Studi Kasus : Merancang Visual Identity untuk Diri Sendiri (pt.2)

Ais
15 min readMay 10, 2020

--

[ part1 | part2 | part3 ]

Halo, perkenalkan saya Ais, freelance illustrator di Jakarta. Saya pembelajar otodidak; self-taught artist dengan ruang belajar dari internet. Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pertama; mengenai proses mencari core value dari visual identity dan logo yang akan dibuat.

Saya berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Segala kritik, saran, komentar maupun diskusi sangat diterima! Temukan saya di instagram dan dribbble.

Saya ucapakan; selamat membaca!

. three . — Sketching and Conceptualizing

Pada umumnya setelah mempunyai design brief dan mendapat berbagai keywords maka memasuki proses brainstorming berupa mind mapping untuk menetapkan visual yang akan dibangun. Saya melakukan ini dan tidak mendapat apa-apa. Mungkin karena saya masih amatir jadi referensi bentuk logo yang saya ingat di kepala hanya seputar brand-brand terkenal. Karena tujuan dari mind mapping ini untuk mendapat visual di moodboard. Jadi saya menggunakan proses sebaliknya; mengumpulkan moodboard untuk mendapat visual yang saya inginkan.

Proses raw concept ini terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan awal berupa discovery visual yang saya inginkan dari sebuah logo. Lapisan kedua adalah mengumpulkan (lagi) semua referensi logo yang mendekati visual yang saya inginkan.

Tahap awal, saya menggunakan Pinterest — atau bisa menggunakan website lain yang prinsipnya adalah collect your ideas — saya bergerilya selama seminggu mengumpulkan koleksi logo yang saya suka dalam satu board.

Beberapa pin yang saya sangat suka, saya berikan notes alasan kenapa saya menyukai logo tersebut. Saya mengumpulkan 35 pins saja supaya tidak pusing melihat banyak pilihan.

Alternatif Pinterest : Dribbble dengan fitur Collections
Alternatif Pinterest : Behance dengan fitur Save as Moodboard

Saya libur selama sehari untuk menetralisir pikiran dari logo-logo yang sudah saya kumpulkan. Setelah itu saya melihat benang merah dari koleksi saya dengan design brief yang ada. Saya terfokus pada logo dengan warna pastel, bentuk yang geometris dan asimetris juga logo dengan negative space.

Setelah mengeliminasi sedikit logo yang membuat saya berubah pikiran. Kumpulan logo itu saya print untuk saya coret-coret. Sensasi mencoret-coret di kertas itu terasa sangat berbeda dibandingkan mencoret secara digital.

Setelah mengetahui selera style logo yang saya suka, kemudian ke tahap kedua yaitu mencari referensi yang sesuai dengan style yang disukai. Referensi saya kini melebar mengunjungi situs-situs seperti 99design, logopond, logo collection di behance ataupun creativemarket. Saya mulai dari mencari referensi untuk logo berbentuk kupu-kupu:

Moodboard untuk bentuk kupu-kupu
Moodboard untuk bentuk kupu-kupu pt.2

Dan saya printout semua hasil discovery dan eksplorasi lalu mulai mencoret-coret kembali :)

Tidak ada yang spesial dari coretan saya; hanya tertulis “Saya suka shape ini,” “Saya suka warna ini,” atau “Saya suka meaning dari logo ini,” Proses ini sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh logo designer yang sudah pro karena sense of good logo mereka sudah terasah.

Kegiatan ini melatih saya untuk mendapat sense tersebut, learning by doing, sekaligus memberi insight berbagai macam logo yang sudah ada untuk menghindari membuat logo yang tidak sengaja mirip di industri saya sendiri.

Saatnya mencoret-coret!

Jenis logo ada tiga macam yaitu: logotype, logosymbol dan kombinasi. Saya memutuskan untuk merancang logo kombinasi yang terdiri dari logosymbol sebagai logo utama dan logotype sebagai pendukung.

Selesai dengan eksplorasi bentuk logosymbol, hasil yang saya dapatkan saya simpan dahulu untuk saya lihat lagi sebagai referensi pada saat proses sketsa.

Kemudian saya mencoba explore pada ranah logotype; satu lagi keahlian amatir saya, yaitu pada bidang typography. Saya mengumpulkan banyak contoh logotype berbentuk serif yang tidak terkesan old dan vintage. Serif yang saya inginkan memberi kesan mewah, elegan dan tetap dinamis.

Moodboard untuk Logotype

Tapi kemudian ini menjadi masalah karena saya bukan typographer dan tulisan tangan saya sendiri pun tidak bisa diandalkan apalagi membuat logotype sebagai logo utama. Kemudian saya mencoba eksplorasi serif font gratis yang ada di googlefont.

Eksplorasi Logotype

Setelah mendapat insight dari raw concept, maka masuk ke tahap berikutnya yaitu sketsa kasar (raw sketch) untuk simbol logo.

Pada tahap ini, prinsip yang akan dilakukan terinsipirasi dari dunia pemasaran: jika memiliki target 100 klien baru, dan dari approach 1000 orang berhasil mendapatkan 10 klien, artinya butuh 10.000 orang untuk bisa mendapat 100 klien. Jadi saya membuat sketsa sebanyak mungkin.

Berikut salah satu penampakan dari sketsa yang saya buat (plus dengan coretan ngalor-ngidul saya sendiri):

coretan tidak beraturan

Selain bentuk kupu-kupu saya tetap melakukan eksplorasi untuk mendapat bentuk baru. Pada prosesnya, saya tidak menyukai konsep kupu-kupu. Alasan paling kuat adalah karena saya tidak menyukai logo yang simetris. Seperti dilihat pada sketsa, saya berusaha untuk membuat kupu-kupu yang tidak simetris, tapi hasilnya terlihat visually unbalance. Jika saya membuatnya simetris, saya kurang menyukainya karena bentuknya akan sangat mirip dengan kebanyakan logo di moodboard.

Saya kemudian melakukan step back for awhile membaca kembali design brief dan memaknai konsep kupu-kupu (ngengat) yang saya jadikan acuan dalam raw sketch. Kata Hariri kembali muncul; brainstorming lagi dari kata tersebut yaitu kepompong (cocoon).

Saya menyukai makna tersebut karena kepompong merupakan bagian dari tahapan metamorfosis untuk bersiap-siap menuju tahap yang lebih besar; menjadi kupu-kupu. Hal itu memberi makna lebih dalam karena saya merasa masih menjadi amatir, perlu banyak belajar, seperti ulat yang bekerja keras memintal benang dan menyelimuti dirinya untuk menjadi kepompong; saya pun akan terus belajar untuk menambah ilmu dan referensi untuk bermetamorfosis ke tahap selanjutnya.

“Good design is honest.” — Dieter Rams

Jika nanti saya merasa sudah bermetamorphosis menjadi sukses mungkin saya akan mengupgrade desain logo kupu-kupu lagi? Mungkin saja, tapi saya harap tulisan saya nanti tidak sepanjang tulisan saya sekarang.

Untuk menyimbolkan makna kepompong itu saya menggunakan bentuk persegi panjang dengan setengah lingkaran di kedua sisi yang berseberangan. Saya tidak menemukan bahasa Indonesia yang tepat untuk bentuk ini selain ‘kapsul’, tapi dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai ‘stadium’, ‘discorectangle’, ‘obround’ atau ‘sausage body’.

A stadium, also called a discorectangle, obround, or sausage body, is a geometric figure consisting of a rectangle with top and bottom lengths a whose ends are capped off with semicircles of radius r. — Mathworld

Source : Graphic Design Forum
Gambar Teknik Mesin : Source

Squares and rectangles feel solid and stable. In contrast, a circular or oval logo can give a brand an unrestrained, eternal feel. — Lindsay Kramer, 99designs

Simbol obround erdiri dari dua bentuk geometris; basic shape persegi panjang dan lingkaran. Persegi panjang menyampaikan kesan yang solid dan karena bentuknya yang memanjang menambah kesan ‘tumbuh / berkembang’. Di saat berasamaan, kedua sisi persegi yang kaku terlihat lebih friendly dan unity karena penambahan setengah lingkaran.

Brand yang cukup dikenal menggunakan persegi panjang sebagai logo adalah National Geographic dengan warna kuningnya.

Source : The Story Behind the National Geographic Logo Design

Bentuk setengah lingkaran atau lingkaran dalam logo umumnya digunakan untuk melambangkan kesatuan yang utuh; seperti dalam logo TVRI. Karena sifatnya yang terlihat ‘melingkar’ menjadi sebuah frame yang menjadikan objek di tengah lingkaran sebagai fokus utama; seperti dalam logo Starbucks. Selain itu memberi kesan friendly, dinamis dan mengglobal; seperti dalam logo VW, Ford, Target ataupun Samsung.

Sumber : Rebranding dan Makna Baru Logo TVRI
Starbucks Logo History — Source

Aplikasi bentuk obround ini dapat memberi kesan vintage, elegan, minimalist, atau modern. Kaya akan makna dan fleksibilitas menjadikan bentuk obround sebagai fokus main shape menggantikan bentuk kupu-kupu sebelumnya.

Untuk mempermudah pekerjaan, saya membuat bentuk obround secara digital yang disusun berbaris untuk kemudian saya print-out. Selanjutnya saya melakukan sketsa dengan wujud obround kepompong yang sudah saya jadikan grid line untuk bahan eksplorasi di area dalamnya:

Kepompong (Cocoon)

Dari berbagai sketsa yang ada kemudian saya mengeliminasi desain yang rumit dan menurut saya tidak akan bertahan lama untuk saya sukai (personal feeling only) dan mempersempit pilihan menjadi 5 alternatif logo saja.

Cara saya mengeliminasi adalah dengan memahami logo style trend dengan melakukan desk research. Saya mencoba mencari benang merah dan memahami trend logo tahun 2019. Namun, kemudian saya berkesimpulan logo yang dikatakan baik adalah logo yang bisa bertahan meski trend berganti (timeless), jadi saya menganalisa alasan beberapa brand yang melakukan redesign logo di tahun 2019. Beberapa dari brand tersebut antara lain : Slack dan Mozilla Firefox.

Pada dan tahun 2018 beberapa brand fashion dengan logotype yang awalnya serif melakukan redesign logo yang merubah logotype menjadi sans serif.

source

“Styles come and go. Good design is a language, not a style.” — Massimo Vignelli

Kemudian saya menyaring dari puluhan sketsa kasar (berbentuk kepompong tanpa blok warna) menjadi sketsa halus (dengan blok warna). Sketsa halus kepompong itu lalu saya pilih lagi menjadi finalis logo yang akan saya jadikan hi-fi untuk diperdalam lagi di tahap .four. dan dilakukan penilaian personal.

Kelima Finalis

Kelima logo diatas adalah logo yang memberi saya good feeling. Berikut penjelasan dan penilaian personal saya terhadap masing-masing logo:

Alternatif A

Negative space area dari logo ini mengandung dua hidden message yaitu setengah sayap kupu-kupu dan bentuk tanda petik tunggal (‘) atau apostrophe.

Tanda petik tunggal adalah tanda baca yang mengapit petikan di dalam petikan, makna, terjemahan atau penjelasan kata. Sebagai visual yang pertama terlihat, tanda petik tunggal ini menyimbolkan desainer sebagai penerjemah pesan dalam sebuah karya menjadi komunikasi dalam bentuk visual yang disampaikan kepada audiences.

Setengah sayap kupu-kupu menyimbolkan asimetris yaitu ketidak sempurnaan; tidak ada karya yang sempurna. Justru sisi yang tidak sempurna itu menjadikan sebuah karya terlihat tulus, hangat, dan humanist.

“Have no fear of perfection — you’ll never reach it.” –Salvador Dali

Alternatif B

Tidak jauh berbeda dengan alternatif A, pada negative space ini saya berusaha membentuk sayap kupu-kupu yang tidak simetris. Referensi saya ini berasal dari huruf ‘H’ seperti pada logo lama saya (ingat Hutterfly?). Makna sayap yang tidak simetris juga sama, yaitu saya menghindari sisi terlalu sempurna yang tidak menunjukan sisi humanist. Beberapa logo terkenal di dunia juga tidak simetris karena beberapa alasan.

Jika pada alternatif A saya menggunakan tanda petik tunggal (‘) kali ini saya menggunakan bentuk tanda kurung kurawal. Dilihat dari fungsinya, tanda kurung kurawal adalah untuk memberi tanda kesatuan dalam suatu grup. Sehingga pesan yang ingin saya sampaikan adalah ‘ketidak sempurnaan yang menyatukan’ semua tujuan dari suatu desain; komunikasi sebagai solusi.

source : Wikipedia

Saya membuatnya menghadap ke kiri untuk menghindari keterbacaan sebagai huruf ‘K’. Alasan saya menggunakan tanda kurung kurawal lainnya adalah karena alternatif logo ini adalah bentuk lain dari alternatif C namun sebagai pembeda maka sisi lainnya dijadikan kurawal.

“Perfection is achieved not when there is nothing more to add, but when there is nothing left to take away.” –Antoine de Saint-Exupery

Alternatif C

Saya ingin menguatkan kesan minimalist, modern dan elegan dalam alternatif ini. Berbeda dari alternatif logo lainnya yang asimetris karena ditampilkan hanya setengah sisi saja, kali ini negative space yang asimetris terbentuk dari dua bentuk yang sama namun berbeda dari ukuran panjang. Saya beruaha menggunakan teori gestalt untuk menciptakan huruf ‘h’ biasa — tidak kapital, semi-abstract karena untuk beberapa orang memiliki persepsi bahwa itu adalah huruf ‘li’.

Logo ini tidak memiliki hidden message seperti dua alternatif logo sebelumnya — selain makna dari bentuk asimetris dan bentuk obround.

“Design is a solution to a problem. Art is a question to a problem.” –John Maeda

Alternatif D

Seperti pada alternatif A yang memiliki dua makna di area negative space dalam obround. Alternatif D terdiri dari dua tampilan visual, yaitu bentuk spiral dan smile line. Makna bentuk spiral yang merepresentasikan kreatifitas, motion dan thinking.

Apakah kalian dapat melihat senyum itu?

Sementara ‘smile line’ terinspirasi dari desain logo LG dan logo goodwill; memberi kesan hangat dan welcoming saya ingin logo ini memberi visual seseorang yang approachable dan friendly.

“Make it simple, but significant.” –Don Draper

Alternatif E

Kali ini saya menyelipkan satu logo yang simetris. Sedikit berbeda dengan sketsa lo-fi yang sudah saya buat tapi cukup menyenangkan melakukan eksplorasi untuk mengeksekusinya. Konsep yang ingin ditampilkan pada alternatif logo E ini adalah feminim dan cuteness. Dilihat dari bentuk siluet yang ditampilkan dari negative space ada dua hewan yaitu beruang dan kupu-kupu. Jika kedua hewan dilihat dalam satu kesatuan maka berbentuk bunga tulip dan daunnya. Tidak ada makna filosofi dalam logo ini.

Meski pada akhirnya alternatif ini tereliminasi pertama kali, saya rasa cukup menyenangkan untuk mendokumentasikannya. Inspirasi saya berasal dari logo Cub Studio dan Beauty by Carlos.

“There is no such thing as a boring project. There are only boring executions.” –Irene Etzkorn

Hasil dari step . three . adalah:

  • Tidak menggunakan konsep kupu-kupu sebagai main shape dari logo melainkan bentuk obround untuk menyimbolkan kepompong.
  • Setelah melihat banyak brand dengan logotype serif yang berubah, hal ini juga mempengaruhi saya untuk menggunakan logotype dengan sans serif dibandingkan type serif.
  • Ada empat alternatif logo; A, B, C dan D yang akan menjadi fokus eksplorasi pada tahap berikutnya.

. four . — Desk Research

Setelah memiliki empat alternatif logo dalam bentuk digital, tahap berikutnya adalah memvalidasi ketersediaan logo tersebut. Banyaknya jenis usaha dan merk dagang dengan berbagai macam bentuk logo tentu memperbesar kemungkinan suatu logo akan mirip dengan logo yang lain.

Mencari logo yang mirip dengan kita bertujuan untuk menghindari konflik hak cipta dalam jangka panjang. Cara sederhana yang saya pakai untuk mengetahui logo yang sudah ada dengan menggunakan fitur google image. Meskipun cara ini tidak 100% akurat karena beberapa logo dari portfolio logo designer tidak terindeks dalam hasil pencarian. Selain google image, ada juga tineye yang fungsinya juga sama.

Mengenai IP yang sedang atau sudah terdaftar hak paten / hak ciptanya dapat di lihat dalam website WIPO dengan melakukan pencariaan kata kunci. Contohnya objek dalam logo saya menggunakan kupu-kupu maka keyword yang saya cari adalah butterfly atau cocoon untuk kepompong. Cara ini terlihat melelahkan tapi paling tidak, logo saya tidak bermasalah dengan logo dari brand yang sudah ada untuk menghindari masalah di kemudian hari.

Hasil pencarian gambar pada semua alternatif A, B, C dan D hasilnya aman; artinya semua logo tidak ada yang mirip dengan logo lainnya (yang terindeks dalam pencarian google).

Logo Check via Google Search Image

Setelah pencarian di google, saya juga melakukan desk research dengan melihat kembali hasil pencarian di beberapa website portfolio seperti Behance dan Dribbble dengan kata kunci ‘butterfly’ dan ‘cocoon’ untuk melihat logo yang sudah ada dan mirip.

Setelah tahap cek availability maka berikutnya saya mengecek apakah logosymbol ini tetap terlihat pada ukuran yang sangat kecil. Untuk itu saya menggunakan salah satu produk dari studio bros yaitu logolab cukup upload logo di websitenya lalu hasil penilaian seperti di bawah ini akan keluar.

Salah satu tujuan saya membuat logosymbol adalah untuk dijadikan watermark karena itu aspek low res dan scalability yang jadi fokus utama saya ketika menilai pada tahap ini.

Pada logo A, penilaian untuk low res dan scalability cukup baik. Terlihat pada kejelasan bentuk logo yang tetap dapat dikenali meski mengalami pixelated maupun pengecilan pada ukuran logo.

Tampilan ‘Pixelated’ dan ‘Scalability’ pada LogoLab

Dan ketika disejajarkan dengan logo dari brand terkenal lainnya, logo ini tetap memancing perhatian (pendapat personal).

Tampilan ‘Attention pada LogoLab

Pada alternatif logo B, pixelated 32px sedikit mengalami distorsi bentuk pada curve di tanda baca kurung kurawal, namun secara keseluruhan tetap bisa dikenali. Pada penilaian scalability versi tiny terlihat sulit untuk dilihat bentuk kurawalnya membuat huruf ‘H’ jelas terbaca tanpa ada ciri khas kurawal.

Atensi pada logo tetap terbilang baik jika disandingkan dengan logo lainnya.

Memiliki bentuk yang simpel (dua garis vertikal, berbeda tinggi) membuat alternatif C logo selamat dari hasil test ini. Bentuk pixelated maupun versi tiny sekalipun logo ini tetap dapat dikenali. Begitupun jika disandingkan dengan logo dari brand terkenal, siluet dari logo tetap dapat dibedakan.

Hasil peniliain dari alternatif logo D tidak jauh berbeda; baik test pixelated maupun scalability tetap dapat dikenali dengan baik. Melihat versi tiny dari logo alternatif D membuat saya menemukan hidden message lainnya yaitu bentuknya yang seperti fingerprint. Bentuk obround seperti jari dan spiral seperti sidik jari; seperti menyimbolkan sebuah identity lainnya.

Terkecuali alternatif B dengan tanda kurung kurawal yang terdistorsi, overall semua alternatif cukup bagus dalam scalability test ini. Karena ketiga alternatif lolos pada tahap ini, maka dilakukan pemilihan lagi berdasarkan personality yang saya suka dalam setiap alternatif logo.

Dalam proses menilai secara personal ini saya biasanya menggunakan coretan kelebihan dan kekurangan pada tiap logo, seperti melihat value pada masing-masing gambar. Coretan ini membutuhkan penilaian berhari-hari. Saya meliburkan diri dari proyek ini selama 3 hari untuk menyibukan diri dengan proyek lainnya. Sehingga pada saat saya kembali melihat alternatif logo dan catatan saya kembali, pikiran saya dalam keadaan fresh. Saya menyebut ini teknik endapan karya; karena kita menyimpan sebuah karya selama beberapa hari kemudian melihat kembali karya tersebut untuk dinila secara objektif. Saya mengetahui teknik ini dari dunia penulisan; sumbernya ini dan ini.

Berikut hasil penilaian saya terhadap masing-masing logo:

Pada logo alternatif A; saya merasa logo ini terlalu simpel. Negative space berbentuk aposthrope di tengah obround membuat overall shape seperti missing. Selain itu, entah bagaimana menjelaskannya, logo alternatif A seperti saya pernah melihat di suatu tempat.

Pada logo alternatif B; bentuk kurawalnya terlihat seperti ‘tanduk’ dan jika dilihat lebih lama maka akan terlihat sebuah emotikon dengan ekspresi yang sedang kesal, aura negativity vibes; ( }| ) selain itu, seperti yang terlihat di atas, kurawal terdistorsi saat scalability test.

Pada logo alternatif C; bentuk logo terlihat seperti aksen pada icon band metal atau punk-rock. Tidak terlihat merepresntasikan visual feminime dan magical seperti pada design brief (meski sebenarnya visual itu bisa ditambahkan lewat pemilihan warna), selain itu saat saya menunjukan logo C ke rekan-rekan, mereka membacanya li dan tidak berpikir bahwa itu adalah ‘h’ sehingga saya mencoret alternatif C dari daftar finalis logo.

Karena logo A, B dan C sudah gugur maka otomatis logo D masuk sebagai pemenangnya. Tapi tentu tidak semudah itu; saya tetap memberikan penilaian pribadi secara objektif. Kekurangan pada logo D yang saya rasakan adalah pembentukan negative space bentuk spiral yang membuat shape obround yang menjadi terpisah. Hal ini membuat logo kehilangan makna dari ke-solid-an dari konsep obround itu sendiri.

Terdiri dari 2 Shape

Namun ini mennjadi tanda tanya kembali, karena pada alternatif logo A dimana eksplorasi objek aposthrope ditengah obround malah menjadikan a whole shape seperti a hole on the wall, seperti ada objek yang missing.

Tapi hal ini saya coba lihat dari sudut pandang yang lain. Garis melintang yang membelah obround pada alternatif logo D menjadikan bentuk logo seperti saling berinteraksi. Teori Gestalt saya gunakan dalam logo ini, karena bentuk obround yang familiar sehingga negative space bentuk spiral tidak menyebabkan shape terbaca sebagai dua bentuk yang berbeda.

Saya memilih untuk menerima kekurangan pada logo D daripada kekurangan logo A dengan feeling there’s something missing.

Pada akhirnya, saya memilih logo D karena kelebihan pada hidden message dan konsepnya yang menarik.

Hasil dari step . four . adalah:

  • Logo A, C dan D cukup baik dalam scalability dan pixelated test.
  • Logo B terdistorsi pada bagian tanda kurung kurawal.
  • Logo A memiliki kekurangan pada objek utama aposthrope yang terlihat seperti sebuah lubang pada obround.
  • Logo C memiliki kekurangan pada pesan dan kesan yang disampaikan, logo tersebut juga terbaca ‘li’ bukan huruf ‘h’.
  • Kekurangan logo D terlihat memisahkan obround menjadi dua bentuk, namun jika dilihat dari sisi yang berbeda terlihat seperti eksplorasi pada negative space dari bentuk spiralnya.
  • Hasil yang terpilih adalah logo D.

Pada part selanjutnya saya akan menuliskan proses saya finalizing and delivery semua visual identity yang sudah dirancang.

Apa kalian punya cara tersendiri pada tahap sketching & conceptualizing? Silahkan komen pengalaman kalian ya!

Kalian tau tidak? Icon tepuk tangan yang kalian lihat bisa di tap hingga 50x lho \:D/ Segala kritik, saran, komentar maupun diskusi santai sangat diterima! Temukan saya di instagram dan dribbble.

Terima kasih sudah membaca sampai sini, sampai bertemu di part selanjutnya!

[ part1 | part2 | part3 ]

--

--

Ais

Product UI UX Illustrator and Graphic Designer. Currently working at Flip.id