Dua Tahun Ingat65: Apa Kata Penulis Kami

Penulis-penulis Ingat65 mengirimkan refleksi singkat apa yang terjadi sejak tulisannya terbit.

Ingat65
INGAT 65
Published in
3 min readMar 24, 2018

--

Photo by kazuend on Unsplash

Ingat65 hadir pertama kali tanggal 24 Maret 2016, tepat di Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM Berat.

Medium ini ada untuk memberikan tempat bagi anak muda berbagi cerita dan refleksi mereka mengenai kekerasan massal terhadap kelompok kiri yang terjadi pasca G30S 1965. Sekitar lebih dari satu juta orang menjadi korban langsung, sementara seluruh negeri merasakan warisan kekerasan yang belum diakui ini.

Sejak penerbitan pertama 106 penulis telah membagi refleksi mereka. Latar belakang penulis beragam. Ada yang memiliki hubungan langsung dengan tragedi 65 — Beberapa penulis adalah cucu dari korban, yang lain memiliki hubungan keluarga dengan pelaku kekerasan. Sebagian yang lain tidak memiliki hubungan langsung dengan korban atau pelaku kekerasan pasca G30S 1965. Ada pula yang memiliki kisah keluarga yang kompleks yang tidak hitam putih, seperti contohnya Edi Faisol, yang esainya menceritakan bahwa kakeknya berbohong pada warga kampung bahwa ia membunuh sahabatnya, seorang anggota PKI. Ia lakukan ini untuk melindungi sahabatnya itu dan memberinya kesempatan untuk menyembunyikan diri.

Dalam rangka dua tahun Ingat65, tim editor meminta beberapa penulis menceritakan apa yang terjadi pada mereka dan pada negara ini dalam pandangan mereka sesudah esai mereka terbit.

Jessica Widharta, Esai: Dari Aku yang Kau Sebut Apatis

Ada perubahan secara personal dalam diri saya, baik karena telah menulis maupun membaca tulisan di Ingat65. Saya merasa lebih melek tentang isu 1965. Saya membagikan sedikit perspektif saya tentang topik ini lewat tulisan saya, namun saya merasakan lebih banyak perubahan saat saya mengenal dan membaca tulisan orang lain di sini. Saya menemukan lebih banyak sisi cerita yang tidak saya ketahui sebelumnya.

Bangsa ini perlu membenahi dan menguak masalah maupun peristiwa yang terkubur/tidak terselesaikan sebelum semakin berdebu dan bertumpuk.

Elyzabeth Winda, Esai: Saya Ingin Ingat 65

Perubahan tersebut mungkin tidak besar, tapi ia ada. Dari tidak tahu menjadi tahu adalah perubahan yang saya rasakan setelah menulis di Ingat65. Setidaknya saya tidak lagi acuh terhadap masa lalu bangsa sendiri. Perasaan berjarak pun berganti dengan rasa ingin memahami.

Solusi yang ada di kepala saya terbilang sederhana, bahkan terlalu sederhana. Di level personal, kita perlu belajar mendengarkan dan memahami permasalahan yang ada, dengan lebih baik. Di lingkup yang lebih luas, kita perlu mengakui bahwa sejarah kelam itu ada. Kita perlu belajar dari sejarah agar tak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Wisnu Yonar, Esai: Mengapa Saya Memproduksi Film Tentang Pulau Buru

Indonesia masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada perubahan berarti semenjak era Gus Dur terkait isu 65.

Bangsa ini? Negara seharusnya melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran sejarah masa lalu dan rekonsiliasi. Pembentukan Dewan Kerukunan bukan hal yang patut diapresiasi selama Negara belum mengakui tragedi genosida 65 dan pelanggaran HAM berat yang mengikutinya. Kalau ingin bangsa ini tumbuh dengan sehat, generasi mudanya harus mendapatkan wawasan sejarah periode 1960-an yang benar (bukan rekaan pemerintahan Soeharto). Juga mencabut Tap MPRS 25/1966 yg menjadi kunci mandegnya kesehatan intelektualitas bangsa

Ananda Badudu, Esai: Menemukan Sisi Lain Sejarah 1965

Agar bangsa ini ada perubahan ke arah yang lebih baik masyarakatnya perlu banyak membaca dan lebih terbuka pada pemahaman dan pemikiran orang lain. Tidak main seruduk atau persekusi kalau tidak setuju. Kurikulum pendidikan perlu diganti. Murid-murid perlu diajarkan berdiskusi ketimbang semuanya searah dari guru ke murid.

--

--

INGAT 65
INGAT 65

Published in INGAT 65

Ceritaku ceritamu cerita kita tentang 65| kirim esai ke cerita.ingat65@gmail.com| Subscribe via email: https://tinyletter.com/Ingat65

No responses yet