“Karpet Hijau” Kayu Aro

Menyesap teh kesukaan orang-orang Eropa, dan menjadi bagian dari keluarga para raja.

Firman Firdaus
Visual Herald
4 min readNov 4, 2023

--

Kerasnya perjalanan nonstop dari Bengkulu menuju Sungai Penuh lewat jalur Tapan memaksa kami menghabiskan sisa perjalanan hari kesepuluh dengan beristirahat. Pilihan kami adalah sebuah homestay dengan fitur panorama Gunung Kerinci di desa Kersik Tuo, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Sungai Penuh, Jambi.

Saat menuju Kersik Tuo dari Sungai Penuh, kami disuguhi hamparan kebun teh yang begitu luas di daerah Kayu Aro. Sejauh mata memandang, yang membatasi antara awan dan Bumi, ya, warna hijau kebun teh. Kebetulan, Teh Kayu Aro yang konon sudah terkenal seantero Eropa menjadi salah satu objek yang ingin kami eksplorasi.

“Kita datangi pabriknya esok pagi, sebelum mendaki Gunung Tujuh,” ujar Ilham, rekan satu tim. Semua sepakat—mungkin juga karena terlalu letih untuk berbeda pendapat.

Esoknya, pukul 7.00 pagi, saat dingin masih menusuk tulang, kami sudah bersiap dari penginapan di Kersik Tuo untuk menuju pabrik pengolahan teh Kayu Aro. Selama kurang lebih 20 menit perjalanan, kami pun tiba di lokasi.

Di area depan pabrik, kesibukan sudah terlihat. Para pekerja mengangkut karung-karung teh ke atas truk. Sementara deru suara mesin lamat-lamat terdengar dari arah dalam.

Kami disambut oleh tim manajemen, dan, tentu saja, secangkir teh Kayu Aro. Saya langsung mohon izin untuk mencicipi: ini teh hangat dengan kelat yang kuat. “Ratu Inggris pernah minum teh ini, lho!” ujar Sriwarno, Kepala Pabrik, dalam perbincangan santai sebelum kami melihat-lihat proses pembuatan dan pengemasan teh Kayu Aro.

Orang Eropa, dia menjelaskan, sangat suka dengan aroma teh Kayu Aro yang khas. “Pahit dan kelatnya tertinggal di lidah,” tambah Sriwarno sambil mempraktikkan soal kelat itu dengan tangan menunjuk mulutnya. Aroma dan kelat itu merupakan kombinasi hasil pengolahan yang cermat.

Pabrik yang didirikan pada 1928 itu setiap harinya mengolah 80–100 ton basah teh, dari luasan kebun 2.624,69 hektare. Kebun seluas itu melingkupi 29 desa di Kecamatan Kayu Aro, dan dibagi lagi menjadi 8 afdeling (luasan yang lebih kecil). Saat ini, sedikitnya ada 1.897 karyawan—termasuk pemetik, pegawai pabrik, kantor, dan rumah sakit—yang bekerja di perusahaan teh yang pada 1970-an dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara ini.

Zulkarnaini, asisten bagian pengolahan, kemudian menunjukkan tahap-tahap pengolahan teh di pabrik ini: mulai dari pelayuan, penggilingan, sampai pengemasan. Sebelum mulai diolah, teh hasil petikan pemetik mesti dilayukan untuk mengurangi kadar airnya. Setelah melalui beberapa tahap pelayuan, teh mulai digiling. “Proses penggilingan juga dilakukan bertahap, dan masing-masing tahap menentukan kualitas teh yang dihasilkan,” Zulkarnaini menuturkan.

Pabrik teh Kayu Aro memproduksi 13 jenis teh, dengan level kualitas (grade) berbeda. Hanya grade yang paling tinggilah yang diekspor ke luar negeri, seperti jenis broken orange pecco (BOP). Negara tujuan ekspor di antaranya Inggris, India, Belanda, dan Australia. “Teh kami juga banyak digunakan sebagai teh pencampur (blend) teh-teh yang populer di Indonesia, lho,” kata Zulkarnaini.

Bagian yang paling menarik perhatian saya adalah proses pengujian rasa. Di sini, ilmu pengetahuan seakan tidak berguna. Keputusan akan kualitas rasa benar-benar berada di mata, hidung, dan mulut sang penguji (tester).

Pertama, sang tester akan menilai bubuk teh secara visual; tekstur dan warna. Kemudian, teh dari masing-masing grade diseduh dalam cangkir berwarna putih, dibariskan, lalu dilihat lagi warnanya. Setelah itu masing-masing teh dihirup aromanya. “Yang harus dihindari adalah yang beraroma terlalu smokey (berasap),” ujar Syaridi, salah satu staf pengolahan.

Syaridi kemudian mencontohkan bagian akhirnya: menguji rasa. Dia menyendok teh, lalu…syeeerrpp, dengan cepat diisapnya, berpikir sebentar, kemudian dibuang kembali. “Mengisapnya mesti cepat dan sampai rahang, tapi jangan ditelan,” jelasnya.

Sebagai pencinta teh, saya merasa tertantang untuk menemukan rasa teh dengan kualitas paling tinggi. Hasilnya? Saya berhasil. “Selamat, Anda sudah menjadi bagian dari keluarga para raja, karena bisa membedakan mana teh yang mahal,” ujar Syaridi sambil tertawa.

--

--

Firman Firdaus
Visual Herald

Writer, photographer, editor, UI/UX and editorial designer. Former NatGeo-Indonesia editor. Currently managing products at Katadata.