Bahaya Perilaku Misoginis yang Tak Sadar Diri

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan
Published in
6 min readJul 21, 2021
Sumber foto

“Ketika laki-laki menyampaikan gagasannya, dia hanya disebut sebagai laki-laki. Sedangkan saat perempuan dengan tegas menyatakan opininya, dia dianggap terlalu ‘menggerutu’.” — Bette Davis

Sebagai perempuan, pernahkah kamu mendapatkan respon tidak menyenangkan dari orang lain ketika kamu sebetulnya hanya ingin menjadi perempuan versi terbaik menurutmu? Atau sebaliknya, kamu malah sering kesal ketika melihat perempuan lain lemah, terlalu kuat, atau cenderung feminin yang intinya menurutmu nggak banget tuh perempuan untuk masuk standar-mu?

Lalu bagaimana denganmu yang laki-laki? Apakah kamu juga selalu mendapat komentar negatif karena sensitif dan lebih bisa menunjukan empati kepada orang lain? Atau sebaliknya, pernahkah ada perasaan nggak suka nih ketika pacar, Ibu, atau sosok perempuan terlalu mendominasi, bahkan cenderung berani?

Hati-hati, bisa jadi kita pernah menjadi misoginis yang tak sadar diri.

Rasa Benci si Misoginis Terhadap Sikap Perempuan

Salah satu bentuk sikap membenci kaum perempuan dapat disebut dengan istilah misogini, sedangkan subjek pelakunya bisa dipanggil sebagai misoginis. Kebencian misoginis terhadap perempuan, berangkat dari keyakinannya bahwa perempuan secara alami memang lebih inferior dibandingkan laki-laki.

Misalnya, keyakinan bahwa perempuan harus menjadi ibu dan istri yang penurut, penuh kasih, serta selalu siap-sedia melayani kebutuhan sesuai permintaan laki-laki sebagai kepala rumah tangga.

Contoh lain, mungkin beberapa dari kita sebagai anak perempuan juga sudah sering mendengar dialog, “Ibu/Bapak/Mami/Ayah nggak mau tahu ya, pokoknya kamu harus nurut, dengerin aja, perempuan tuh nggak boleh ngebantah apalagi neko-neko.”

Dengan kata lain, kebanyakan orang yang misoginis percaya kalau perempuan telah memiliki ‘tempat’ tertentu dalam tatanan masyarakat, sehingga perempuan harus mengikuti norma gender tersebut. Kalau perempuan menolak, menurut misoginis, dia pantas dihukum karena dianggap berperilaku jahat dan tidak bertanggung jawab atas peranannya sebagai perempuan.

Sumber foto

Pada hakikatnya, perilaku misoginis sebetulnya bukan hanya menjadi dominasi laki-laki, perempuan pun bisa menjadi misoginis. Perempuan yang misoginis sepakat dengan sikap laki-laki yang membenci dan menghakimi pilihan perempuan, termasuk dirinya sendiri, untuk enggan dikontrol dan dijadikan sebagai objek pertanda kekuasaan dan level status sosial seorang laki-laki.

Berkaitan dengan hal itu, bentuk perilaku misoginis sendiri pun beragam. Mulai dari mengintimidasi, melecehkan fisik, dan atau pengucilan sosial sebagai wujud dari rasa benci, ketidaksukaan, maupun ketidakpercayaan si misoginis terhadap perempuan. Jadi, sikap yang misogini tidak hanya sekedar karena persoalan membenci perempuan.

Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah masyarakat di dunia ini hanya memiliki penduduk perempuan berjumlah 5 orang. Suatu hari, kelima perempuan tersebut bersepakat melancarkan aksi untuk membegal dan memperkosa Pak Arya (nama fiktif). Akibatnya, sejak kejadian itu Pak Arya sangat membenci perempuan. Nah, dalam kasus ini, Pak Arya tidak bisa disebut misoginis hanya karena rasa bencinya terhadap perempuan.

Bentuk dan Bahaya Kekerasan Seksual Misoginis dalam Budaya Pemerkosaan

Dewasa ini, entah di kampus, tempat kerja, atau bahkan media sosial, kita mungkin lebih sering dibanjiri promosi atau edukasi tentang pengaruh hustle culture ketimbang rape culture terhadap kesuksesan individu. Padahal ia sama seperti hustle culture yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan penurunan produktivitas jangka panjang individu.

Lebih buruk, menurut Dr. Anju Hurria, psikiater anak dan remaja di Universitas California, rape culture yang menormalisasi perilaku menyudutkan individu sebagai korban akan semakin memperburuk gejala kecemasan, meningkatkan rasa malu, membuat seseorang terputus (disconnected) dengan perasaannya sendiri, serta sulit menjalin hubungan interpersonal sehingga menghambat pemulihan, kemampuan bekerja, dan beraktivitas secara normal.

Sehubungan dengan itu, rape culture atau budaya pemerkosaan adalah sebuah keyakinan sosial dimana tindakan kekerasan seksual dinormalisasi dan korban disalahkan atas serangan yang dia alami. Apalagi jika korban merupakan seorang perempuan, serta pelakunya adalah laki-laki. Dalam keyakinan tersebut, perempuan akan lebih dipermalukan karena seksualitasnya. Sedangkan laki-laki akan dibenarkan dan sedikit mendapat tuduhan maupun perilaku agresif dari pihak eksternal.

Sumber foto

Menurut piramida budaya pemerkosaan, pada gradien normalisasi paling bawah terdapat tiga bentuk kekerasan seksual yang dapat dilakukan oleh misoginis: boys will be boys, locker room banter, and rape jokes.

Boys Will Be Boys

Bentuk kekerasan pertama misoginis adalah menggunakan argumen boys will always be boys. Bentar-bentar, argumen itu bukan sekedar judul lagunya Dua Lipa lho ya! Hehe. Walaupun penulis sendiri sebenarnya juga setuju dengan pemilihan lirik Dua, “Tak ada yang lucu sekarang. Boys will be boys, kapan kita akan berhenti mengatakan hal seperti itu?”

Sumber foto

Adanya argumen boys will always be boys seperti membenarkan keyakinan misoginis yang berkesimpulan bahwa semua laki-laki memang telah terprogram dari awal penciptaannya untuk bertindak kekanak-kanakan. Sehingga terlihat wajar jika laki-laki bertindak nakal atau terlihat tidak bertanggung jawab atas perilaku dan pilihan mereka. Karena menurut misoginis, malah di situ letak kharisma laki-laki. Akhirnya timbul perasaan bangga setelah membenarkan perilaku laki-laki yang melakukan kekerasan.

Locker Room Banter

Locker room banter merupakan perilaku menormalisasi kekerasan seksual melalui komentar negatif terhadap perempuan dan atau individu dengan orientasi non-heteroseksual. Contoh nyata locker room banter yang paling mudah kita temui di Indonesia adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Melalui berbagai platform media sosial, perempuan dihajar netizen Indonesia hingga babak belur dengan olok-olok dan komentar vulgar. Netizen semakin dibenarkan dengan situasi menormalisasi nilai misogini yang berpendapat bahwa tidak peduli perempuan menjadi korban, dia tetap sepantasnya dihakimi, dihina, dan dipermalukan atas tindakannya yang dianggap tidak bermoral.

Baca juga: Lingkaran Kekerasan dan Standar Ganda pada Kasus Penyebaran Konten Intim

Rape Jokes

Jika kita punya banyak waktu luang dan mau bereksperimen ‘un-faedah’, coba ketik saja rape jokes atau sexist jokes di platform mesin pencari masing-masing. Kita akan dengan mudah menemukan banyak web yang dengan bangga memberi judul halaman mereka dengan angka tertentu mengenai jumlah candaan seksis terlucu. Apakah benar candaan seperti ini lucu?

Q: “What did one saggy boob say to the other saggy boob?”

A: “We better get some support before someone thinks we’re nuts!”

Selama ini mungkin kita bersama telah sepakat bahwa kekerasan seksual yang dibungkus dengan komedi tetaplah bentuk perilaku kekerasan. Walaupun begitu, mungkin di banyak kesempatan kita masih memilih diam dan turut tertawa ‘respect’ ketika salah satu teman melempar rape jokes. Kita terlalu takut mendapat respon, “Jadi orang bisa nggak jangan terlalu serius, pelit amat ketawa padahal itu (bit rape jokes) kan lucu banget!”.

Baca juga: Tidak Ada yang Lucu dari Bercandaan Tentang Tubuh Perempuan

Sadari dan Segera Berhenti Menjadi Misoginis

Ada beragam penyebab seseorang bisa menjadi misoginis. Mulai dari trauma karena perilaku pihak misoginis lain atau pengalaman di usia muda, budaya lingkungan yang terlalu maskulin, hingga pengaruh media yang menggambarkan perempuan sebagai manusia lemah, perlu dilindungi, serta pantas dijadikan objek seksualitas.

Meskipun demikian, apapun itu penyebabnya, ketika kita sudah menyadari ternyata perilaku misoginis ada pada diri kita. Maka, segera berhenti, perbaiki diri, dan jika perlu mintalah pertolongan ke orang yang kita percaya atau konselor profesional.

Perilaku yang misoginis tidak hanya membuat arah perkembangan budaya pemerkosaan semakin rumit saja. Pada akhirnya, nilai misogini yang kita internalisasi dan normalisasi akan membunuh kita dan orang lain secara perlahan.

Setiap orang, termasuk misoginis, sebetulnya mampu berubah menjadi lebih peduli, sadar diri, dan bertanggung jawab begitu mereka melihat bahaya atau kerugian atas perilaku kekerasan seksual yang mereka lakukan. Namun tak jarang suara mayoritas masyarakat mematikan kesadaran dan rasa empati mereka.

Jadi, kapan nih kita mau berhenti bersikap masa bodoh dan mulai mengintrospeksi diri sendiri? Apakah sekarang kita sudah benar-benar yakin kalau selama ini kita tidak menjadi bagian dari masyarakat yang melestarikan budaya pemerkosaan? Atau sebenarnya kita turut andil tanpa sadar karena sepanjang hidup ini kita tahunya cuma ikut-ikutan?

Penulis: Tejaningrum

--

--

Perihal Perempuan
Perihal Perempuan

Wadah diskusi dan publikasi alternatif untuk perempuan.