Permukiman Sedikit Permakaman Sempit
// Hidup Mati tetap butuh TEMPAT
Kebutuhan paling mendasar dari manusia atau disebut kebutuhan primer adalah sandang, pangan, dan papan. Hal yang paling pertama dipenuhi adalah sandang atau pakaiannya terlebih dahulu. Manusia di zaman modern yang hidup dari segala norma yang berlaku di masyarakat terutama bagi Bangsa Timur, terkait pakaian adalah hal yang terpenting untuk melindungi alat-alat vital agar tetap terjaga dari pandangan manusia lainnya. Selain itu menurut penulis, hal ini agar membedakan antara manusia modern yang memiliki pemikiran kreatif dengan manusia yang hidup hanya dengan mengandalkan nafsu dan insting berburu. Kebutuhan mendasar lainnya adalah kebutuhan akan pangan. Pangan atau makanan menjadi hal pokok yang mana menjadi sumber energi bagi manusia untuk menjalani berbagai macam kegiatan industrial. Hal terakhir dari kebutuhan tersebut adalah kebutuhan akan papan. Papan disini bukan hanya sebuah tempat dengan tujuan untuk tinggal saja tetapi tujuan tersebut telah bergeser menjadi sebuah tempat untuk menyimpan segala macam hal berharga. Pengertian hal berharga itu bisa berarti keluarga atau barang-barang yang memiliki nilai nominal yang tinggi. Oleh karena itu papan saat ini juga menjadi sebuah kebanggaan bagi seseorang. Peniliaian kebanggaan itu bisa dimulai dari besar kecilnya, luas sempitnya, bahkan di era milenial ini dinilai dengan bentuk arsitekturalnya.
Kebutuhan akan tempat tinggal saat ini semakin meningkat. Pembangunan akan kebutuhan industri dan hunian saling bersaing. Sisi lain masyarakat membutuhkan tempat untuk melakukan proses produksi tetapi disisi lain masyarakat membutuhkan tempat untuk dia tinggal.
“Kebutuhan akan perumahan hingga tahun 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit, sehingga kebutuhan rumah baru diperkirakan mencapai 1,2 juta unit per tahun,” ungkap Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus.
Dari ungkapan tersebut semakin ditegaskan bahwa saat ini lahan untuk hunian semakin sedikit. Tetapi kebutuhan yang ada meningkat sehingga berpengaruh kepada harga yang ditawarkan semakin menjulang tinggi. Bahkan saat ini di daerah Jakarta Timur yakni senilai Rp 7,9 juta per meter persegi atau dibutuhkan sekitar Rp 350 juta untuk hunian dengan luas 44 meter persegi. Yang mana notabene masyarakat masih berpegang teguh dengan rumah tapak (landed house) dengan halaman yang luas.
Masalah yang ingin penulis angkat adalah ketika semua terfokus akan kebutuhan hunian pada manusia hidup, lantas apa kabar dengan kebutuhan manusia yang sudah tidak memiliki jiwa (roh) di dalam raganya. Bukankah negara ini dihuni oleh masyarakat beragama yang beberapa dari agama tersebut mengharuskan meletakkan manusia yang sudah tidak bernyawa tersebut untuk tetap berada di dalam tanah? Penulis memiliki keresahan ketika membaca artikel yang menyebutkan bahwa salah satu kota besar di Indonesia yaitu di Jakarta akan krisis lahan permakaman pada tahun 2019. Hal itu berarti tidak lebih dari 1 tahun lagi. Realita yang terjadi ditiap harinya pasti selalu ada manusia yang meninggal. Menurut data yang disampaikan oleh pengamat tata kota Universitas Trisakti yaitu Nirwono Joga mengatakan bahwa tiap harinya ada 100 jenazah yang dimakamkan di Jakarta. Jika satu makam membutuhkan 1,5 meter x 2,5 meter berarti dibutuhkan 3,75 meter persegi tiap makamnya. Jika dikalkulasikan dengan setahun maka tiap tahunnya dibutuhkan sekitar 200.750 meter persegi atau setara dengan 20,075 hektar. Data dari Dinas Kehutanan DKI Jakarta bahwa sudah sebanyak 598,5 hektar lahan telah dibebaskan. Tetapi dari luas lahan tersebut 385,5 hektar telah dipakai, tinggal 31,4 hektar lagi yang siap pakai dan sisanya masih belum siap pakai.
Kebutuhan lahan akan hunian bagi manusia yang sudah tidak bernyawa ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah selain memikirkan tentang hunian bagi manusia yang masih bernyawa. Karena hal ini terkait dengan ajaran yang dipegang dari tiap-tiap agama yang ada. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sudah sepatutnya hal ini menjadi perhatian untuk segera disolusikan. Sejauh ini solusi yang diambil pemerintah adalah Sistem Makam Tumpang. Walau sistem ini telah berjalan kurang dari 3 tahun belakangan ini dan dirasa efektif tapi belum tentu hal ini sesuai dan langsung diterima begitu saja. Hal ini terkait etika yang mana jenazah pun harus tetap mendapat penghormatannya. Selain itu becermin dari sistem penataan tempat permakaman di negara tetangga yaitu Thailand yaitu di Kota Chiang Mai menggunakan sistem tubuh pada penataan kotanya yang mana tempat permakaman berada di paling selatan dari kota tersebut. Hal ini didapat langsung dari pengalaman pribadi penulis yang telah berkunjung ke kota tersebut. Sayang sekali kebanyakan dari kota yang ada di negara ini masih belum diperhatikan tentang penataan dan ketersediaan lahan bagi permakaman tersebut.
Harapan penulis baik hidup maupun mati setiap manusia sejatinya butuh tempat untuk pulang dan tinggal. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat sudah menjadi kewajibannya untuk memenuhi dan menyediakan hal tersebut. Kebutuhan dasar manusia menjadi dasar manusia untuk hidup dan mati.