Perjalanan Menantang Himalaya (Bagian 5: Tiba di Everest Base Camp)

Rizal Ramadhan
6 min readJan 12, 2019

--

Terima kasih untuk semua teman-teman yang masih membaca catatan perjalanan saya trekking ke Everest Base Camp bulan Januari 2018 lalu hingga bagian ini. Saya sebenarnya tak mengira, ada banyak pesan masuk dari teman-teman pembaca yang menanyakan banyak hal seputar catatan ini.

Oleh karenanya, saya memutuskan untuk meringkasnya hingga tuntas di bagian ini dan akan mulai membahas tentang hal-hal yang banyak ditanyakan seperti budget, perlengkapan, dan beberapa tips di tulisan selanjutnya.

Selamat membaca!

Ama Dablam: Anggun tapi tak mudah tunduk.

Jika Everest adalah gunung tertinggi sejagat, barangkali Ama Dablam adalah yang tercantik. Berdiri tegap dengan ketinggian 6.812 meter di atas permukaan laut, Ama Dablam mempunyai bentuk yang mirip dengan Gunung Matterhorn di Swiss. Tak jarang orang menjulukinya “Matterhorn of the Himalayas”. Namun cantik bukan berarti mudah ditaklukkan. Mendaki Ama Dablam nyatanya lebih sulit ketimbang Everest. Dibutuhkan ketrampilan mountaneering yang cukup kompleks, termasuk panjat tebing es.

Ama Dablam (6.812m)

Puas memandangi Ama Dablam selama hampir 6 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di Dingboche. Karena musim dingin, tak banyak aktivitas yang terlihat di desa ini. Beberapa lodge sudah tutup sejak bulan November. Amar mengatakan keadaannya akan berbeda jika kami datang di bulan Maret. Hampir semua lodge bisa terisi oleh trekker.

Terkena Gejala AMS: Zombie Walk!

Setelah bermalam dua hari di Dingboche, kami melanjutkan perjalanan menuju Lobuche. Perjalanan diawali dengan trek yang mudah. Di sisi kiri nampak desa Periche yang akan kami singgahi di perjalanan pulang. Desa ini terletak di kaki puncak-puncak salju lainnya, yakni Taboche, Cholatse, dan Lobuche Peak East.

Di sisi kanan, terlihat Nangkartshang Peak (5.083m) yang kami daki sehari sebelumnya untuk beraklimatisasi. Kami kurang beruntung karena salju tak turun. Jika salju turun, pemandangannya akan lebih spektakuler.

Pemandangan dari Nangkartshang Peak (5.083m)

Kami tiba di desa Thukla di tengah hari untuk beristirahat. Namun karena hanya terdapat dua lodge yang buka dan sudah terisi penuh oleh trekker lain, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, yang kemudian saya sesali.

Dari kiri ke kanan: Taboche (6.542m), Cholatse (6.440m), and Lobuche Peak East (6.119m).

Meninggalkan desa Thukla, saya dihadapkan dengan trek tanjakan yang berat. Tanjakan ini mungkin tak sepanjang yang saya lalui sebelum tiba di Namche Bazaar, tetapi ketinggian sudah punya peran “jahat”-nya di sini. Saya menghabiskan waktu hampir dua setengah jam melewati Thukla Pass (yang mana saya tidak bangga) dan masih harus berjalan beberapa jam lagi sebelum akhirnya tiba di Lobuche.

Cholatse (6.440m)

Saya berjalan dalam mode airplane — jika itu cocok menggambarkannya — dengan langkah mirip zombie alias sempoyongan. Nafas saya tersengal, perut yang lapar mengirim sinyal tak beraturan ke otak sampai saya berandai bibir kering ini adalah kerupuk siap santap.

Saya kira penderitaan ini berakhir ketika sampai di Lobuche. Nyatanya, gejala AMS kemudian datang menyerang. Nafsu makan tiba-tiba berkurang — nyaris habis, nafas semakin berat, dan yang paling mengganggu, sakit kepala di bagian belakang. Mas Deby, teman seperjuangan saya, juga merasakan hal yang sama.

Amar kemudian menyarankan kami untuk memesan semangkuk sup bawang, telur rebus, dan segelas teh lemon hangat. Mau tak mau, saya harus menyantapnya. Amar bahkan berkata jika kondisi saya tak membaik di esok pagi, tak ada pilihan lain selain putar balik menuju Dingboche.

Akhirnya, tiba di Everest Base Camp.

Setelah semalaman berjuang, tubuh saya berhasil mengusir gejala AMS di keesokan harinya. Lantaran harus berjalan dengan pelan, saya dan Mas Deby — ditemani Amar — harus berangkat lebih awal, yakni pukul 5 pagi. Meskipun belum sepenuhnya fit, saya sangat bersemangat. Hari ini akan teringat sampai kapanpun di benak saya. Hari ini adalah hari saya tiba di base camp gunung tertinggi di dunia, Everest.

Kami tiba di desa Gorakshep pada pukul setengah sepuluh pagi. Desa ini adalah desa terakhir di rute trekking sebelum akhirnya tiba di Everest Base Camp. Di sini semuanya serba mahal: harga makanan, kartu Wi-Fi, dan sewa lodge naik hampir dua kali lipat. Barangkali satu-satunya hal yang turun di Gorakshep hanya suhu udara. Untuk pertama kali dalam hidup, saya merasakan seperti apa rasanya menggigil di suhu -25 derajat Celcius.

Tahukah kamu: Di belakang saya (bawah) adalah Khumbu Glacier. Gletser tertinggi di dunia dengan ketinggian 4.900m.

Sambil menunggu yang lain tiba, saya iseng menulis greeting card untuk teman-teman terdekat di tanah air, kemudian memotretnya, lantas mengirim semuanya melalui Whatsapp. Meskipun hanya ditulis di atas sticky note, saya ingin mereka tahu bahwa perjalanan ini sangat berkesan bagi saya dan membagi perasaan tersebut dengan mereka.

Kartu ucapan dari Gorakshep untuk kawan-kawan terdekat.

Selesai bersantap siang, kami pun melanjutkan push terakhir menuju Everest Base Camp. Jalur menujunya tidak terlalu menyulitkan, tetapi harus tetap ekstra hati-hati karena licin dan angin bertiup cukup kencang di sini. Dari kejauhan, Everest Base Camp sebenarnya sudah terlihat.

Trek menuju EBC dari Gorakshep

Butuh waktu dua setengah jam untuk saya akhirnya tiba di Everest Base Camp. Melihat pemandangan yang surreal dari sini membuat saya seolah mati rasa.

Berjalan di atas Khumbu Glacier

Saya melompat-lompat kegirangan, melupakan sejenak sakit di sekujur tubuh, mengepalkan tangan ke atas langit tanda kemenangan atas pertarungan melawan diri sendiri. Saking senangnya, saya bahkan hampir lupa mengabadikan momen tersebut, namun beruntung masih sempat.

Beberapa highlights:
1. Perjalanan pulang dari Gorakshep menuju Lukla ditempuh dua hari.
2. Di Periche kami lebih memilih tidur di dekat perapian kotoran Yak daripada di kamar.
3. Lutut kiri saya berangsur pulih, tetapi jempol kedua kaki saya kebas sebulan lebih.
4. Saya memberikan down jacket, sleeping bag, dan sunglasses saya untuk Amar.
5. Amar mengajak kami makan malam di kamar kost-nya.
6. Menikmati batang rokok pertama di Kathmandu setelah dua bulan berhenti.

Terima kasih teman-teman EBC-ku! Sampai jumpa di petualangan selanjutnya.

Punya pertanyaan seputar pengalaman saya trekking ke Everest Base Camp? Boleh sekali kita bercakap via email. Semoga beruntung dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

--

--