Editorial

Terikat Tempat, Mengingat Hakikat

Lampiran Refleksi Mendalam atas Bandung dan Saya

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

--

Foto oleh Timang Bintang di Unsplash, 2017.

Saya sudah pindah domisili sebanyak tiga kali.

Saya lahir di Bandung tahun 1995. Naik ke kelas empat SD, saya pindah ke Medan. Karena diterima kuliah di ITB, saya kembali lagi tinggal di Bandung. Tiga tahun jadi mahasiswa, saya kemudian pindah ke Cimahi (ingat, Cimahi dan Bandung adalah kota yang berbeda), dan sekarang menjadi warga kota tersebut.

(Fun fact: di antara tiga kali pindahan itu, saya sudah menempati 11 rumah yang berbeda, 5 di antaranya ada di Bandung.)

Bandung selalu disebut sebagai tempat yang nyaman untuk ditinggali. Waktu saya hendak pindah dari Medan, teman-teman saya selalu mengomentari bagaimana saya akan merasa nyaman pindah ke kota ini. Sekarang, meski saya tidur dan mandi di Cimahi, entah bagaimana saya semakin mengafirmasi intimasi saya dengan Kota Bandung.

Bak sudah berlayar bertahun-tahun di samudera luas kemudian menambatkan jangkar di pantai yang indah, saya cukup merasa senang saat pertama kali bisa settle di Bandung. Saya mengagumi setiap lekuk dari kota ini, memuja sifatnya yang sejuk sekaligus hangat, ramai sekaligus sunyi.

Tapi, hubungan saya dengan kota ini tidak melulu soal cinta. Latar belakang pendidikan dan pengalaman saya di sini mengajarkan saya untuk tidak mudah percaya dengan rayuan gombal yang disebut “keindahan kota”. Di balik kemulusannya, Bandung selalu menyimpan — seperti kata Nayaka Anggercerita luka, yang saya pernah rasakan juga bersama sang penderitanya, dan itu semua lebih dari sekadar kesal karena macet, gondok karena kurangnya lahan parkir, atau kecewa karena sering hujan.

Baik dari roman dan tragedinya, saya telah terikat dengan Bandung. Kota Kembang ini, bersama dengan saya, menyimpan memori manis, pengalaman memalukan, dan ingatan pertempuran (literally).

Namun, apa ini semua hanya tentang “saya”? Apakah kalian juga merasakan hal yang sama? Apakah orang Jakarta atau Medan juga punya hubungan yang sama dengan kotanya?

Bukan Cuma Urusan Pribadi

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terdapat sebuah konsep yang bisa ditelaah, yakni place attachment atau keterikatan dengan tempat. “Tempat” disini harus dipahami sebagai sebuah hal yang bertingkat, bisa merupakan rumah, lingkungan, dan bahkan kota (Kasarda dan Janowitz, 1974). “Keterikatan” yang dimaksud juga harus bisa dipahami dari tiga dimensi yang berbeda, yakni manusia (person), tempat (place), dan proses (process) (Scanell dan Gifford, 2009).

Sumber: Scanell dan Gifford, 2009

Dengan bicara soal “saya” atau “aku” dalam konteks kota, maka kita berurusan dengan bagaimana hubungan personal yang dimiliki seseorang dengan kota tersebut, bisa dalam bentuk pengalaman, realisasi, atau pencapaian tertentu. Contohnya, kalau kita ingin menilai bagaimana keterikatan seorang calon walikota dengan kotanya, maka lihatlah ketiga hal tersebut dari dirinya.

Sedangkan saat bicara “kita” atau “kami”, maka yang dimaksud dengan place attachment adalah arti simbolis dari sebuah tempat (atau kota) yang dimaknai bersama-sama (anggota kelompok). Salah satu bentuk dalam mewujudkan keterikatan itu adalah dengan mempraktikkan dan menjaga budaya bersama-sama. Konsekuensinya, nilai-nilai historis, ajaran agama, dan bentuk pengalaman kolektif lainnya membuat bentuk pemaknaan dan keterikatan dalam suatu tempat menjadi berbeda-beda, yang mana bentuk-bentuk tersebut juga berusaha diturunkan ke generasi berikutnya.

Ambil contoh Kota Jakarta dalam penelitian Evers (2011), yang menyimpulkan bahwa dengan berbagai implementasi kebijakan desentralisasi administratif dan fiskal, pemerintah Indonesia telah merubah Jakarta dari simbol persatuan nasional menjadi ibukota negara demokratis semata. Investasi asing, kantor-kantor perusahaan multinasional, dan juga struktur ruang urban hasil perencanaan kota modern menjadi dominasi makna simbolis dari Jakarta. Evers kemudian menyebut Jakarta sebagai “kota tanpa urbanisme”, dimana banyaknya monumen yang dibangun di perempatan dan titik-titik strategis, yang kemudian menciptakan “urbanisme virtual”.

Dari studi kasus tersebut, pertanyaannya kemudian, apakah konstruksi simbol oleh segelintir elit politik dan kaum burjois ini kemudian dimaknai bersama oleh warganya? Apakah praktik keseharian masyarakatnya mencerminkan keterikatan dengan kota secara kolektif?

Afeksi, Kognisi, dan Perilaku

Salah satu alasan saya kesal pada Bandung belakangan ini, adalah munculnya beberapa monumen absurd secara tiba-tiba. Cantik memang, tapi lagi-lagi, hal-hal semacam ini (atau juga peremajaan trotoar misalnya), membuat saya pribadi bingung saat di sudut kota lain masih terjadi konflik ruang, dihiasi baku hantam antar aparat dan warga, yang berujung pada penggusuran warga dari tempat penghidupannya.

Pembangunan monumen dan penggusuran, jika dipandang secara kasat mata, merupakan dua hal yang berbeda. Tapi, jika kita menelaah kasus Jakarta yang disebutkan di atas atau juga cerita Haussman yang mempercantik Kota Paris, maka ini adalah bentuk pengulangan sejarah. Berkedok “representasi budaya”, makna simbolik semacam ini berusaha dibangun oleh segelintir elit untuk menciptakan sebuah bentuk kota global.

Seperti yang disebut Ridwan Kamil mungkin, kalau orang Jakarta harusnya bisa berwisata dengan nyaman dan “buang-buang duit” di Bandung.

Poin tersebut membawa kita ke dimensi selanjutnya, yakni dimensi proses dalam place attachment. Dalam dimensi ini, keterikatan dengan tempat dapat dimaknai dari tiga hal, yakni afeksi, kognisi, dan perilaku. Afeksi mengacu pada ikatan emosional terhadap suatu tempat. Karena bermain dengan emosi, keterikatan semacam ini menjadi cukup abstrak untuk dilihat. Maka dari itu, beberapa literatur kemudian berusaha menunjukkan hal ini dalam kasus pemindahan masyarakat dari tempat tinggalnya (Fried, 1963), atau bisa kita sebut sebagai penggusuran.

Kita pasti pernah melihat bagaimana emosi yang diluapkan oleh ibu-ibu saat gerobak dagangannya diangkut oleh Satpol PP, atau juga amarah bapak-bapak saat rumahnya hendak diratakan. Penghuni kampung-kota di berbagai kota di Indonesia pastilah memiliki keterikatan sosial, yang tak jarang lebih kuat dibandingkan bentuk permukiman lain di kota. Seperti saat ini yang terjadi di Tamansari, Dago Elos, atau juga Kebon Jeruk di Kota Bandung, keberadaan rencana pembangunan (dadakan) yang membuat mereka harus minggat dari rumahnya tentunya menghancurkan struktur kekeluargaan dan pengaturan sosial yang telah dibangun sejak lama. Hal ini tentunya juga berujung pada rasa duka dan sedih yang dirasakan penduduknya, mengutip Fried (1963):

“…grief is not limited to the death of a loved one, but can emerge following the loss of important place.”

Tentunya, kita tidak merasakan hal yang benar-benar sama dengan mereka. Hal ini diakibatkan kuatnya kognisi kita terhadap suatu kota, seperti mungkin keterikatan saya dengan Bandung. Kognisi menjadi elemen yang penting dalam keterikatan dengan suatu tempat. Secara sederhana, kognisi atau pengartian melibatkan pembentukan dan pengikatan terhadap makna dari sebuah tempat. Proses ini dapat mencapai sebuah pendefinisian individu yang berakar dari pemakanaan tempat itu sendiri.

Contohnya, ketika saya memaknai Bandung sebagai kota kreatif, maka dari satu dan lain hal, saya juga bisa menjadi insan kreatif, yang mana bisa terdefinisi karena pemaknaan saya terhadap kota Bandung.

Dalam contoh lain, saat seorang walikota memahami kotanya (baik secara objektif maupun subjektif) sebagai kota pariwisata, maka ia akan memaknai dirinya sebagai insan yang peduli dengan pariwisata. Akhirnya pemaknaan tersebut juga dapat berujung pada implementasi kebijakan dan pembangunan yang relevan.

Implementasi tersebut, di sisi lain, merupakan salah satu bentuk keterikatan tempat dalam dimensi proses yang berbentuk perilaku. Maksudnya, keterikatannya dengan tempat ditunjukkan lewat perilaku tertentu. Secara umum, hal ini dapat ditunjukkan dalam dua hal, yakni menjaga kedekatan dengan suatu tempat dan merekonstruksi tempat tersebut (Scannel dan Gifford, 2009).

Maka dari itu, berbagai proses mempercantik kota (atau juga menggusur warga) merupakan perilaku yang menunjukkan keterikatan dengan kota. Mungkin, kehendak untuk menggusur datang dari kesadaran bahwa kotanya yang indah adalah kotanya yang tidak kumuh.

Tapi, apakah warga yang terikat dengan kampungnya menganggap rumahnya juga tidak layak huni? Apakah sebuah tempat harus dimaknai hanya dari fisiknya saja?

Tentang “Tempat” itu Sendiri

Dalam tulisan saya sebelumnya tentang pohon dan rizoma, terdapat perbedaan pemahaman tentang persepsi sebuah bentuk permukiman. Bentuk fisik dari suatu tempat pastinya membentuk persepsi tersebut secara dominan. Istilah “kumuh” merupakan label komparatif yang datang dari penginderaan kita terhadap kondisi yang berlawanan. Kita pasti akan sepakat kalau perumahan yang tertata dalam sebuah kompleks lebih rapih dan indah dibanding rumah-rumah di kampung.

Namun, terdapat hal-hal lain yang dapat mengubah pandangan tersebut. Maka dari itu, penting untuk memahami bahwa dimensi tempat dalam place attachment tidak melulu soal fisik, tetapi juga sosial. Sekelompok masyarakat terikat dengan sebuah tempat karena tempat tersebut memfasilitasi hubungan sosial dan identitas kelompok tersebut.

Dalam penelitian Rolalisasi et al (2013), masyarakat kampung-kota terbukti memiliki modal sosial yang lebih kuat, yang sebenarnya juga berasal dari keterbatasan lingkungan rumahnya, seperti gang yang sempit dan juga ruang publik yang terbatas. Fried (1963) juga menyimpulkan bahwa ikatan lingkungan yang kuat juga dapat terjadi memang karena tingginya tingkat interaksi interpersonal.

Jo Santoso (2012) pada akhirnya menyimpulkan bahwa kota-kota neoliberal selalu gagal dalam melihat keterikatan semacam itu. Elit-elit politik dan juga pihak privat memisahkan kampung dan kota, yang sebenarnya menjadi embryo dan percontohan dari jaringan sosial kota yang lebih baik.

Menimang Kembali Place Attachment dalam Konteks Kota

Berdasarkan ketiga dimensi tersebut, maka refleksi saya terhadap intimasi saya dan kota pun terekskalasi.

Pertama, bahwa keterikatan dengan kota pastinya unik bagi setiap individu. Namun, bukan berarti tidak terdapat makna yang dapat dipegang bersama. Keterikatan kolektif harus disadari sebagai sebuah cita-cita yang harus dikejar dalam usaha mewujudkan hak atas kota. Namun, sebelum sampai ke sana, haruslah ditemukan terlebih dahulu common ground yang dapat memersatukan warga kota, memaknai “kami adalah kota”, kemudian mempraktikannya dalam keseharian. Segala bentuk resistensi terhadap pembangunan kota pada akhirnya harus memperhatikan tingkat keterikatan dengan tempat secara kolektif.

Kedua, jika keterikatan kolektif dapat dipraktikkan dan dipandang sebagai sebuah bentuk kolaborasi, maka sifat natural dari keterikatan dengan kota sebenarnya adalah sebuah kompetisi. Perilaku yang ditunjukkan dalam pembangunan kota bukanlah produk dari keterikatan terhadap kota secara kolektif, melainkan kehendak individu (atau sekolompok individu) yang mengakar dari pemaknaan pribadi. Dengan menyadari hal ini, maka sebenarnya pembangunan sebuah kota dapat dipahami sebagai medan perang rekonstruksi yang seringkali tidak melibatkan masyarakat luas, atau bahkan memandang keterikatan tempat dari masyarakat itu sendiri.

Kalau memang mau membuat warganya bahagia, saya rasa pembangunan infrastuktur monumental ataupun ruang-ruang publik bukanlah caranya. Ikatan emosional dengan kota bukanlah hal yang pantas untuk direkayasa, tanpa adanya proses refleksi terhadap pemaknaan kota itu sendiri secara kolektif. Karena pada akhirnya, manusia dan kotanya akan saling memberi makna, alih-alih merekayasa kota itu untuk mencapai manusia yang bahagia.

Dan memang, Bandung bagiku bukan masalah geografis, tapi lebih dari itu, melibatkan aku-aku lain yang tidak egois.

Referensi

Kasarda, J.D., dan Janowitz, M. (1974). Community attachment in mass society. American Sociological Review, 39, 328–339.

Scannel, L., dan Gifford, R. (2009). Defining place attachment: a tripartite organizing framework. Journal of Environmental Psychology, 30, 1–10.

Evers, Hans-Dieter. (2011). Urban Symbolism and the New Urbanism of Indonesia. Pp. 287–96 in Cities Full of Symbols. A Theory of Urban Space and Culture., edited by Peter J.M. Nas. Leiden: Leiden University Press.

Fried, M. (1963). Grieving for a lost home. The urban condition: people and policy in the metropolis (pp. 124–152). New York: Simon dan Schuster.

Rolalisasi, A., Santosa, H., Soemarno, I. (2013). Social capital of urban settlement. Psychology and Behavioral Sciences, 2, 83–88.

Santoso, J. (2013). Memahami Transformasi Urban di Asia: Belajar dari Kasus Jakarta. Tata Loka Volume 15 Nomor 2, 102–115.

https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3788200/ini-fungsi-tugu-maung-bandung-yang-disebut-mirip-anjing-laut

http://regional.liputan6.com/read/3204223/ridwan-kamil-klaim-makin-banyak-orang-buang-duit-di-bandung

https://medium.com/kolektif-agora/koar-trotoar-di-kota-kembang-30a7d098fc11

https://medium.com/kolektif-agora/pohon-dan-rizoma-di-kota-kita-d8ee599b0ec0

--

--

Naufal R. Indriansyah
Kolektif Agora

Managing Editor at Kolektif Agora | Writing about (Indonesian) cities, urbanization, informality, politics, and everything in between