Sudi Mampir adalah warung yang paling sering kami sekeluarga sambangi di malam hari. Setiap kali kami mampir, warung di pinggir kandang kuda ini selalu ramai. Setiap kali kami mampir, ayah selalu memesankan kami menu yang sama, yaitu sop kaki kambing dan sate kambing dibakar kering.

Aku masih ingat pemandangan ayah dan ibu yang langsung sigap memilih kaki kambing yang ada di dalam mangkok-mangkok pajangan warung tersebut. Aku juga masih ingat beberapa buah torpedo kambing yang terbungkus daun pisang selalu digantungkan di dekat mangkok pajangan itu. Ayah juga tidak pernah lupa mengingatkan penjual untuk membakar sate kambing hingga kering.

Sampai hari ini, aku masih mengingat rasa gurih dan gemuk sop kaki kambing itu. Aku masih ingat aroma arang dan rasa hangus sate kambing di Warung Sudi Mampir itu. Aku tidak melupakan detail kecil yang ada di sana. Bahkan setelah hampir dua dekade berlalu dari waktu terakhir aku makan di warung itu.

***

Tiga puluh tahun usiaku kini. Beberapa tahun belakangan aku mulai banyak lupa dengan apa saja yang sudah kulakukan. Aku lupa rasa makanan yang kusantap di restoran yang kudatangi di luar rumah. Aku pun sampai lupa restoran apa saja yang sudah pernah kudatangi.

Aku sempat mengutuk usia. Aku merasa aku mudah lupa karena aku sudah semakin tua saja. Memori otakku sudah semakin penuh sehingga sulit memproses informasi baru. Baru makan siang ini, sepuluh menit kemudian sudah lupa rasa makanan itu. Aku bahkan pernah hampir tidak membayar makanan di restoran karena aku lupa apakah aku sudah bayar atau belum.

Setelah kupikir-pikir lagi, ternyata usia bukan masalah utamanya. Sebab, aku merasa kebiasaanku melupakan sesuatu ini sudah terjadi beberapa tahun belakangan. Beberapa tahun belakangan ketika aku lebih banyak memegang ponsel dan melupakan caranya fokus pada satu hal dalam satu waktu.

Ponsel.. lagi-lagi ponsel dan perangkat digital lainnya. Ponsel, kamera, tablet, televisi, pemutar musik. Seiring dengan bertambah gemuknya rekening, perangkat digital itu semakin lengkap memenuhi rumah. Kualitasnya semakin bagus, beberapa bahkan bisa kubawa ke mana-mana.

Setiap kesempatan, perangkat digital ini selalu kubawa. Karena kebiasaan, aku juga sering membuka perangkat digital ini tanpa sadar. Sesekali membukanya secara sadar untuk menemaniku sambilan melakukan sesuatu.

Hal ini paling sering terjadi saat makan. Seringnya saat makan, aku malah sibuk mengecek ponsel. Pada beberapa kesempatan, aku juga suka makan sambil menonton TV. Kadang juga membuka kamera untuk memotret dulu. Alhasil, foto makanannya lebih mengenyangkan memori kamera daripada makanannya mengenyangkan perutku.

***

Sekarang usiaku sudah tiga puluh tahun. Aku tidak bisa mengingat banyak detail lagi ketika makan. Aku bahkan tidak bisa membedakan “rasa” makanan yang ada di hadapanku setiap harinya. Aku terlalu sibuk tenggelam dalam perangkat digitalku. Aku lupa fokus, aku lupa rasanya makan senang seperti malam-malam di masa kecil dulu.

--

--