Breakthrough / Urbs Tempus et Fabula

Setapak di Taman Sriwedari

Memelihara Ingatan Taman “Surga”

Irfan Al Mujaddidi
Urban Reason

--

“Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada, Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara….Setapak di taman sriwedari…….Setapak sriwedari denganmu~”

Tentu kita sudah familiar dengan lagu Setapak Sriwedari dari band pop Maliq and D’Essential. Lagu yang menggambarkan tentang perasaan bahagia bersama pasangan seperti sedang berada di Taman Surga, yang dalam bahasa Sansekerta arti kata ‘Sriwedari’ merupakan Taman Surga. Namun pernahkah kalian mendengar cerita tentang Sriwedari yang lain? Seonggok “Taman Surga” di jantung Kota Solo yang saat ini tengah terombang-ambing oleh ketidakpastian?

Gerbang Taman Sriwedari, 2023 (Dok : Almujaddidi)

Dalam ingatan penulis, ada satu masa dimana Taman Sriwedari adalah taman hiburan terlengkap di Solo. Terdapat sebuah gedung bioskop dengan permainan arcade di lobby gedungnya, memikat mata anak anak untuk memainkannya sembari menunggu orang tua mengantre tiket pertunjukan. Di sebelah gedung bioskop adalah Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari yang dipenuhi tawa canda anak kecil, berlarian ingin mencoba berbagai wahana yang ada disana juga keluh kesah orang tua yang lelah mengikuti anak mereka bermain. Pada akhirnya, hari yang menyenangkan tersebut ditutup khidmat dengan menikmati pagelaran wayang orang di Gedung Wayang Orang Sriwedari.

Kawasan Taman Sriwedari berada di Jalan Slamet Riyadi yang membentang dari Stadion R. Maladi, lahan yang menjadi Museum Keris di sisi barat hingga Museum Radya Pustaka dan Telaga Segaran di sisi timur. Kawasan ini terletak strategis karena berada di jalan utama Kota Solo dan dekat dengan pusat pusat strategis lainnya di Kota Solo seperti Keraton Kasunanan, Masjid Agung, dan Stasiun Purwosari yang sudah terhubung oleh Slamet Riyadi City Walk.

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 2021–2041, Taman Sriwedari termasuk dalam Kawasan strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dari sudut kepentingan sosial dan budaya. Selain itu, Kawasan Taman Sriwedari ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Kemendikbud pada tahun 2013 melalui SK Nomer : 646/1-R/1/2013 yang di dalamnya terdapat beberapa bangunan cagar budaya, antara lain: Museum Radya Pustaka, Stadion Sriwedari, dan Segaran.

Sriwedari Pada Mulanya

Taman Sriwedari di Surakarta pada awal 1900. (COLLECTIE TROPENMUSEUM)

Taman Sriwedari berdiri pada tahun 1901 di era Pakubuwana X pada lahan seluas 99.889 m2. Pada awalnya, taman ini merupakan taman privat dan menjadi tempat peristirahatan keluarga raja. Taman ini juga dilengkapi dengan fasilitas hiburan modern pada masa itu yang juga menjadi sarana untuk menjamu tamu kerajaan.

Diceritakan dalam Babad Taman Sriwedari [1] pada awal berdirinya, Sriwedari merupakan sebuah taman hijau penuh dengan jalan bercabang yang menghubungkan satu node dengan yang lain dengan Segaran sebagai node utamanya. Segaran diambil dari bahasa Jawa ‘Segara’ yang memiliki arti literal ‘laut’. Pada awalnya Segaran berfungsi sebagai tempat terselenggaranya ritus malam selikuran. Di tengah danau buatan tersebut, terdapat pulau buatan dengan sebuah bangunan yang disebut sebagai Kupel Segaran. Bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat menyimpan alat musik gamelan. Kupel Segaran yang dikelilingi oleh kolam juga merupakan simbol akan ‘sacredness’ tempat tersebut. Oleh karena itu, Segaran digunakan untuk bersemedi dan olah rasa keluarga raja.

Telaga Segaran, Sriwdari .1920-an. (National Geopgraphic)

Pada kisaran 1910s, Taman Sriwedari mulai dibuka untuk publik oleh Pakubuwana X dan menjadi pusat hiburan masyarakat Solo dengan keindahan lanskapnya. Selain keindahan lanskap, masyarakat dapat menikmati pertunjukan seperti Wayang Orang Sriwedari, Ritus Malam Selikuran, Kethoprak, maupun sekadar duduk bersantai di Telaga Segaran sembari mendengarkan alunan gamelan.

Pada tahun 1933 Pakubuwana X meresmikan Stadion Sriwedari. Sehingga kawasan Taman Sriwedari, selain menjadi pusat pementasan budaya, juga menjadi pusat olahraga bagi masyarakat Solo yang saat itu memiliki animo tinggi terhadap sepak bola. Tingginya animo akan olahraga menjadikan Kota Solo dan Stadion Sriwedari dipilih untuk menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional yang pertama.

Setelah era Kemerdekaan, terjadi re-layout (perubahan tata letak) kawasan. Pertama, dengan dibangunnya kebun binatang di Taman Sriwedari, menjadikannya kebun pertama di Kota Solo. Namun seiring perkembangan kawasan Sriwedari dan sekitarnya menjadi semakin ramai. Hal ini berpengaruh kepada kesehatan fisik dan mental hewan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu pada periode 1970an Kebun Binatang Sriwedari direlokasi ke daerah Jurug yang jauh dari pusat kota.

Lahan bekas relokasi kebun binatang kemudian dialihfungsikan sebagai Taman Hiburan Rakyat dan Gedung Bioskop yang melengkapi program pertunjukan budaya yang sudah ada sebelumnya. Gabungan hiburan modern dan tradisional yang ada pada Taman Sriwedari inilah yang membuat kawasan menjadi pusat hiburan (leisure-enterteinment) di Solo pada periode masa tersebut.

Pada awal 2000an, mungkin menjadi era keemasan terakhir dari Taman Sriwedari. Semakin maraknya mall dan pusat hiburan di dalamnya, terlebih lagi munculnya masalah sengketa kepemilikan lahan Taman Sriwedari, menjadikan Taman Sriwedari tidak seramai dahulu bahkan terkesan tidak terurus. Minimnya aktivitas (Soul) menjadikan banyak bangunan (Body) yang ada di Taman Sriwedari minim perawatan. Taman hiburan pada akhirnya gugur, kemudian dibongkar.

Puncaknya adalah pada tahun 2017, ketika masa sewa dari Taman Hiburan Rakyat Sriwedari usai dan tidak diperpanjang, bangunan fisik THR Sriwedari yang menyimpan berbagai kenangan masyarakat Solo yang kemudian dibongkar. Tiba-tiba dibangun masjid yang diinisiasi oleh pemerintah kota Surakarta di lokasi tersebut yang pada akhirnya mangkrak dalam proses pembangunannya karena sengketa lahan yang tidak kunjung usai antara Keluarga Ahli Waris dengan Pemkot Solo yang berlarut-larut sejak tahun 1970. Menjadikan Taman Sriwedari sebagai sebuah wasted space di tengah kota. Yang menurut penulis sendiri, hal ini sangat disayangkan mengingat nilai historis dan memori Taman Sriwedari yang telah terjalin dari generasi ke generasi masyarakat Solo.

Memori Kolektif Sriwedari

Gerbang Taman Sriwedari, 2023 (Dok: Almujaddidi)

Menurut Maurice Halbwachs (French Philoshoper) yang dikutip oleh Mark Crinson di bukunya Urban Memori [2]. Mark Crinson menulis:

Maurice Halbwachs saw history as an instrumental and overly rationalised version of the past, by contrast with memory which was intimately linked with collective experience. Memory — for Halbwachs — bound groups of people together, recharging their commonality by reference to the physical spaces and previous”

Pernyataan tersebut jika kita pahami dan artikan, memori kolektif adalah memori yang mengikat atau dimiliki oleh banyak orang secara bersama. Yang mana memori tersebut bisa muncul dipicu oleh aspek aspek fisik suatu tempat. Karena memori tersebut dimiliki oleh orang banyak, memori tersebut dapat menjadi salah satu cikal bakal identitas dari tempat tersebut. Dalam konteks urban, seorang Arsitek sekaligus urbanist yakni Aldo Rossi dikutip dari bukunya The Architecture of The City [2], ia menulis :

“One can say that the city itself is the collective memory of its people, and like memory it is associated with objects and places.

The city is the locus of the collective memory.

This relationship between the locus and the citizenry then becomes the city’s predominant image, both of architecture and of landscape, and as certain artifacts become part of its memory, new ones emerge.

In this entirely positive sense great ideas flow through the history of the city and give shape to it”

Bagi Aldo Rossi, Identitas suatu kota terbentuk oleh memori kolektif masyarakat di dalamnya. Dan memory tersebut tersimpan dalam objek, tempat atau artefak-artefak urban yang mewakilinya. Artefak urban tersebut dapat berbentuk sebagai aspek fisik seperti bangunan, alun alun atau bahkan lanskap seperti taman maupun jalinan pepohonan dalam kota. Hubungan antara artefak urban dan memori yang terjalin dalam perjalanan suatu kota lah yang akan menjadi Citra Kota. jika para urbaners mengikut series Urbs, Tempus Et Fabula I & II, citra kota menjadi penting karena dengan adanya citra kota dapat membuat masyarakat memiliki rasa kepemilikan atas kota atau kawasan. Ketika seseorang merasa dekat atau relate maka mereka cenderung memiliki attachment lebih terhadap kota, kawasan ataupun sudut kota tertentu.

Baca juga Urbs, Tempus Et Fabula I & II oleh Cornelius Catra: A City Without Old Building Is Like a Man Without Memory dan The Town Where Only I am Missing.

Taman Sriwedari, 2023 (Dok: Almujaddidi)

Dalam konteks Taman Sriwedari, jika kita lihat kembali perjalanan taman ini sejak ia berdiri hingga sekarang. Sriwedari selalu menjadi tempat rekreasi bagi kalangan bangsawan hingga rakyat kecil, yang didalamnya bisa ditemukan hiburan tradisional hingga taman hiburan modern. Hal itulah yang menjadi benang merah yang disadari maupun tidak disadari menjadi memori kolektif bersama bagi masyarakat Solo di setiap generasi yang pernah singgah.

Pada tahun 2023, di tengah keabaian pemangku kebijakan dalam melakukan hal signifikan untuk menaikkan nilai dari Taman Sriwedari. Para Tuan Tanah malah saling mengklaim kepemilikan Taman Sriwedari berlomba untuk memenangkan egonya. Penulis menengok kembali Taman Sriwedari dan menemukan satu fenomena bahwa Masyarakat Solo memiliki kerinduan akan memori kejayaan Taman Sriwedari, kerinduan tersebut dicurahkan dengan cara mereka masing-masing dengan harapan dapat merawat sisa memori yang ada di Taman Sriwedari.

Di Segaran, masyarakat menyulap area Segaran yang sebelumnya sempat beralih fungsi sebagai restoran privat, menjadi area pemancingan publik. mengembalikan Segaran ke fungsi awalnya sebagai tempat untuk ‘olah rasa’. Namun bukan untuk raja tapi untuk siapapun yang singgah ke Taman Sriwedari.

Jemparingan oleh Semut Ireng Pop Archery via Tribun Solo

Selain itu, komunitas SIPAS (Semut Ireng Pop Archery Sriwedari) juga menyulap salah satu sudut di selatan Taman Sriwedari sebagai tempat untuk berlatih jemparingan (panahan tradisional). Aktivitas jemparingan telah menghidupkan salah satu sudut dari Taman Sriwedari di siang hingga sore hari.

Ketika rembulan mulai muncul, masyarakat dapat menikmati Icon dari Taman Sriwedari, yakni Pagelaran Wayang Orang Sriwedari. Aktivitas yang tidak pernah hilang dari Sriwedari sejak masa awal pendirian Taman Sriwedari dan telah menjadi saksi hidup era terang dan gelap Taman Sriwedari selama 113 Tahun. Dibantu oleh Dinas Kebudayaan Kota Solo, pelaku wayang orang mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman dalam memanfaatkan media sosial sebagai sarana branding. Mereka juga terbuka untuk berkolaborasi dengan kesenian lain yang terus mewartakan bahwa Sriwedari masih ada dan akan terus hidup. Hal ini, terbukti efektif dengan meningkatnya animo penonton Pagelaran Wayang Orang di Taman Sriwedari dengan kehadiran hiburan malam ini.

Dengan kekayaan nilai historis dan potensinya, sudah sepatutnya Pemerintah Kota Solo sebagai pemangku kebijakan tertinggi dapat mempertahankan icon kebudayaan Kota Solo ini agar tetap tegar berdiri tak lekang oleh zaman. Sudah sepantasnya juga teruntuk para Ahli Waris Kasunanan yang mulia agar segera mawas diri, sadar dan meningkatkan empati untuk dapat mencari jalan tengah terbaik untuk kebaikan bersama. Sedangkan kita masyarakat biasa, kita harus terus merawat dan mewariskan memori indah ke generasi berikutnya sehingga jiwa dari Taman Sriwedari dapat terus hidup. Sriwedari Sakjose!

“Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada, Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara….Setapak di taman sriwedari…….Setapak sriwedari denganmu~”

Penulis: Irfan Al Mujaddidi
Editor: zuhdi

Referensi

[1] Herlambang, Rudy & Purwasito, Andrik & Warto, Warto & Widayat, Rahmanu. (2022). The History of Sriwedari Park as a Public Sphere: Jürgen Habermas’s Public Sphere Approach.
[2] Mark Crinson (2005) “Urban Memory: History and Amnesia in the Modern City”
[3] Aldo Rossi (1984) “The Architecture ofthe City”
[4]Muhammad Irfan Al Mujaddidi (2018). Redesain Taman Sriwedari Dengan Pendekatan Arsitektur Metabolisme.

--

--