Membayar Rasa Kantuk di Kaki Kerinci

Rehat sejenak di desa persinggahan para pendaki.

Firman Firdaus
Visual Herald
5 min readOct 29, 2023

--

Kamis, 1 Mei 2010. Waktu menunjukkan pukul 3.00 sore. Saatnya kami meninggalkan Bengkulu dan meneruskan perjalanan menuju Sungai Penuh, Jambi. Jalur yang kami lalui adalah Ketahun, Muko-Muko, Tapan, Sungai Penuh.

Menjelang senja, kami sempatkan mampir di dua pantai yang kebetulan berada di rute yang kami lalui: Pantai Lais dan Pantai Serangai, keduanya masih di Bengkulu.

Senja di Pantai Lais.

Kedua pantai ini tidak terlalu istimewa sebenarnya. Namun, semburat senja di ujung horizon membuat bayangan kami akan “pantai yang indah” seketika sirna, beralih menikmati senja yang sederhana saja: dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan.*

Tak lama, sore bersalin menjadi malam. Hujan deras dan gelegar petir menemani perjalanan kami menuju Tapan. Jalan yang berlubang dan licin membuat pengemudi mesti ekstra hati-hati. Tanpa sadar, doa-doa pun saya rapalkan.

Sekitar pukul 10.00 malamnya kami tiba di bundaran Tapan. Setengah anggota tim sudah “tewas” terlelap. Dari Tapan, kami memilih belok kanan menuju Sungai Penuh. Sementara jalan ke kiri adalah jalan langsung menuju Padang lewat Lintas Pantai Barat Sumatra.

Salah satu sudut kota Sungai Penuh.

Perjalanan Tapan-Sungai Penuh ini kemudian menjadi rute yang paling kami ingat (selain jalur Ranau-Pagar Alam lewat Manna, tentunya): jalan berbatu yang tidak bersahabat dengan mobil kami, jalur-jalur “siluman” yang tidak jelas ujungnya, pohon-pohon tumbang, dan persimpangan tanpa petunjuk apa pun, membuat kami pada akhirnya bermalam di tengah-tengah hutan. Belum lagi ancaman longsor, baik dari sisi kiri jalan berupa bukit terjal maupun sisi kanan yang merupakan jurang nan curam. Saya juga mendengar, di jalur yang kami lewati itu juga masih kerap dijumpai harimau yang melintas.

Namun, Sungai Penuh yang kami jejaki siang harinya seakan membayar keletihan perjalanan selama hampir 12 jam. Setelah berjam-jam akrab dengan hutan dan bukit-bukit yang rapuh, menemui kota dengan segala atributnya seakan mencuatkan kelegaan tersendiri. Rumah makan “Minang Soto” pun menyambut tim dengan hidangan khas soto Padang yang panas dan segar. Sejenak, rasa kantuk kami terkalahkan.

Rumah Makan “Minang Soto”, Sungai Penuh.

Tidak banyak waktu kami luangkan di kota sederhana yang dikelilingi bukit ini. Lepas mengisi perut, kami sempatkan berkunjung ke Kantor Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di Jalan Basuki Rahmat, untuk mengurus izin memasuki Gunung Tujuh yang menjadi bagian TNKS. Kemudian, hari itu kami tandaskan untuk menebus kantuk yang tak tertahankan dalam perjalanan, di tempat yang amat cocok untuk beristirahat: Kersik Tuo.

Hamparan kebun teh

Alasan kami memilih bermalam di Kersik Tuo—ketimbang di Sungai Penuh—adalah karena kami berencana mengunjungi Danau Gunung Tujuh esok paginya. Danau Gunung Tujuh lebih dekat ditempuh dari Kersik Tuo. Alasan yang sederhana itu pun menemukan momentumnya: ini desa yang luar biasa indah. Hidden paradise, kata novel-novel petualangan.

Hamparan kebun teh Kayu Aro, yang terkenal hingga mancanegara.

Kersik Tuo, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Sungai penuh, kami tempuh dalam waktu sekitar satu jam. Udara yang sejuk menyergap begitu memasuki tikungan Siulakderas. Mulai dari sini, di kiri-kanan jalan mulai terlihat bukit-bukit dengan tanaman khas kayu manis atau kulit manis (Cinnamomum verum). Di kejauhan, punggung pegunungan Bukit Barisan yang tersaput kabut seperti melukis cakrawala.

Penjual kulit kayu manis menjadi pemandangan yang banyak terlihat di sepanjang jalan.

Menjelang Kayu Aro, jalan lurus mulus berubah menjadi agak berkelok. Saatnya memasuki hamparan kebun teh nan luas bak karpet hijau yang dibentangkan begitu saja di muka Bumi. Menurut klaim—hamparan kebun teh ini merupakan yang terluas di dunia (lihat artikel tentang Teh Kayu Aro).

Sampai Kersik Tuo, kebun teh masih menyertai. Ketika masing-masing anggota tim menengok kiri-kanan mencari-cari penginapan, di sebelah kiri jalan terlihatlah siluet Gunung Kerinci yang menggetarkan. “Saya akan kembali untuk mendaki gunung itu,” spontan saya berucap.

Gunung Kerinci dilihat dari Kersik Tuo.

Di kemudian hari, saya mendengar warga mengatakan hal yang sama: setelah mengunjungi Kersik Tuo, orang biasanya akan kembali.

Tak lama mencari, kami menemukan homestay Paiman: rumah dua lantai yang disulap menjadi penginapan, tepat menghadap ke Gunung Kerinci. Tanpa ba-bi-bu, seluruh anggota tim tertidur di kamar masing-masing. Termasuk saya. Semilir angin harum hutan yang bertiup lewat jendela mengantarkan kami ke alam mimpi.

Sorenya, saya sempatkan menikmati suasana. Pukul lima sore sudah terasa sepi. Sesekali saja motor atau mobil melintas. Sisanya hening. Hanya ada petani yang kembali dari ladang dengan gerobak sapi, atau pedagang yang pulang dari pasar.

Menyempatkan untuk bercanda dengan anak-anak pemilik Homestay Paiman.

Terlihat sekali bahwa Kersik Tuo “dipersiapkan” sebagai tempat singgah bagi para pengunjung yang ingin mendaki Gunung Kerinci atau menikmati panorama Danau Gunung Tujuh. Di sisi-sisi jalan, menghadap Gunung Kerinci, banyak tempat menginap sejenis homestay Paiman yang kami inapi. Selain itu, juga banyak toko-toko yang menjual ragam makanan kecil dan peralatan seperti rantang jinjing, jaket tebal, balaklava, dan lain-lain untuk keperluan pendakian.

Beberapa pengunjung yang sempat saya temui juga ternyata berniat mendaki Gunung Kerinci. “Ini kali kedua kami naik (Gunung) Kerinci. Singgah di sini enak, tidak terlalu jauh dari lokasi pendakian. Udaranya juga segar,” tutur Zuhri, pendaki asal Bengkulu, yang datang bersama empat rekannya.

Perjalanan Kersik Tuo-Kerinci hanya memakan waktu sekitar 15 menit. “Pakai ojek ongkosnya cuma Rp5.000. Kalau bersama rombongan, ada juga angkot menuju lokasi dengan ongkos Rp2.000 per orang,” Zuhri menjelaskan.

Pagi di Kersik Tuo menjadi saat paling riuh karena di sini ada dua pasar tradisional yang menjual beragam kebutuhan warga. Selain dipadati pembeli, suasana semakin hangat oleh antrean angkot yang menunggui calon penumpang. Kami sempat terjebak beberapa lama di tengah-tengah pasar saat menuju Danau Gunung Tujuh.

Menjelang saat meninggalkan desa ini, saya tatap lekat-lekat siluet Gunung Kerinci yang tetap tersaput kabut. Kemudian, dalam kesadaran yang tidak terlalu penuh, benak saya kembali berkata “saya akan kembali.”

*Kalimat dari “Sepotong Senja untuk Pacarku”, Seno Gumira Ajidarma

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.