Sebuah pandangan baru untuk industri software development di Indonesia

Sebuah harapan baru di tahun yang baru

Konten tentang Scrum
Modern Management

--

Tahun 2015 merupakan tahun yang cukup berarti bagi saya karena di tahun ini saya mengeluarkan buku mengenai Scrum dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan harapan dari kedua orang penciptanya Ken Schwaber dan Jeff Sutherland yakni: to improve the profession of software development. Awalnya saya tidak memiliki rencana ataupun resolusi tahunan untuk menulis sebuah buku. Namun berawal dari sebuah uneg-uneg yang akan saya muat di blog menjadi terlalu panjang akhirnya saya memutuskan untuk menjadikannya sebuah buku.

Sebelum tahun 2015 banyak pandangan-pandangan yang salah mengenai Scrum yang beredar di komunitas software development di Indonesia. Oleh karena itu tujuan awal dari uneg-uneg yang akhirnya menjadi buku tersebut hanyalah agar komunitas software development di Indonesia memiliki perspektif yang sama ketika ingin memperdebatkan Scrum pada khususnya atau Agile software development pada umumnya. Ibaratnya ketika kedua orang ingin memperdebatkan apakah sebuah gelas adalah setengah kosong atau setengah terisi, sudut pandang kedua orang yang sedang berdebat harus disamakan terlebih dahulu karena kalau tidak perdebatannya tidak akan menghasilkan titik temu. Itulah yang saya perhatikan sebelum tahun 2015, praktisi-praktisi software development memiliki sekumpulan asumsi-asumsi mengenai Scrum yang tidak selaras dengan prinsip dan nilai Scrum yang dijabarkan di Scrum Guide. Dan yang lebih bahayanya lagi asumsi-asumsi ini mereka anggap sebuah fakta.

Namun setelah banyak berdiskusi dengan software developer di sekitar saya, mereka mengatakan kalau rintangan terbesar dalam mengadopsi cara kerja Scrum adalah manajer-manajer, pimpinan perusahaan dan kostumer-kostumer mereka. Berdasarkan masukan-masukan dari mereka buku ini secara khusus saya tulis ulang untuk manajer-manajer dan pimpinan perusahaan yang masih memiliki sudut pandang industrialisasi dalam mengelola software development. Harapan saya lewat buku ini adalah manajer-manajer dan pimpinan perusahaan memiliki sudut pandang yang lurus mengenai sifat software development dan software developer dapat mencapai kebutuhan tertingginya sebagai umat manusia — yakni beraktualisasi diri. Sejak tahun 2014 saya sudah menuliskan bahwa Scrum tidak akan diadopsi secara masif apalagi menjadi standar de-facto dalam mengembangkan software di Indonesia karena permasalahan fundamental dalam cara berpikir yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, oleh karena itu lewat buku ini saya hanya berharap manajemen software development di Indonesia menjadi sedikit lebih modern dibandingkan tahun-tahun sebelumnya saja.

Di akhir tahun 2015 ini saya ingin menuliskan hasil refleksi akhir tahun saya dari sebuah fenomena yang terjadi setelah beberapa orang memberikan buku ini kepada manajer-manajernya dan pimpinan perusahaan. Salah satu pembaca buku mengatakan kepada saya kalau manajernya menolak Scrum dengan mengatakan: “ Ya tidak bisa seperti itu dong, manajer proyek dan orang-orang yang senior seperti saya mau ditaruh dimana kalau Scrum benar-benar diimplementasikan di perusahaan ini?”. Pembicaraan Ia dengan manajer proyeknya sangat mengusik pikiran saya. Pembicaraan dia membuat saya berpikir kenapa orang masih sulit menerima Scrum walaupun hasil penemuan ilmiah yang merupakan fondasi pemikiran dari Scrum telah saya saya jabarkan dalam buku tersebut. Saya pun berdiskusi dengan mentor saya mengenai hal ini. Dan seperti biasa mentor saya cuma mengatakan hal yang cukup menyebalkan:

Untuk bisa memahami Scrum, engkau harus memperhatikan bagaimana alam semesta berfungsi secara seksama. Untuk bisa memahami kenapa banyak orang yang menolak dan tidak bisa memahami Scrum, engkau juga harus menyimak bagaimana alam semesta berfungsi secara seksama.

Sial! I didn’t sign up for this, ujar saya dalam hati. Saya bukan ahli biologi maupun pakar astronomi untuk bisa dapat memahami bagaimana alam semesta berfungsi. Apakah untuk bisa menjadi seorang Scrum Master saya juga harus memahami biologi dan astronomi? Untuk mempelajari sosiologi dan psikologi manusia saja sudah cukup rumit, sekarang ditambah lagi biologi dan astronomi?

Saya pun merasa tertantang. Saya pergi ke pantai dan duduk di pinggir pantai untuk mengamati alam semesta. Saya duduk di sana hingga malam hari untuk dapat memperhatikan bintang-bintang yang ada di tata surya. Hasilnya, nihil. Saya masih tidak mengerti hubungan Scrum dengan alam semesta dimana kita tinggal. Keesokan harinya saya pun pergi ke Kings Park, sebuah taman yang terletak di sebuah bukit, untuk memperhatikan bagaimana alam semesta berfungsi. Kali ini saya pun memperhatikan dengan lebih seksama bagaimana alam semesta berfungsi, seperti saran dari mentor saya. Hasilnya tetap nihil. Saya masih belum mengerti apa hubungan alam semesta dengan Scrum.

Dua hari setelah itu istri saya mengajak saya untuk menonton film yang sedang ramai dibicarakan orang-orang: Star Wars, The Force Awakens. Pada saat menonton film ini saya mendapatkan ‘Aha moment’. Akhirnya saya mengerti apa yang ingin disampaikan oleh mentor saya.

The universe is a big mess. Alam semesta bekerja lewat cara yang kita tidak dapat pahami. Kita cuma dapat memahami cara kerja alam semesta ini secara gambaran umum saja. Alam semesta tidak berfungsi secara linier, alam semesta berevolusi dari waktu ke waktu. Alam semesta tidak berfungsi secara prediktif dalam sebuah ekuilibrium yang matematis. Segala usaha yang dilakukan manusia untuk membuat alam semesta bekerja secara linier hanya akan berakhir pada hasil yang bersifat sementara, itupun kalau memungkinkan. Fenomena alam dan bencana alam yang terjadi dalam alam semesta tidak bisa kita prediksi bahkan lewat data-data empiris sekalipun. Pesawat terbang dapat mengalami kecelakaan tanpa direncanakan sebelumnya. Pasar ekonomi dapat bergejolak tanpa dapat kita prediksi sebelumnya. Perusahaan dapat bangkrut tanpa direncanakan sebelumnya. Alam semesta dan segala isinya berevolusi dari waktu ke waktu secara self-organising. Inilah yang membuat alam semesta kita begitu menarik dan begitu indah.

Dalam alam semesta terdapat komponen-komponen. Sebuah bangsa adalah salah satu komponen tersebut dimana di dalamnya terdapat kota-kota, dimana dalamnya perusahaan-perusahaan, dimana di dalamnya terdapat departemen-departemen, dimana di dalamnya terdapat tim-tim, dimana di dalamnya terdapat individu-individu. Setiap bangsa memililiki keragaman, demikian juga perusahaan-perusahaan yang ada di dalamnya. Individu manusia sebagai komponen dalam alam semesta pun self-organising, mempelajari apa yang ingin mereka pelajari, masuk Universitas yang mereka inginkan, mencari pekerjaan idaman (atau membuat perusahaan idaman), bahkan mereka pun self-organising untuk keluar dari tempat kerja mereka sekarang. Alam semesta berevolusi untuk menghasilkan keragaman dan ketidak-seragaman. Bisa bayangkan bila alam semesta berevolusi secara linier? Alam semesta menjadi tempat yang membosankan. Scrum adalah sebuah cara mengelola perusahaan, cara kerja, cara berpikir yang selaras dengan bagaimana alam semesta berfungsi.

“Common sense is seeing things as they are; and doing things as they ought to be.”
― Harriet Beecher Stowe

Akhirnya saya mengerti bahwa tidak ada yang aneh dengan Scrum karena ternyata Scrum cuma mengobservasi dan mendokumentasikan bagaimana alam semesta berfungsi daripada membuat sebuah konsep baru yang didasari oleh asumsi-asumsi. Tugas manajer-manajer dalam Scrum, dalam hal ini Product Owner adalah untuk memaksimalkan keluaran dari komponen yang self-organising tersebut dan Scrum Master adalah untuk menyimak bagaimana organisasi self-organising dan menstimulasi agar komponen-komponen yang ada di dalamnya dapat self-organising secara optimal. Sebuah pekerjaan yang cukup menantang daripada yang me-manage manusia sebagaimana yang dilakukan oleh manajer tradisional.

“Common sense is the most widely shared commodity in the world, for every man is convinced that he is well supplied with it.”
René Descartes

Namun bagian kedua dari pernyataan mentor saya masih belum masuk dalam akal pikiran sehat saya. Kalau memang iya Scrum cuma berdasarkan common sense, kenapa masih banyak manajer yang belum mengerti Scrum? Apakah mereka tidak menggunakan common sense-nya? Atau mungkin seperti yang dikatakan Descartes, salah satu filsuf tersohor, manajer-manajer ini sudah sangat yakin kalau mereka sudah menggunakan common sense padahal mungkin mereka menggunakan uncommon sense.

Saya pun mengobservasi kembali individu-individu yang merupakan komponen dalam alam semesta, sesuai anjuran mentor saya. Saya menghubungkan pembicaraan yang dialami oleh salah satu pembaca buku saya dengan manajernya dan pengalaman-pengalaman saya dengan manajer-manajer yang menolak Scrum dan yang merubah Scrum menggunakan pemahaman mereka sendiri. Kenapa mereka bisa menolak Scrum yang begitu sederhana dan bersifat selaras dengan cara kerja alam semesta?

Dari hasil renungan itu akhirnya saya menemukan paradigma yang melandasi manajer-manajer menghasilkan sebuah tindakan, termasuk keputusan untuk menolak Scrum ataupun merubah Scrum sesuai persepsi dan pengalaman mereka sendiri. Lalu dari mana datangnya paradigma ini? Paradigma tentunya tidak turun dari langit begitu saja, karena kalau iya setiap orang di alam semesta ini akan memiliki paradigma yang sama. Paradigma berasal dari hasil kesimpulan dari kumpulan pengalaman dicampur dengan bumbu-bumbu nilai dan prinsip hidup seseorang. Nilai dan prinsip hidup bisa didapatkan dari pengalaman pribadi seseorang, teori yang ia dapatkan dari kuliah, agama, kearifan lokal, kebudayaan yang ia anut ataupun ajaran-ajaran orang tua dan lingkungan sekitar. Manajer yang memiliki prinsip kalau manusia hanyalah “sumber daya” akan memperlakukan manusia selayaknya “sumber daya” yang digerakkan seperti bidak-bidak catur. Saya sendiri memiliki prinsip kalau Software Engineer bukanlah sebuah peran yang lebih rendah dan kurang prestisius dibandingkan Analis Bisnis ataupun Manajer Proyek, mereka layak untuk dipandang dan tidak diperlakukan seperti kuli bangunan atau buruh pabrik.

Manajer akan menggunakan pengalaman dia pribadi dalam mengelola perusahaan. Kalau ia belum memiliki pengalaman dalam mengelola perusahaan, maka ia akan menggunakan pengalaman orang lain. Kalau pengalaman orang lain ini dia anggap selaras dengan nilai dan prinsip hidupnya, maka manajer ini akan beranggapan kalau ini adalah cara yang benar dalam mengelola perusahaan. Oleh karena itu banyak pimpinan perusahaan yang mengatakan kepada sub-ordinatnya: “Saya dulu memimpin perusahaan tembakau dengan cara top-down, tidak perlu embel-embel Scrum dan sukses juga tuh”. Demikian juga dengan manajer proyek yang proyeknya mengalami kegagalan akan secara dogmatis semakin menghabiskan lebih banyak waktu untuk requirements analysis dan memastikan tidak ada scope creep di proyek berikutnya. Mereka lebih memilih untuk menyangkal realita kalau di dalam alam semesta perubahan itu tidak bisa dielakkan dan menyalahkan kostumernya daripada berdansa dengan ketidak-pastian.

Meg Whitman, yang pada saat tulisan ini ditulis merupakan CEO dari Hewlett Packard, memimpin HP dengan cara yang sama seperti ia dahulu membawa eBay bertumbuh menjadi besar. Namun pada Mei 2013, Bloomberg menyebut beliau sebagai “The Most Underachieving CEO”. Paradigma dalam mengelola perusahaan yang begitu mengakar seolah-olah cara tersebut adalah satu-satunya cara yang benar untuk mengelola perusahaan dinamakan sebuah dogma. Dogmalah yang menyebabkan banyak manajer dan pimpinan perusahaan di Indonesia begitu otoriter karena pikirannya tidak terbuka untuk menerima ide lain. Dia menganggap cara dialah cara yang paling benar. Dogmalah yang bahkan membuat mereka merasa malu untuk mau mendengarkan dari sub-ordinatnya. Manajer dan pimpinan perusahaan yang dogmatis berpikir kalau bumi itu datar dan alam semesta berevolusi secara linier dari waktu ke waktu, oleh karena itu ia akan beranggapan apa yang berhasil ia lakukan di abad 20 akan berhasil lagi diterapkan di abad 21. Manajer dan pimpinan perusahaan ini tidak menyadari kalau alam semesta bergerak lebih cepat di abad 21. Mereka tidak memiliki kerendahan hati untuk mengakui kalau alam semesta terus bervolusi menjadi semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi. Paradigma adalah sesuatu yang sulit untuk dirubah, apalagi bila paradigma sudah menjadi dogma.

Saya pun tergolong orang yang dogmatis. Saya dogmatis terhadap peningkatan kualitas hidup software developer. Saya percaya kalau software developer berhak untuk hidup bahagia dan beraktualisasi diri sama seperti orang-orang yang berkecimpung di profesi lainnya. Saya memandang Scrum adalah sebuah kendaraan yang dapat menghantarkan sebuah organisasi ke peningkatan kualitas hidup software developer. Manajemen tradisional dari jaman industrialisasi berorientasi pada proses dan pemaksimalan laba semata. Bahkan manusia pun dianggap sebagai “sumber daya”. Kalau ada cara kerja lain yang lebih berorientasi kepada peningkatan kualitas hidup manusia daripada Scrum, saya pun terbuka untuk diajar dan mempelajarinya.

Sebuah teori bersifat benar sampai seseorang menyatakan kalau teori tersebut tidak benar atau tidak relevan lagi. Teori yang didapatkan seseorang akan membentuk sebuah perilaku yang akan menentukan pengalaman yang ia akan alami. Bila seseorang mendapatkan teori dari dosennya sewaktu dia kuliah bahwa Scrum atau Agile software development pada umumnya adalah cowboy coding yang tidak memikirkan arsitektur dan tidak memiliki arahan yang jelas karena terlalu sering berubah (walaupun hal tersebut tidaklah benar) maka orang yang menerima teori tersebut akan merekam informasi tersebut di dalam alam sadarnya bahwa Scrum bukanlah cara yang baik dalam mengembangkan software apalagi untuk mengelola perusahaan. Beberapa praktisi software development yang memiliki latar belakang dari Teknik Industri yang saya kenal memandang software developer seperti buruh pabrik karena demikianlah teori yang ia dapatkan sewaktu ia kuliah yang secara tidak langsung membentuk cara pandang mereka kalau sistem kerja pabrik bisa diaplikasikan di software development. Manajer Proyek yang mendapatkan teori bahwa Project Management Body of Knowledge (PMBoK) adalah satu-satunya cara untuk mengelola proyek akan melakukan teori-teori yang ada di dalam PMBoK, bahkan pandangan kalau manusia adalah “sumber daya” sama dengan sumber daya lainnya seperti mesin fotokopi, gedung ataupun kendaraan kantor.

… we don’t talk about what we see; we see only what we can talk about. Our perspectives on the world depend on the interaction of our nervous system and our language — both act as filters through which we perceive our world …
— Fred Kofman

Teori didapatkan dari hasil pengamatan seseorang. Manajemen tradisional merupakan hasil pengamatan buruh pabrik bekerja di era industrialisasi dan Scrum sendiri merupakan hasil pengamatan creative worker bekerja mengembangkan produk kreatif. Yang menarik dari semua ini adalah di bawah alam bawah sadar manusia akan memilih teori mana yang mau ia anut dan apa yang dia mau observasi menggunakan paradigma atau dogma yang ia miliki. Cara manusia membuat keputusan seperti sebuah lingkaran. Walaupun sudah banyak pakar Scrum yang menulis artikel bahwa Scrum bukanlah mini-waterfall yang dilakukan secara berulang-ulang, manajer proyek akan menggunakan paradigma yang dia miliki dalam memandang Scrum ataupun Agile software development pada umumnya. Bahkan banyak trainer di Indonesia yang mengajarkan Scrum sebagai metodologi manajemen proyek dengan terminologi yang lebih keren dibandingkan metodologi manajemen proyek tradisional. Walaupun dia sudah menggunakan bahasa baru namun paradigma dia belum berubah, cara dia melihat dan menjelaskan Scrum masih menggunakan paradigma lama. Paradigma dan dogma yang ia miliki dapat berubah lewat sebuah pengalaman nyata. Sama seperti saya yang mendapatkan teori manajemen tradisional selama kuliah dan mengalami sebuah pengalaman yang tidak baik dengan manajemen tradisional di pekerjaan pertama. Dan di pengalaman kerja kedua saya mengalami sebuah pengalaman yang begitu indah dengan Scrum di tempat kerja baru, dimana manusia dapat self-organising menjadi dirinya sendiri, tidak ada otoritas terpusat dari seorang manajer proyek, tidak ada judgment dalam bentuk Key Performance Indicator (KPI). Demikian juga sebaliknya, saya sering bertemu dengan software developer pernah memiliki pengalaman buruk dengan Scrum paradigmanya berubah ketika saya memberi pendampingan (coaching) di perusahaan dimana dia berada.

Satu gambar dapat menjadikan seribu kata menjadi lebih sederhana. Secara kasar semua yang saya jabarkan di atas tadi digambarkan seperti gambar di bawah ini.

Ada banyak yang dapat kita pelajari dari alam semesta. Saya pun ingin mempelajari perilaku manajer-manajer dan pimpinan perusahaan yang masih belum bisa menerima Scrum ini lebih dalam lagi. Salah seorang peserta training saya pernah menceletuk, “mungkin bila semua software developer di Indonesia sepakat untuk sama-sama memberi tekanan kepada manajer-manajernya bahwa software developer hanya mau bekerja dengan cara kerja Scrum, sampai semua perusahaan di Indonesia tidak memiliki pilihan lagi kecuali menggunakan Scrum, baru kita bisa melihat perubahan di manajer-manajer ini.” Sebuah ide yang saya pikir menarik untuk dicoba walaupun saya tidak tahu tingkat keberhasilan dari ide ini. Untuk mengeksekusi ide tersebut, saya meminta bantuan rekan-rekan sekalian untuk menuliskan pengamatan kalian ketika manajer ataupun pimpinan membaca buku Manajemen Modern dengan Scrum. Tuliskan reaksi mereka setelah membaca buku Manajemen Modern dengan Scrum di blog kalian dan sebutkan Twitter handle saya berikut link blog entry kamu. Mungkin kita tidak dapat merubah manajer kita karena dogma yang sudah begitu mengakar, tetapi mungkin kita bisa merubah cara berpikir calon-calon manajer masa depan untuk belajar dari sikap-sikap manajer dan pimpinan perusahaan yang tidak memiliki pikiran terbuka lewat tulisan-tulisan kalian.

Selamat Tahun Baru 2016. Semoga di tahun-tahun berikutnya kita dapat membuat manajemen software development di Indonesia sedikit lebih modern dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Semoga di tahun-tahun berikutnya software developer tidak lagi dipandang rendah, software developer dapat kembali menjadi bahagia di tempat kerja, software developer dapat bersikap professional dan beraktualisasi diri sama seperti praktisi yang menggeluti profesi lainnya.

Untuk semua agen perubahan yang telah memberanikan diri untuk menantang status-quo di perusahaanmu, terima kasih karena telah turut membantu memodernisasikan manajemen software development di Indonesia, kalian telah mengusik cara pikir lama yang ada di perusahaan kalian. Jangan lupa untuk mengamati alam semesta, perhatikan rumput yang bergoyang, bintang-bintang di langit, burung-burung yang berkicau, orang-orang dalam sebuah kota berinteraksi, bahkan anak-anak yang sedang bermain dan bersiaplah untuk terheran dengan apa yang alam semesta dapat ajarkan kepada kita. Mungkin Scrum tidak begitu sulit untuk dipahami asalkan kita memiliki kerendahan-hati untuk diajar oleh alam semesta. Stay humble, stay foolish, stay a learner.

Jangan lupa beli buku “Manajemen Modern dengan Scrum” untuk gambaran lebih menyeluruh mengenai manajemen modern dengan Scrum. Buku ini berisi cara berpikir modern dalam software development.

Harga Buku: Rp. 65,000,-/buku (belum termasuk ongkos kirim)
Ukuran/Halaman : 17,5 x 24,5 ⁄ 200 halaman
ISBN : 978–979–29–5357–2

Jangan lupa belikan untuk manajernya dan kostumernya juga. Seluruh royalti penulis (Rp. 6,500,-/buku) akan disumbangkan untuk kegiatan mengajar coding anak-anak dari kalangan tidak mampu.

--

--

Konten tentang Scrum
Modern Management

Bukan hanya konten tentang Scrum, tapi disini kita akan ngobrolin Scrum yang efektif agar kostumer happy dan para pegawai juga happy dan menghasilkan cuan.