Kenapa Scrum tidak akan berkembang di Indonesia

Konten tentang Scrum
Modern Management
Published in
10 min readSep 13, 2014

--

Bagi yang belum kenal dengan saya, pekerjaan saya adalah konsultan Scrum dan Professional Scrum Trainer dengan Scrum.org, sebuah organisasi internasional yang mengembangkan Scrum. Sebagai konsultan, saya membantu organisasi untuk fine-tuning proses software development mereka, dan tidak jarang saya harus membuat perubahan di dalam organisasi tersebut agar proses software developmentnya dapat lebih Agile lagi dengan menggunakan sebuah kerangka kerja bernama Scrum. Tidak jarang saya juga harus menghadapi konflik dengan manajemen di dalam perusahaan demi kebaikan organisasi yang mereka pimpin.

Scrum sendiri merupakan sebuah kerangka kerja sederhana untuk mengembangkan produk yang dikembangkan oleh Jeff Sutherland dan Ken Schwaber semenjak tahun 1995. Paparan mengenai Scrum dapat dibaca lebih lanjut disini. Scrum banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan software seperti Microsoft, Adobe, Salesforce.com, Google, Netflix, Spotify, dan masih banyak lagi. Scrum sendiri pernah dibahas di serial Silicon Valley karena banyak digunakan oleh startup companies.

Karena saya sering mengajar di Indonesia, selain di negara-negara Asia Pasifik lainnya, saya menemukan banyak keunikan mengenai orang Indonesia. Setiap kali saya mengajar di kelas di Indonesia atau berbincang-bincang dengan seseorang mengenai Scrum, selalu saja ada yang mengajukan pertanyaan:

Banyak tidak sih yang menggunakan Scrum di Indonesia?

Lewat artikel ini saya ingin mengatakan kalau pengguna Scrum di Indonesia tidak akan banyak selama masih banyak yang menanyakan pertanyaan diatas. Setelah hampir 5 tahun membantu organisasi-organisasi, mulai dari startup, small medium enterprise, large enterprise, sampai perusahaan multinational di Indonesia untuk mengadopsi Scrum, berikutlah uneg-uneg saya mengenai kenapa Scrum tidak akan berkembang pesat di Indonesia. Dalam artian walaupun ada segelintir orang atau perusahaan yang menggunakannya, namun Scrum atau Agile software development pada umumnya tidak akan menjadi sebuah standar dan tidak akan berkembang sebagaimana di negara-negara barat bahkan tidak akan berkembang pesat seperti di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Filipina.

1. Orang Indonesia selalu mencari pendahulu daripada menjadi pendahulu, mencari pembuktian daripada membuktikan sendiri

Ini adalah permasalahan utama dari permasalahan-permasalahan lainnya yang diulas di artikel ini. Bila kita menelaah pertanyaan “Banyak tidak sih yang menggunakan Scrum di Indonesia?”, sudah terlihat dengan jelas kalau ada keraguan di balik pertanyaan tersebut. Kalau sudah banyak yang menggunakan Scrum memangnya kenapa? Kalaupun belum banyak memangnya kenapa? Apakah akan ada bedanya? Apakah kamu akan tetap mencoba menggunakan Scrum bila sudah banyak yang menggunakan Scrum? Kenapa harus menunggu orang lain? Scrum sendiri sudah beredar selama 18 tahun lebih, pembuktian apa lagi yang perlu dicari? Kalaupun yang banyak sukses menggunakan Scrum adalah organisasi-organisasi dari negara barat memang apa bedanya dengan Indonesia? Kenapa tidak memulai dan menjadi pionir di Indonesia?

Namun begitulah orang Indonesia, hanya berani mencoba jika sudah banyak pengguna lainnya yang sukses terlebih dahulu daripada menjadi early adopters dan thought leaders. Menunggu daripada menjadi pendahulu. Terlalu lama ragu dan selalu mencari justifikasi daripada langsung memulai. Akhirnya dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari Indonesia masih sangat terbelakang karena selalu menunggu daripada melangkah maju mengambil resiko.

Kalaupun kita menjelaskan kepada mereka bahwa ada perusahaan X di Indonesia yang sudah lama menggunakan Scrum, mereka akan selalu membuat justifikasi bahwa perusahaan X ini memiliki advantage yang mereka tidak miliki daripada melihat adanya possibility kalau Scrum dapat juga diterapkan di organisasi mereka lewat pengalaman perusahaan X tersebut.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini karena sebagian besar adalah kesalahan sistem pendidikan di Indonesia yang berorientasi kepada sesuatu yang pasti dan kurangnya penekanan ke pengambilan resiko pada sesuatu yang tidak pasti.

2. Orang Indonesia lebih peduli dengan hasil, bukan proses

Di negara-negara maju pada umumnya, proses itu sangat penting karena selain proses menentukan hasil, juga karena biaya tenaga kerja yang sangat mahal. Bahkan proses dapat dihentikan hingga berhari-hari lamanya demi keluaran yang lebih baik di masa mendatang. Jadi di negara-negara industri maju untuk dapat mempercepat keluaran bukanlah dengan menambah tenaga kerja, namun dengan cara tweaking process dan otomatisasi. Karena tenaga kerja software developer di Indonesia tergolong relatif murah dibandingkan dengan negara-negara industri maju, maka solusi untuk mempercepat keluaran adalah dengan menambah jumlah tenaga kerja atau menyuruh tenaga kerja tersebut untuk kerja lembur hingga larut malam bukan dengan tweaking process supaya orang-orang tidak perlu lembur lagi di kemudian hari.

Orang Indonesia selalu berpedoman pada “yang penting selesai” (walaupun perlu lembur), sedangkan di negara maju “bagaimana menyelesaikannya” merupakan sesuatu yang lebih penting supaya lembur tidak menjadi kebiasaan. Orang Indonesia beranggapan bahwa investasi pada proses adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi organisasi mereka sehingga mereka lebih berorientasi pada hasil. Karena alasan tersebut kita akan sangat jarang sekali melihat seorang process hacker di industri software development di Indonesia.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini, karena sistem pendidikan Indonesia yang berorientasi pada nilai atau indeks prestasi saja. Padahal ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dikuantifikasi dengan angka seperti kreatifitas dan kolaborasi.

3. Orang Indonesia bekerja mengikuti arus, bukan melawan arus

Ketika seseorang membawa masuk proses Scrum ke dalam sebuah organisasi, orang-orang di dalamnya akan mengikuti arus. Namun ketika orang tersebut pergi maka Scrum juga akan ikut pergi bersama dengan pionir Scrum organisasi tersebut. Sehingga ketika ada pimpinan baru yang tidak mengenal Scrum, orang-orang lainnya akan mengikuti cara apapun yang dia kenalkan ke dalam organisasi daripada mengenalkan Scrum kepada pimpinan baru tersebut.

Di Indonesia, sangat memungkinkan mendapatkan orang baru masuk ke dalam organisasi merusak kultur Scrum yang sudah dibangun semenjak lama oleh orang-orang sebelum dia masuk. Di Indonesia, pengaruh buruk satu orang dapat melibas kebiasaan baik yang telah dibangun oleh sepuluh orang sekian lama. Orang Indonesia tidak suka menghadapi konflik dan cenderung mengikuti arus, walaupun arus tersebut tidak selalu bersifat positif. Tujuan utama orang Indonesia bekerja adalah uang bukan sesuatu yang ia percayai membawa kebaikan bagi lingkungan di sekitarnya. Asalkan ia bisa mendapatkan banyak uang walaupun dengan melakukan hal yang ia tidak percayai, ia akan tetap melakukan hal yang tidak ia percayai tersebut. Alasan ini yang membuat Scrum di Indonesia tidak akan pernah menjadi kultur organisasi yang persisten namun cuma sebuah jargon yang cuma numpang lewat dalam sebuah organisasi.

4. Orang Indonesia takut menghadapi kegagalan dan tidak memiliki budaya continuous learning

Ketika sebuah organisasi mendapatkan sebuah pelatihan mengenai Scrum, maka seluruh pihak di dalam organisasi akan menerapkan Scrum secara textbook apa adanya. Dan ketika mereka menemui masalah yang tidak pernah dijelaskan oleh pengajar pada saat pelatihan, mereka cenderung kembali ke kebudayaannya yang lama daripada membuka pikiran dan berkolaborasi dengan anggota tim lainnya untuk mencari jalan keluar dan improvement bersama-sama ataupun mencari seorang Scrum coach berpengalaman yang dapat membimbing mereka lebih lanjut ataupun bergabung dengan pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia.

Permasalahan ini berkaitan erat dengan masalah sebelumnya dimana orang Indonesia selalu menunggu daripada menjadi pendahulu, budaya untuk gagal masih dianggap tabu di Indonesia. Daripada gagal menjalankan Scrum sendiri, mereka mau melihat orang lain gagal terlebih dahulu. Tetapi kalaupun orang lain sukses dengan Scrum, hal tersebut tidak membuat ia langsung menggunakan Scrum juga. Continuous learning adalah sesuatu yang dianggap mahal di Indonesia. Kebanyakan orang di Indonesia cenderung berhenti belajar setelah masuk ke dunia kerja. Apalagi bila jabatan orang tersebut semakin tinggi. Di Indonesia, belajar hanya dilakukan sebelum mendapatkan pekerjaan saja.

Masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang ini, sebagian besar adalah kesalahan dari metode pengajaran di Indonesia yang tidak menghargai sebuah kegagalan dan metode belajar yang terlalu bertumpu pada guru atau dosen daripada peserta belajar itu sendiri.

5. Orang Indonesia lebih suka disuapi daripada berpikir out-of-the-box

Di pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia akan selalu ada satu orang (kadang bisa lebih) yang menanyakan hal yang sangat dasar mengenai Scrum, namun sebulan kemudian orang tersebut tidak akan datang lagi ke pertemuan bulanan komunitas Scrum Indonesia. Menanyakan hal dasar mengenai Scrum bukanlah permasalahan utamanya, namun tidak datang kembali di bulan berikutnya untuk selalu belajar dari pengguna Scrum lainnya di Indonesia adalah permasalahan utamanya.

Ketika ia mengetahui kalau Scrum begitu sederhana maka ia langsung berkesimpulan kalau Scrum tidak dapat diterapkan di organisasi dia yang dia anggap begitu kompleks. Padahal yang membuat proses di dalam organisasinya kompleks adalah dia sendiri. Scrum dibuat sangat sederhana agar organisasi dapat berkolaborasi dan kreatif dalam menyederhanakan proses pengembangan software. Scrum dibuat begitu sederhana agar organisasi dapat berpetualang mengeksplorasi apalagi yang mungkin dapat di-improve di dalam organisasi.

Namun mental yang lebih suka melihat segala sesuatu apa adanya dan mental lebih suka disuapi membuat Scrum yang sangat menekankan kreatifitas sulit masuk ke benak pikiran orang Indonesia. Orang Indonesia lebih suka duduk di zona nyaman sedangkan berpikir out-of-the-box membuat mereka harus keluar dari kursi nyaman. Orang Indonesia lebih suka melihat buku pedoman manajemen proyek yang tebal hingga beratus-ratus halaman yang dapat memberi tahu mereka semua jalan keluar terhadap permasalahan yang mereka akan hadapi daripada berkolaborasi dan berpikir kreatif out-of-the-box. Orang Indonesia lebih suka sesuatu yang lebih kompleks karena kelihatan lebih ditel daripada yang sederhana karena kelihatan kacangan.

Lagi-lagi kita tidak dapat menyalahkan orang-orang ini, kesalahan dari metode pengajaran di bangku sekolah dan bangku kuliah yang bersifat satu arah dan menyuapi (top-down approach) daripada yang bersifat fostering collaboration and creativity (bottom-up approach) adalah faktor utama kenapa orang Indonesia lebih suka disuapi dan mengikuti apa yang dikatakan oleh guru atau dosen.

6. Orang Indonesia lebih menghargai jabatan, sesuatu yang semu, bukan keahlian dan excellence

Ketika Scrum lebih menghargai keahlian (skill) dan pemikiran-pemikiran yang memiliki terobosan daripada jabatan, banyak orang Indonesia yang merasa posisinya terancam dan tidak bisa melihat masa depannya di dalam organisasinya bila Scrum diterapkan . Padahal jenjang karir bisa dilihat secara professional selain fungsi dan hierarki dalam organisasi. Di banyak organisasi di Indonesia, banyak orang yang naik jabatan secara otomatis, modalnya cuma sabar dan betah saja.

Orang Indonesia selalu menghargai otoritas pusat seperti Technical Leader, Analyst atau Manajer Proyek. Seorang programmer dengan pengalaman 15 tahun akan tetap dianggap sebagai seorang “buruh penulis kode” selama dia tidak memiliki jabatan yang berhubungan dengan manajemen dalam hirarki organisasi. Bahkan seorang business analyst yang tidak mengerti pemrograman sama sekali posisinya masih dianggap lebih tinggi di dalam organisasi dibanding programmer tersebut. Demikian juga dengan seorang Tester yang seringkali dianggap tidak terlalu bernilai dibandingkan seorang programmer. Oleh karena pemikiran sempit itu banyak fresh-graduate Ilmu Komputer atau Teknik Informatika atau Sistem Informasi dari Indonesia mau langsung menjadi Analyst tanpa harus melalui proses menjadi programmer.

Organisasi yang menekankan posisi dan jabatan, akan selalu menggunakan posisi dan jabatan pada saat konflik terjadi. Organisasi yang memberi penekanan pada knowledge, akan menggunakan knowledge pada saat konflik terjadi.

Masalah ini juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada orang-orang tersebut karena hampir sebagian besar negara-negara bekas jajahan secara umum juga memiliki cara pandang yang sama mengenai posisi dan jabatan. Masyarakat Indonesia masih lebih menghargai sesuatu yang semu, seperti sekolah atau universitas favorit, bekerja di perusahaan asing, jabatan atau profesi tertentu, gelar pendidikan yang berderet banyak.

7. Orang Indonesia tidak berani melawan status-quo dan tidak terbuka terhadap kritik

Karena alasan-alasan yang telah dijabarkan sebelumnya dimana orang Indonesia lebih mengikuti aturan dari otoritas yang ada di atasnya dan lebih menjadi pengikut daripada inovator, orang Indonesia menjadi tidak berani melawan status-quo. Orang Indonesia cenderung mengikuti arus di dalam organisasi daripada menantang status-quo. Hal ini dikarenakan ada pandangan kalau orang yang berada di atas selalu benar, selain tidak adanya keterbukaan dari para pemimpin untuk mendapatkan masukan dari orang-orang yang ia pimpin.

Cara pandang ini sangat berbeda dengan orang-orang di negara barat seperti Australia ataupun Swedia yang justru beranggapan apabila bawahan berani membentak atasannya untuk memperbaiki proses yang ada, berarti mereka sangat peduli dengan kemajuan perusahaan dan hal tersebut justru sangat dianjurkan. Atasan tidak merasa terancam bila dibentak bawahan untuk kemajuan perusahaan. Di negara-negara tersebut ada pemahaman bersama bahwa bawahan bisa benar dan atasan tidak selalu benar. Atasan berfungsi untuk meningkatkan potensi bawahan, bukan untuk mengambil keuntungan dari bawahannya. Namun di Indonesia seorang atasan yang dibentak oleh bawahannya merupakan sesuatu yang tidak sopan dan pimpinan akan menganggap dirinya terlihat bodoh di depan banyak pihak bila hal tersebut terjadi.

8. Orang Indonesia selalu membandingkan Scrum dengan metodologi manajemen proyek tradisional

Orang Indonesia masih kesulitan melihat dari sudut pandang produk yang dapat meningkatkan revenue perusahaan dan selalu melihat dari sudut pandang proyek yang memiliki batasan budget. Tidak peduli berapa kali kami selalu mengatakan kalau Scrum hanyalah sebuah kerangka kerja untuk mengembangkan produk, orang Indonesia akan selalu kembali melihatnya dari sudut pandang manajemen proyek. Sepertinya ada pegas di dalam pikiran mereka yang selalu mengembalikan cara berpikirnya dengan sekejap setelah diajari Scrum oleh kami.

Bagi orang Indonesia hidup bagaikan proyek-proyek yang harus ada tanggal akhirnya, sehingga merubah pola pikir menjadi berorientasi pada produk sangatlah sulit (bila tidak mustahil). Orang Indonesia lebih suka menghabiskan banyak waktu untuk melakukan pemetaan Scrum ke metodologi manajemen proyek yang sudah mereka ketahui saat ini daripada unlearn apapun yang mereka sudah ketahui dan memulai Scrum di organisasinya. Unlearning apapun yang mereka sudah ketahui adalah sebuah kerugian, oleh karena itu mereka akan lebih memilih bekerja sekeras tenaga menyesuaikan Scrum ke apapun yang sudah ada di organisasi mereka daripada menyesuaikan kultur kerja mereka saat ini ke kerangka kerja Scrum.

Melihat permasalahan-permasalahan di atas yang begitu kompleks dan saling berkaitan satu sama lain saya berpendapat kalau Scrum sulit untuk maju dan berkembang dengan cepat di Indonesia. Penggunaan Scrum di Indonesia akan selalu berada di tingkatan dasar, datar dari waktu ke waktu dan tidak akan lebih maju lagi dari itu. Penggunaannya di organisasi tersebut pun hanya akan bersifat sementara saja, tergantung berapa lama orang yang membawa Scrum ke organisasi tersebut bertahan di dalam organisasi. Level pemikiran orang Indonesia mengenai Scrum akan selalu sampai di mekanik saja dan tidak akan pernah lebih dalam mencapai hingga nilai dan prinsip di balik mekanik tersebut. Kita tidak akan pernah melihat inovasi dalam penggunaan Scrum dari organisasi-organisasi di Indonesia sebagaimana dengan di negara-negara lainnya. Indonesia hanya akan menjadi pengikut dan bukan inovator dalam penggunaan proses Scrum.

Apapun yang sudah kami lakukan untuk membantu organisasi-organisasi di Indonesia dalam mengadopsi Scrum baik itu lewat komunitas ataupun professional work, tidak akan membawa banyak perubahan selama mental dan cara berpikir ini masih tertanam dalam benak pikiran orang Indonesia.

Mungkin cara berpikir, doktrin dan dogma yang sudah terbangun selama bertahun-tahun dan melekat di benak pikiran orang Indonesia harus di-reset atau di-format terlebih dahulu untuk dapat membawa Scrum lebih maju dan berkembang lebih cepat lagi. Tetapi rasanya hal tersebut terlalu mustahil.

Jangan lupa beli buku “Manajemen Modern dengan Scrum” untuk gambaran lebih menyeluruh mengenai manajemen modern dengan Scrum. Buku ini berisi cara berpikir modern dalam software development. Buku dapat dipesan lewat websitenya.

Harga Buku: Rp. 65,000,-/buku (belum termasuk ongkos kirim)
Ukuran/Halaman : 17,5 x 24,5 ⁄ 200 halaman
ISBN : 978–979–29–5357–2

Jangan lupa belikan untuk manajernya dan kostumernya juga. Seluruh royalti penulis (Rp. 6,500,-/buku) akan disumbangkan untuk kegiatan mengajar coding anak-anak dari kalangan tidak mampu.

--

--

Konten tentang Scrum
Modern Management

Bukan hanya konten tentang Scrum, tapi disini kita akan ngobrolin Scrum yang efektif agar kostumer happy dan para pegawai juga happy dan menghasilkan cuan.