Editorial

Yang Patah Jauh, Yang Hilang Sembunyi

Muslihat Kota Menyembunyikan Luka

Nayaka Angger
Kolektif Agora

--

Dua puluh lima menit menuju pukul delapan pagi. Ingar-bingar Bandung sedang asyiknya bersenandung, jalan-jalan ditumpahi khalayak yang terlambat beraktivitas. Pak Ade tiba di depan kiosnya dan menurunkan kantung-kantung belanja dari bagasi mobil. Dalam keramaian yang syahdu, beliau bersama sang istri mulai mempersiapkan sajian ayam kolgo untuk kiosnya yang dalam beberapa jam akan dilauti manusia.

Tepi Jalan, di Balik Dinding

Pak Ade, bersama dengan dua-puluhan pedagang lainnya di pematang Jalan Dayang Sumbi, menyelamatkan ratusan mahasiswa dan pegawai di lingkungan kampus ITB dari kelaparan — untuk kenyang tanpa pailit. Hidangan rumahan, harga murah meriah, basa-basi kembalian, alas tanah dan bangku kayu lembab; semua kesederhanaan itu senantiasa hadir lima meter dari dinding kampus.

Tapi, itu dua tahun yang lalu.

Sebagian besar dari mereka kini menetap di tepi Jalan Tamansari dengan lokasi yang permanen berias pondokan nan apik dan fasilitas “memadai”. Dengan sedikit bantuan dan perjuangan yang keras kepala, PKL Dayang Sumbi berhasil dipindahkan dengan cukup layak. Sayangnya, mereka hanyalah satu dari segelintir kecil kelompok PKL yang beruntung mengalami relokasi. Sebab, sebagaimana setiap hal di dunia, tak semuanya dapat diselamatkan.

Sebagai bagian dari informalitas kota — bersama dengan kampung kota, prostitusi, bahkan ojek online — PKL menjadi rentan untuk ditiadakan. Rasionalitas kuasa kota menarasikan bahwa mereka adalah hal-hal yang tidak dikehendaki ada, hal-hal yang seharusnya tidak bertumbuhan di kota. PKL lain yang tidak seberuntung kelompok Dayang Sumbi harus dipaksa pergi atas nama ketertiban, begitu pula dengan permukiman kumuh, tuna wisma dan gelandangan, pengamen jalanan, serta “bunga-bunga” liar lainnya.

“Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh.”

— Widji Thukul, 1987

Kota, Dunia, dan Kontes Kecantikan

Dalam diskursus pembangunan, globalisasi telah memungkinkan kota-kota di dunia saling terhubung satu sama lain. Betul bahwa terdapat manfaat yang besar dari keberadaan fenomena tersebut, tetapi dampak negatif yang dihasilkan juga tak kalah penting untuk dibicarakan.

Mari analogikan dengan aplikasi pesan instan dan media sosial di gawai pintar. Instrumen tersebut dapat memudahkan kita mengetahui kabar orang lain di seluruh belahan dunia dengan cepat. Namun, terdapat dampak laten yang mengancam akibat ke-instan-an dan ke-sosial-an tersebut: penggunanya terus-menerus dituntut untuk tampil sempurna.

Setiap momen difoto dengan komposisi rupawan, tiap cuitan harus puitis dan melankolis, tiap cuplikan kegiatan harus nampak seru, tiap komentar dan percakapan sebisa mungkin amikal. Tidak boleh ada yang salah di media sosial — sekali aib tersebar, habis sudah.

Selain itu, “kesempurnaan” yang dipertontonkan di media sosial juga menjadi sebuah realitas semu baru. Realitas tersebut memaksa para pengamatnya percaya bahwa hiruk-pikuk di linimasa mereka adalah sebuah standar, sebuah panduan gaya hidup dan tuntunan berkegiatan. Maka, mulailah orang berlomba-lomba menjadi “sempurna”.

Hal yang sama dapat dikatakan terjadi pada kota-kota di seluruh dunia. Terpaparnya mereka dengan kota-kota impian seperti Stockholm, Tokyo, New York, Melbourne, atau Amsterdam, merayu para pemerintah kota untuk mengorientasikan arah pembangunannya pada kiblat-kiblat tersebut. Pergerakan modal yang cepat juga mendesak kota untuk selalu siap mengundang dan mendulang kapital. Itu berarti, kota harus selalu dalam keadaan ideal untuk ditanami investasi: bebas gonjang-ganjing politik, keadaan sosial dan ekonomi stabil, ceruk pasar tersedia, regulasi mendukung, serta lingkungan hidup berkualitas. Kota berlomba-lomba jadi cantik seperti kota-kota dunia, berlomba-lomba jadi indah supaya dunia berdatangan.

Kota jadi gandrung bersaing, bersandiwara satu sama lain.

Yang disembunyikan oleh ketinggian dan kemegahan (Foto: Sangkara Nararya, 2017)

Bunga dan Luka-luka Kota

Fenomena seperti itu memberikan ruang yang sangat sedikit untuk “ketidaksempurnaan” dalam kota. Tentu saja, informalitas kota adalah ketidaksempurnaan yang paling mudah untuk dikenali karena kontras fisiknya dengan lingkungan sekitar. Pola pikir yang demikian menjadikan PKL atau kampung kota sebagai “codet” yang dapat menurunkan persepsi warga kotanya, warga dunia, warganet, dan penanam modal terhadap kualitas kota tersebut. Bagi kuasa kota, mereka adalah luka yang merebak di seantero kota, yang seharusnya tidak nampak.

Namun, seperti luka pada umumnya, kadang lebih mudah untuk menyembunyikan ketimbang menyembuhkannya.

Pak Ade dan PKL di Dayang Sumbi adalah “luka-luka” yang berhasil disembuhkan. Namun, meninjau sekejap dari sumber daya dan political will kebanyakan pemerintah kota, tindakan paling efisien yang bisa diambil adalah dengan menyembunyikan luka-luka tersebut. Lebih mudah untuk menutupinya atau justru menyingkirkannya.

Mengusir lebih mudah dari merelokasi, menggusur lebih mudah dari menata, menciduk lebih mudah dari memberdayakan. Tindakan-tindakan tersebut menjadi dapat lebih dimengerti — bukan dibenarkan— jika ditilik dari skala kontestasi yang lebih besar.

Namun, ada-ada saja memang manusia kalau mencari jalan pintas. Ketimbang menyembunyikan, mengeksekusi dengan semena-mena, kuasa kota menemukan cara untuk menghilangkan luka tersebut dengan sumber daya yang lebih sedikit dan metode yang lebih “manusiawi”.

Distraksi.

Bintang dan Muslihat Citra

Tidak mengherankan jika kota akhirnya melakukan pencitraan, sebagaimana tokoh politik di Instagram atau penyanyi amatir di Youtube. Trotoar diperbaiki dan dibersihkan dari pedagang kaki lima, kampung kota disulap jadi taman, monumen-monumen diereksi dan kreativitas dipacu semu, jalan-jalan dipermulus, kemacetan diurai, warga disayang dan bule diundang. Jika dilihat secara sederhana, persaingan dan kontes kecantikan yang terjadi justru menjadi titik balik banyak kota dalam membenahi diri masing-masing. Yang baik adalah baik, tapi bukan berarti yang keluar dari definisi “baik” jadi tidak baik, yang keluar dari definisi cantik jadi luka.

Model Bintang Scott, 1987

Scott (1987) mengajukan gagasan mengenai citra kota dengan model bintang. Ia membagi citra berdasarkan rentangnya, dari miskin citra sampai yang kaya citra. Setiap garis melambangkan satu citra, ketebalannya melambangkan dominansi citra.

Citra kota pada dasarnya merupakan akumulasi dari pengetahuan, pengalaman, dan keterpaparan pengguna terhadap kota melalui orang, benda, peristiwa, maupun tempat. Citra dapat berupa karakter bersih, tidak aman, kreatif, pusat kerajinan, kampung halaman presiden, gunung berapi, lokasi proklamasi, atau banyak pemuda-pemudi.

Selain menggambarkan seberapa kaya citra sebuah kota, yang penting dalam model bintang ini adalah ikhtiarnya dalam membaca bagaimana manusia mempersepsikan kota dan bagaimana kota menipu manusia. Avraham (2008) menyatakan bahwa model ini memberikan jalan keluar untuk mengatasi tempat yang telah memiliki stereotip, yakni dengan menambah dimensi citra dari tempat tersebut.

“The more dimensions a place has, the less the audience will focus on its problematic aspects.”

— Avraham dan Ketter, 2008

Lihat Sini Saja

Teori yang baru saja disampaikan sama sekali bukan teori yang terkenal ataupun masih digunakan, namun dalam kesederhanaannya, ia menyampaikan dua pemahaman. Pertama, sebuah kota yang terlanjur memiliki citra negatif akan mengalami kesulitan untuk mengubah citranya. Kebaikan apa pun yang dilakukan akan mudah diabaikan karena terselimuti oleh citra negatifnya. Perlu usaha besar untuk mampu membentuk citra positif yang lebih kuat dari citra negatifnya. Hal yang sama berlaku sebaliknya pada kota dengan citra positif yang dominan.

Kedua, justru citra dapat digunakan untuk membuat orang melupakan citra-citra yang berkebalikan. Dalam konteks kota dengan citra positif yang dominan, khalayak pada umumnya akan terdistraksi dari citra-citra negatif yang dimilikinya. Lebih bahagia piknik di taman daripada jalan-jalan ke kampung kota, lebih sendu senda gurau di tepi jalan daripada makan bakso diselimuti kabut asap bus, lebih mudah memikirkan yang baik daripada mengkritisi yang buruk. Kurang piknik, katanya.

Toh, senyum yang menawan selalu mengalihkan pandang, kan?

Masalahnya, mereka yang dianggap “luka-luka” kota ini kadang sepenuhnya teralihkan dari peduli dunia. Kewargaan kota digeser fokusnya dari apa yang ada di sekeliling mereka. Pada akhirnya, luka-luka ini tidak pernah sembuh ataupun disembuhkan. Semua orang hanya sama-sama tahu bahwa ada yang tidak beres di kota ini, tapi tidak ada yang mau mengangkatnya ke alam sadar mereka. Terus saja didistraksi dengan hal-hal baru dan kegiatan-kegiatan asyik.

Bukannya salah untuk terus membenahi kota dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang di dalamnya, tapi jangan lupa bahwa kota bukan hanya untuk yang cantik. Jangan lupa dengan yang patah dan dijauhkan, dengan yang hilang dan disembunyikan — mereka juga berhak menjadi cantik kota.

Referensi

  • Kavaratzis, Michalis. 2004. “From city marketing to city branding: Towards a theoritical framework for developing city brands”. Place Branding, Vol. 1, 58–73, Henry Stewart.
  • Kavaratzis, Michalis, Warnaby, Gary dan Ashworth, Gregory (ed). 2015. “Rethinking
  • Place Branding: Comprehensive Brand Development for Cities and Regions”. Springer International.
  • Graham, Brian. 2002. “Heritage as Knowledge: Capital or Culture?” Urban Studies, Vol. 39, No. 5– 6, 1003–1017.
  • Hall, Tim dan Hubbard, Phil. 1996. “The entrepreneurial city: new urban politics, new urban geographies?”. Progress in Human Geography, Vol. 20 No. 2, 153–174.
  • Harvey, David. 1989. “From managerialism to entrepreneurialism: The transformation in urban governance in late capitalism”. Geogr. Ann, Vol. 71 No. 1, 3–17.
  • Kavaratzis, Mihalis dan Ashworth, G. J. 2004. “City Branding: An Effective Assertion of Identity or A Transitory Marketing Trick?”. Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, Vol. 96, No. 5, 506–514.
  • Syahbana, Boy, et al. 2014. Branding Tempat. Jakarta: Makna Informasi.
  • Vik, Jostein dan Villa, Mariann. 2010. “Books, Branding, and Boundary Objects: On the Use of Image in Rural Development”. Sociologia Ruralis, Vol. 50, No. 2, 156–170.

Nayaka Angger,
17 November 2017
nayaka.angger@gmail.com

--

--