Ide / (Pra)Sarana

Akses Hunian Layak: Desain yang Bahagia (Bagian 2)

Fungsi-fungsi ruangan menjadi semakin tidak “konvensional”. Semakin unik seorang individu dan rekan tinggalnya, semakin unik pula bentuk ruangan yang tepat untuknya.

Jaladri
Kolektif Agora

--

Foto oleh Ali Yahya di Unsplash, 2019.

Hunian adalah kebutuhan paling mendasar manusia. Sayangnya, sebagai kebutuhan dasar, hunian tidaklah murah. Perumahan terjangkau itu bukan hanya masalah ketidaktersediaan lahan atau orang yang tidak mampu memenuhi syarat perbankan. Untuk membeli sebuah rumah, tidak jarang satu keluarga perlu mencicilnya selama berpuluh-puluh tahun.

Memang seberapa mahal, sih? Untuk menjawabnya, saya coba menggunakan aplikasi simulasi kredit KPR BCA.

Simulasi KPR BCA

Asumsikan rumah tipe 36 dengan harga 400 juta rupiah. Harga tersebut saya ambil melihat rumah cluster murah di daerah Bekasi menurut beberapa situs jual beli rumah. Dengan DP 40 juta rupiah dan tenor selama 20 tahun, maka angsuran bulanan yang harus dibayarkan adalah Rp. 3.181.000,00 per bulan.

Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia №20/08/PBI/2018 telah memutuskan, besaran cicilan maksimum 30 persen dari pendapatan yang diterima. Artinya, bila Anda ingin mengajukan KPR untuk rumah tersebut, setidaknya penghasilan kotor Anda per bulan adalah Rp. 10.603.333,00 per bulan. Dengan UMP Kota Bekasi yang sebesar Rp. 4.229.756,00 per bulan, jelas banyak sekali pekerja muda yang tidak bisa mengajukan kredit kepemilikan rumah di awal karirnya. Jika orang hanya mampu “membeli” rumah dengan cara mecicil, itu artinya kebanyakan orang tidak benar-benar mampu membeli, mereka hanya dijamin untuk “boleh mengangsur” saja. Ketika hunian belum lunas dan terjadi masalah, misal kredit macet, penghuni bisa diusir kapan saja karena hunian belum resmi menjadi milik si pengangsur.

Hal seperti ini tidak hanya terjadi di Kota Bekasi. Karena sebagian besar demografi penduduk Indonesia diisi oleh anak muda usia 20–29, akan lebih banyak pekerja muda yang membutuhkan hunian.

Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin (2019)

Sesuai hukum permintaan dan penawaran, harga rumah yang mahal tak mampu dijangkau banyak orang. Di Thailand saja ada 450.000 hunian baru yang tidak laku terjual. Permintaan yang menurun menyebabkan harga hunian semakin menurun pula. Ini berdampak buruk pada orang yang terlanjur mengangsur KPR. Mereka berpuluh-puluh tahun mencicil rumah yang harganya merosot setelah lunas dibeli. Belum lagi mereka harus membayar bunga, biaya perawatan, dan lain-lain. Kalaupun ada kesempatan pindah untuk mencari kesempatan hidup yang lebih baik, orang cenderung lebih sulit berpindah karena mempertimbangkan rumah belum lunas yang sayang ditinggalkan atau repot mengoper kredit. Sementara, untuk membeli rumah secara tunai, pendapatan tidak akan pernah mengejar harga rumah. Belum lagi, dengan cukup banyaknya studi yang membahas mengenai kesehatan mental dan kota, harga yang tidak terjangkau menuntut orang-orang mengejar pendapatan tinggi yang dapat berujung pada ketidakbahagiaan.

Skema perbankan yang seharusnya menjadi arus utama pembiayaan kepemilikan rumah, ternyata tidak bisa memenuhi kebutuhan itu. Jika diasumsikan penduduk usia muda pada dasarnya hanya mampu tinggal di rumah orangtuanya atau menyewa, lalu apa solusi bagi pemuda yang ingin memiliki rumah sendiri? Adakah alternatif selain membeli dan mencicil rumah?

Rumah Murah

Pada Diskusir #8: Langgas Tak Berpapan, Kolektif Agora bersama Atika Almira dari rumahpertama.id sempat membahas mengenai impian-impian para langgas yang masih jauh dari kenyataan. Atika menjelaskan bahwa generasi langgas perlu berhenti terpaku kepada idealismenya dan mulai mencari opsi-opsi lain yang bisa dijangkau saat ini.

“Banyak ahli mengatakan bahwa permasalahan perancangan adalah permasalahan yang miskin penjelasan, atau didefinisikan secara kurang memadai. Istilah mereka adalah ill-defined problems. Juga tidak terstruktur dengan baik, ill-structured problems. Problema yang kita terima dari klien selalu masih perlu untuk diperjelas lebih lanjut.” (Aditjipto, 2004)

Pada artikel sebelumnya, kita sudah melihat kemungkinan bahwa desain rumah lengkap sudah tidak lagi relevan karena kebutuhan pengguna yang berbeda-beda. Peran arsitek adalah mendefinisikan dan membuat struktur permasalahan yang tepat untuk para klien yang dalam konteks ini adalah para langgas atau pekerja usia muda yang membutuhkan hunian. Beberapa arsitek tidak hanya terdidik dalam mendefinisikan persoalan, tetapi juga terlatih dalam menemukan solusi-solusi pada permasalahan tertentu. Yu Sing adalah salah satu arsitek Indonesia yang bersemangat mencari solusi agar hunian bisa menjadi lebih terjangkau untuk semua orang.

Yu Sing memiliki gagasan bahwa luas ruang yang lazim digunakan masyarakat sebenarnya masih bisa dihemat lagi. Menurutnya, jika dulu rumah di Indonesia menggunakan standar kebutuhan ruang 7,2 m²/orang, yang artinya sebuah keluarga dengan empat anggota keluarga membutuhkan rumah tipe 28 (rumah dengan luas berukuran 28 m²), dengan pengolahan ruang yang tepat, kebutuhan itu bisa disusutkan bahkan hingga setengahnya. Rumi 8.75 adalah salah satu rumah mikro (microhouse) yang timbul dari gagasan itu.

Yu Sing bersama “Rumi 8.75" (foto oleh Jaladri, 2019)

Selan itu Yu Sing pernah menantang dirinya untuk mengolah ruang di atas lahan yang sesempit mungkin. Dengan luas tapak hanya 1 x 2 meter, ia mampu membuat rumah yang mampu memenuhi kebutuhan paling dasar. Rancangan yang efisien dari rumah mikro ini akan meminimalisir biaya hunian dengan signifikan.

Rumah Mikro dengan tapak hanya 1x2 meter. (foto oleh Jaladri, 2019)

Selain itu ada konsep rumah tumpuk, yang merupakan bagian dari konsep perumahan multikeluarga di mana beberapa unit rumah terpisah untuk penghuni perumahan di dalam satu bangunan atau beberapa bangunan dalam satu kompleks. Rumah tumpuk wujudnya dapat ditumpuk satu sama lain (unit atas dan bawah) atau unit dapat bersebelahan (berdampingan kiri-kanan/depan-belakang).

Persepsi rumah yang harus tapak dengan kebutuhan lahan yang luas sebenarnya yang membuat harga hunian mahal, karena saat ini biaya paling besar dari rumah selalu muncul dari kepemilikan tanah. Jika kaveling di komplek perumahan biasa rata-rata luasnya 6 x 12 meter untuk satu rumah, dengan desain rumah mikro, Yu Sing bisa menghasilkan tujuh rumah untuk tujuh keluarga dalam satu kaveling rumah tumpuk. Salah satu siasatnya adalah mengenai syarat “jika jarak antar lantai tidak sampai 5 meter, masih bisa dianggap 1 lantai”. Yu Sing memanfaatkan mezanin untuk membuat ruangan baru tanpa dikategorikan lantai baru. Olahan ruang yang tepat dapat menghasilkan ruang-ruang yang efisien dengan tapak yang minim.

Konsep Rumah Tumpuk (sumber: http://www.mississauga.ca/portal/residents/townhouse)

Ada juga transformable apartments, tempat di mana para arsitek dapat menciptakan ruang seperti kapal pesiar yang mengaburkan perbedaan antara arsitektur dan furnitur. Partisi ruang yang dapat bergerak dan furnitur di dalamnya, dapat diubah menjadi berbagai posisi yang benar-benar dapat mengubah ruang. Dengan hanya menggeser partisi ini ke berbagai area unit, Kita dapat “menambahkan” kamar tidur atau “menghilangkannya” untuk memunculkan fungsi ruang lainnya.

Unit transformable apartment yang dikembangkan oleh Kent Larson

Apa yang Kamu Butuhkan untuk Bahagia?

Tentu pendekatan rumah mikro ala Yu Sing bisa jadi tidak tepat untuk kamu. Masih ada banyak konsep hunian yang meminimalisir biaya tanah. Co-housing sering dianggap alternatif berkelanjutan untuk perumahan tradisional. Tapi, itu kembali lagi ke kebutuhan penggunanya, seperti misalnya co-housing yang belum dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga yang sangat kecil (Marckmann, 2012).

Rumah tangga kecil dapat mencontoh Fumio Sasaki dalam bukunya “Goodbye, things: on minimalist living”, di mana dia hanya membutuhkan apartemen model studio berukuran 20 m² saja. Dengan memilah hal-hal yang penting, dia dapat hidup lebih bahagia karena tidak dirisaukan oleh hal-hal yang tidak penting dan merepotkan. Kita perlu tahu benda atau kebutuhan ruang apa yang membuat kita merasa, Oke, ini cukup.” Kebutuhan luas hunian akan berkurang drastis saat kita berfokus pada kegiatan dan kebutuhan yang paling penting.

Keindahan minimalisme adalah kita dapat berbagi hal-hal dengan orang lain. Hidup bersama dalam satu co-housing memiliki banyak manfaat bagi kita. Kamu tidak harus memiliki semua benda. Misal, kita cukup punya satu penyedot debu untuk satu komunitas. Seluruh komunitas bisa hanya membutuhkan satu buah saja untuk tiap jenis benda, karena penggunaannya dapat berbagi dengan semua orang.

Empati adalah landasan dari desain untuk memahami bagaimana orang-orang menggunakan ruang. Melalui empati, arsitek bisa memahami ruang apa yang bekerja bagi pengguna, ruang seperti apa yang menyentuh pengguna. Empati akan membantu arsitek memahami bagaimana menemukan dunia personal yang berbeda-beda untuk berbagai pengguna ruang.

Selain konteks perencanaan yang sangat bervariasi, baik secara geografis maupun dari waktu ke waktu, kebanyakan arsitek merancang rumah dengan bagaimana cara si pemilik hidup dan akan tinggal di rumah itu. Ide dari desain yang bahagia adalah arsitek perlu juga untuk merancang berdasarkan apa yang benar-benar penting untuk penghuninya. Dengan mempertimbangkan apa yang paling penting, arsitek tidak perlu menambah ruang yang tidak perlu pada lahan yang terbatas. Selain itu, penghuni juga dapat lebih fokus pada hal-hal yang dapat memberikan kebahagian untuk mereka.

Apakah kamu butuh satu tempat tidur saja? Atau perlu satu lagi untuk anak? Apa perlu ruang tamu karena sering menerima tamu? Atau cukup ada studio untuk melukis? Perlu garasi? Atau tidak perlu garasi? Ada banyak sekali pilihan karena desain yang bahagia sangat tergantung dengan pribadi penghuninya. Dengan mengetahui apa yang paling penting untuk kita, baru kita dapat menentukan desain seperti apa, yang secara pribadi, akan membuat kita lebih bahagia.

“A table, a chair, a bowl of fruit and a violin; what else does a man need to be happy?” — Unknown

Kamu sendiri, secukup apa yang membuatmu bahagia?

ReferensiMarckmann, B., Gram-Hanssen, K., & Christensen, T. H. (2012). Sustainable Living and Co-Housing: Evidence from a Case Study of Eco-Villages. Built Environment, 38(3), 413–429.Margalit, H. (2017). A Review of “Social housing: definitions and design exemplars”, By Paul Karakusevic and Abigail Batchelor. International Journal of Housing Policy, 18(1), 159–160.Sasaki, F. (2017). Goodbye, things: on minimalist living. Penguin UK.Tummers, L. (2015). Understanding co-housing from a planning perspective: why and how? Urban Research & Practice, 8(1), 64–78.

--

--