Esai / Haluan

Senjang-Sanjung Digitalisasi

Mudarat Panjang Terputusnya Koneksi

Dinda Primazeira
Kolektif Agora

--

Foto oleh Ohmydearlife di Pixabay, 2019.

Terima kasih teknologi. Digitalisasi telah mempermudah dan mempermurah berbagai urusan sehari-hari. Bekerja, belajar, menonton film, bahkan sekadar membeli makan siang bisa dilakukan selama kita memiliki perangkat digital dan terhubung ke internet.

Bagi yang memiliki akses, berdiam di rumah pada masa pembatasan jarak fisik (physical distancing) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi lebih gampang. Meskipun terjadi pergeseran cara beraktivitas(dari tatap muka menjadi berbasis daring), aktivitas sehari-hari tetap bisa berjalan dengan sedikit beradaptasi.

Pandemi COVID-19 menyadarkan saya (dan mungkin kebanyakan dari kita), bahwa berkesempatan untuk “menikmati” teknologi di atas adalah sebuah privilese — menandakan bahwa setidaknya kita memiliki atap untuk berlindung dan sirkulasi kapital yang mencukup untuk tetap berdiam di rumah.

Namun sebagaimana kekuasaan, privilese juga melahirkan tanggung jawab dan konsekuensi, terutama karena pandemi COVID-19 adalah persoalan komunal yang perlu diselesaikan secara kolektif. Pada masa seperti ini, baik perayaan maupun pengabaian yang berlebihan akan sama-sama menoreh luka.

Memahami privilese (atas transformasi digital) adalah hal yang setidak-tidaknya bisa kita lakukan sebagai bentuk solidaritas kepada sesama — sekaligus bentuk tanggung jawab sebagai warga kota ketika. Apalagi, pemerintah kita seolah menutup mata dan justru semakin menggencarkan digitalisasi informasi dan pelayanan publik.

Eksklusivitas Digital

Ketika di Yogyakarta, saya sering duduk-duduk di teras dan memberi makan kucing liar, membuat saya secara tidak sengaja bercakap-cakap dengan mbak penjaga kosan. Ia memiliki satu anak laki-laki yang sedang bersekolah di bangku sekolah dasar. Pada suatu malam,ketika sistem pembelajaran daring sudah diberlakukan, si mbak mengetuk pintu kamar saya karena tidak kunjung berhasil memasuki “ruang kelas” pada platform Google Classroom. Pada hari yang lain, ia dan anaknya kembali dibuat bingung ketika harus menyetor presensi seusai kelas daring berjalan, yang ternyata hanya perlu membubuhkan nama di kolom komentar.

Apabila melihat konteks pada cakupan yang lebih luas, anak si mbak cukup beruntung karena tidak memiliki persoalan akses dan stabilitas jaringan internet. Pada kondisi seperti ini, masyarakat berpendapatan rendah berada pada kondisi yang paling tidak diuntungkan. Ketika biasanya jaringan internet tersedia secara cuma-cuma di ruang publik, saat ini mereka harus berstrategi agar tetap terhubung.

Mereka yang bertempat tinggal jauh dari pusat pembangunan mengalami kondisi yang serupa. Di pelosok Madura, seorang guru sekolah dasar (terpaksa) berinisiatif untuk mengunjungi tempat tinggal siswanya satu persatu karena kebanyakan merupakan bagian dari keluarga petani yang tidak memiliki satupun perangkat digital. Sementara di pedalaman Papua yang tidak terjangkau listrik, kegiatan belajar mengajar terpaksa berhenti.

Infrastruktur digital merupakan salah satu indikator pada parameter infrastruktur berdasarkan Epidemic Preparedness Index (EPI), sebuah kerangka penilaian kesiapan negara terhadap pandemi yang dikembangkan oleh Oppenheim (2013). Pembahasan mengenai kondisi infrastruktur digital sangat penting karena pandemi COVID-19 terjadi ketika Indonesia sedang mengalami transformasi digital besar-besaran.

Sayangnya, proses tersebut justru menciptakan eksklusi digital, sebuah kondisi yang merujuk pada kelompok masyarakat yang memperoleh dampak negatif akibat kesenjangan digital yang telah berlangsung menahun di Indonesia. Yang kemudian perlu digarisbawahi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita saja mengaku tidak tahu-menahu bahwa ada wilayah-wilayah di Indonesia yang tidak teraliri listrik, boro-boro bicara digitalisasi dan akses internet.

Selayang Pandang Kesenjangan Digital

Kesenjangan digital sering kali disalahartikan sebagai ketimpangan kepemilikan perangkat digital atau internet saja. Padahal, kesenjangan digital merupakan persoalan kompleks yang justru merepresentasikan adanya masalah serius mengenai ketimpangan sosioekonomi, keadilan sosial, dan siklus opresi (Gorski, 2005).

Istilah kesenjangan digital pertama kali muncul pada pertengahan 1990-an, tepatnya pada publikasi formal yang diterbitkan oleh Lembaga Telekomunikasi dan Informasi, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (Van-Dijk, 2017). Pada awal perkembangan konseptualnya (1999–2002), kesenjangan digital merujuk pada perbedaan kepemilikan komputer (Van-Dijk dan Van-Deursen, 2010).

Pada 2002–2005, terjadi pergeseran pemahaman mengenai kesenjangan digital yang memunculkan istilah second-level divide (Hargittai, 2002) atau deepening divide (Van Dijk, 2005). Baik gagasan second-level divide maupun deepening divide bertolak dari pengamatan bahwa persoalan kesenjangan digital tidak selesai hanya dengan pemenuhan perangkat digital bagi tiap individu.

Kesenjangan digital justru baru dimulai ketika media berbasis digital telah menjadi kebutuhan primer dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada perkembangannya, teridentifikasi pula empat kategori akses, yaitu akses mental, materiel (kepemilikan), keterampilan, dan kesempatan menggunakan (Van-Dijk, 2006).

Secara global, kesenjangan digital terjadi antara negara maju dan negara berkembang. Berdasarkan jumlah pengguna internetnya, persentase pengguna di negara maju telah mencapai 78% pada 2014. Pada saat yang sama, persentase pengguna di negara berkembang baru mencapai 32%. Kondisi serupa juga terlihat berdasarkan perhitungan Inclusive Internet Index, yang mana Swedia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Denmark, dan Korea Selatan menempati lima peringkat teratas (Australia dan Denmark sama-sama menempati peringkat keempat).

Selain karakteristik sosioekonomi, urbanisasi juga memengaruhi kesenjangan digital. Di Indonesia, komposisi pengguna internet di Pulau Jawa sangat jauh dengan komposisi pengguna di klaster Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua pada 2017. Ketimpangan penetrasi juga terlihat pada skala kabupaten/kota. Pada tahun yang sama, penetrasi dari kawasan perkotaan mencapai 72,41%, sementara di kawasan peri-urban dan perdesaan hanya sekitar 49,5% dan 48,3%.

Meski begitu, pemerintah justru berlomba-lomba melakukan mitigasi COVID-19 berbasis digitalisasi. Contohnya adalah pemanfaatan situs web oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta implementasi kartu prakerja (yang telah mendiskriminasi sedari proses pendaftaran)

Melalui berbagai kebijakan mitigasi tersebut, kita bisa menilai keberpihakan (digital) pemerintah sejak dan sebelum terjadinya pandemi COVID-19. Kepentingan masyarakat rentan selalu dikorbankan, padahal pemutusan rantai pandemi membutuhkan perubahan perilaku komunal.

Pandemi: Komunikasi dan Edukasi

Kesenjangan digital, yang telah terjadi bertahun-tahun, jelas menghambat distribusi informasi dan pengetahuan pada pandemi COVID-19. Selain infrastruktur, komunikasi kesehatan publik juga menjadi salah satu parameter kesiapan negara terhadap wabah. Berdasarkan kerangka tersebut, keberhasilan komunikasi ketika pandemi bergantung pada dua indikator, yaitu komunikasi risiko dan edukasi publik.

Komunikasi risiko mencakup bagaimana informasi mengenai apa yang sedang terjadi dibuat, diadaptasi, dan didistribusikan sampai ke tingkat sosial terkecil tanpa mengecualikan kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pesan yang dibuat harus bersifat jelas, tidak bertele-tele, dan memberikan panduan berperilaku yang implementatif dengan cara yang diterima oleh tiap-tiap kelompok masyarakat.

Pembahasan mengenai komunikasi risiko di Indonesia dalam menghadapi COVID-19 sudah cukup banyak diperbincangkan, di antaranya oleh Asumsi, The Conversation, dan Kumparan. Berbagai sumber tersebut menjelaskan betapa problematiknya cara pemerintah Indonesia mengomunikasikan risiko, bahkan sejak sebelum kasus positif pertama terkonfirmasi.

Melalui berbagai pernyataan ngawur, anjuran yang saling tumpang tindih, keputusan yang tidak berdasar, dan keengganan memahami kondisi masyarakat, pemerintah justru menciptakan rasa tidak aman, kecurigaan, dan ketidakpercayaan yang menyebabkan kebingungan berperilaku (Reynolds, 2008).

Sementara itu, edukasi publik membahas bagaimana pemahaman masyarakat mengenai kesehatan secara umum, karakteristik penyakit yang sedang mewabah, dan dampak yang mungkin terjadi apabila tertular. Dalam hal ini, masyarakat terdidik dan literat cenderung lebih mudah memahami dan mempraktikkan panduan berperilaku sesuai dengan yang dianjurkan.

Baik implementasi komunikasi risiko dan edukasi kesehatan publik sama-sama membutuhkan pemahaman mengenai karakteristik dan kondisi masyarakat. Faktor-faktor tersebutlah yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menyusun dan mengimplementasikan berbagai langkah mitigasi.

Pada kenyataannya, pemerintah belum benar-benar berupaya memahami, apalagi mengadopsi cara pandang masyarakat sejak pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia. Kebanyakan masyarakat di Kota Bandung — yang merupakan salah satu kota termaju di Indonesia — saja lebih mengkhawatirkan kehilangan pekerjaan daripada tertular COVID-19.

Kembali pada konteks kesenjangan digital, masyarakat rentan lagi-lagi menjadi yang paling merugi. Bagai jatuh tertimpa tangga. Mereka tereksklusi, terombang-ambing oleh arus dan simpang siur informasi, bahkan dijadikan kambing hitam ketika implementasi anjuran tidak sesuai dengan gambaran ideal pemerintah.

“… that if people weren’t behaving what they were supposed to behave, then something was at fault with the theories with how they were supposed to behave.”

— Jane Jacobs (Eyes on the Street: The Life of Jane Jacobs)

Belajar dari Kerala

Kebutuhan masyarakat terhadap rasa aman meninggi ketika menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian — yang apabila tidak dipenuhi akan menyebabkan perasaan cemas, takut, panik secara berlebihan, dan perilaku-perilaku yang (menurut pemerintah dan kebanyakan dari kita yang ber-privilese) “irasional”. Sebagai catatan penting, ketiga respon tersebut merupakan hasil adaptasi dan evolusi tubuh manusia terhadap ancaman yang justru perlu dipertimbangkan, bukan disangkal.

Kepercayaan terhadap pemerintah merupakan sumber daya yang berharga agar sistem sosial secara keseluruhan mampu bertahan dan melewati pandemi. Namun, kepercayaan publik hanya bisa terbangun melalui manajemen wabah yang baik dan komunikasi yang efektif.

Manajemen wabah dan komunikasi kesehatan publik saling melengkapi. Hanya saja, pemerintah Indonesia pada saat ini tidak memiliki satu pun di antara keduanya. Kapasitas kelembagaan dan infrastruktur kesehatan tidak memadai. Infrastruktur dan kemampuan berkomunikasi juga tidak mencukupi. Tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan kepada pemerintah yang pada awalnya mencapai 84% pada awal Maret menurun jauh hingga 19% pada bulan Mei (dengan pengukuran yang berbeda).

Terkait apa yang seharusnya dilakukan, mungkin kita bisa belajar dari Kerala, sebuah negara bagian di India.

Pertama, sedari awal, Kerala menganggap COVID-19 sebagai persoalan serius. Sejak Januari 2020, Kerala telah bersiaga dan mengasumsikan bahwa virus ini bersifat mematikan. Meskipun, pada saat itu, karakteristik virus COVID-19 belum teridentifikasi dan WHO belum mengumumkan status pandemi. Faktor ini tentunya memengaruhi banyak hal, terutama mengenai kesiapan sistem kesehatan dan manajemen bencana.

Sebelum kasus pertama terkonfirmasi, Kerala sudah mengadopsi protokol kesehatan WHO. Kerala juga membuat keputusan berdasarkan pertimbangan para ahli. Setelah ia menerima informasi kemunculan COVID-19 di Cina, KK Shailaja, Menteri Kesehatan Kerala yang dijuluki sebagai “Coronavirus Slayer”, segera meminta pendapat ahli perihal kemungkinan virus tersebut tiba di Kerala. Ketika memperoleh jawaban, KK Shailaja segera membentuk response team dan memberlakukan screening di bandara, yang pada saat itu bahkan belum dilakukan oleh Amerika Serikat dan Inggris.

Kedua, pemerintah Kerala bersifat transparan dan tidak menafikan kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup. Ketika pemerintah negara menyembunyikan kasus pertama di India, pemerintah Kerala justru terang-terangan mengungkap perkembangan kasus. Dengan berpegang pada pertimbangan ahli, Kerala dengan berani melakukan lockdown mandiri dan menutup ruang-ruang publik dan semi-privat.

Sebelum melakukan lockdown, Kerala telah terlebih dulu mempersiapkan pemberian paket bantuan, pembuatan puluhan dapur publik, dan penggratisan beberapa bahan pangan pokok. Pemerintah juga mengambil peran untuk mengintervensi produksi perlengkapan medis, pelayanan kesehatan mental, dan peningkatan kapasitas layanan internet.

Ketiga, Kerala tidak bersikeras menggencarkan digitalisasi publik dan melakukan komunikasi kesehatan publik dengan baik. Pemerintah Kerala memang meningkatkan kapasitas internet agar masyarakat tetap bisa berkegiatan, tetapi mereka tidak menjadikan platform digital sebagai satu-satunya medium berkomunikasi.

Langkah yang dilakukan oleh Kerala adalah dengan membentuk tim komunikasi yang terdiri dari mahasiswa medis dan staf kesehatan. Tim tersebut melakukan pengecekan kondisi fisik dan mental masyarakat melalui telepon pada setiap harinya. Komitmen pemerintah untuk menunjukkan kebersamaan kepada masyarakat juga ditunjukkan oleh PB Nooh, staf pemerintah yang melakukan perjalanan panjang ke sebuah permukiman di kaki gunung yang belum mendapatkan bantuan. Ia tidak segan untuk turut serta menyingsingkan lengan baju, menyeberangi sungai yang tidak berjembatan sembari mengangkut segala perlengkapan, demi mencapai wilayah tersebut. Menurut PB Nooh, kehadiran dirinya sangat penting untuk menyampaikan sebuah pesan tersirat, bahwa pemerintah hadir dan akan membersamai warganya melewati pandemi COVID-19.

“As a society, we’ve never faced such a situation. Let’s see what we can do.”

— PB Nooh (Anggota Response Team COVID-19, Pemerintah Distrik Pathanamthitta, Negara Bagian Kerala, India)

Merendahkan Hati dan Mewawas Diri

Hari ini sudah awal Juni. Tapi, keadaan tidak kunjung baik-baik saja. Sistem kesehatan tetap kewalahan, sementara pelonggaran PSBB dan adaptasi “new normal” semakin banyak dipertanyakan. Pada awalnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan semangat. Akan tetapi, melihat pemerintah yang masih saja saling melempar batu, saya rasa kita (masyarakat) memang sedang berjuang sendiri — bersama-sama.

Mengingat banyaknya keterbatasan pada sistem kesehatan publik kita, tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain berefleksi dan mengatur ulang cara berkomunikasi. Laman situs yang mentereng ataupun konten yang engaging terbukti tidak berkontribusi banyak terhadap mitigasi COVID-19. Pemerintah hanya perlu memulai belajar mendengarkan dan mempelajari masyarakat, lalu secara konsisten mengupayakan kepercayaan rakyat melalui pengambilan keputusan yang bijak serta komunikasi yang jujur, terbuka, dan apa adanya.

Sungguh, masyarakat pada dasarnya nggak ingin yang susah-susah, kok. Seperti pada manusia umumnya saja, perlu dimengerti dan dipahami.

--

--