Newsletter #5

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar
Published in
9 min readAug 6, 2018

Halo! Selamat datang di Newsletter #5 Merah Muda Memudar! Mohon maaf karena kami gagal menerbitkan newsletter kami minggu lalu. Sebagai gantinya, newsletter kali ini akan menjadi lebih panjang karena kali ini kami akan mengompilasikan artikel dari dua minggu yang lalu.

New Zealand berhasil melegalkan undang-undang yang memastikan cuti berbayar untuk korban kekerasan rumah tangga. Undang-undang ini dideskripsikan sebagai kemenangan besar untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-undang ini, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak perlu memberikan bukti atas kekerasan yang dia alami, akan mendapatkan 10 hari cuti berbayar dan pengaturan kondisi kerja fleksibel untuk memastikan keamanan mereka. New Zealand menjadi negara kedua di dunia yang melegalkan undang-undang ini setelah Filipina melegalkan hukum yang sama tahun 2004 yang lalu.

Seperti kata Dr. Ang Jury, ketua eksekutif Women’s Refuge undang-undang ini memang bukanlah sesuatu yang dapat mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga sepenuhnya. Walaupun begitu, ini adalah langkah tepat untuk memastikan bahwa korban dapat memiliki ruang untuk memproses masalah di rumah tangganya tanpa harus kehilangan pekerjaannya. Belum lagi, ini juga bisa dikatakan sebagai bentum tanggung jawab komunitas untuk mendukung dan memastikan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga tidak harus melewati masalah mereka sendiri.

Di India, aktivis berhasil memaksa pemerintah India untuk menanggalkan pajak barang mewah untuk pembalut wanita. Sejak tahun lalu, pemerintahan India yang dikuasai oleh partai sayap kanan mengkategorikan pembalut sebagai barang mewah alih-alih sebagai komoditas esensial yang membuatnya dikenakan pajak sebesar 12%. Pajak barang mewah ini mengundang protes yang besar di kalangan masyarakat India, yang 70% populasi perempuannya tidak dapat membeli pembalut wanita. Petisi untuk menghapuskan pajak barang mewah berhasil mendapatkan 400.000 tanda tangan dan dukungan dari berbagai organisasi perempuan.

Akses terhadap pembalut wanita menjadi poin penting untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan di India. Tanpa akses terhadap pembalut wanita, perempuan sering terpaksa tidak bersekolah dan dilarang untuk keluar rumah. Hal ini diperparah dengan stigma negatif yang melekat pada perempuan yang sedang mengalami menstruasi di India. Menyelesaikan masalah ini memang perlu solusi yang lebih dari sekedar harga pembalut yang terjangkau, tapi juga ketersediaan pembalut wanita untuk perempuan di India. Di India, pembalut wanita seringkali hanya tersedia di toko obat yang seringkali sulit dijangkau oleh perempuan yang hidup di desa-desa.

Oksana Shachko, pendiri organisasi feminis Femen, ditemukan tidak bernyawa di tempat tinggalnya. Femen adalah organisasi feminis yang terkenal karena aksinya yang kontroversial. Beberapa protes mereka yang terkenal antara lain adalah protes menentang ketimpangan ekonomi di World Economic Forum di Davos, protes terhadap kebijakan Gereja Katolik di Vatikan, dan aksi mereka berlari sembari bertelanjang dada di depan Putin saat dia mengunjungi Jerman tahun 2013. Aksi yang terakhir ini membuat Shachko dan beberapa anggota Femen lain harus mencari suaka di Perancis karena dia menjadi sasaran agen Rusia. Tahun 2014, dia keluar dari Femen karena menganggap organisasi yang dia bentuk telah kehilangan tujuannya, seiring dengan perkembangan Femen ke berbagai kota lainnya. Sebelum kematiannya, dia bekerja sebagai seniman yang melukis mural dan icon, hal yang dulu dia lakukan untuk gereja, namun kini untuk galeri.

“Dalam icon yang kubuat, aku menggantikan lelaki dengan perempuan sebagai pusatnya, pekerjaan yang kubuat masih tetaplah feminis” kata Scachko bulan Desember lalu. Rest in power, comrade.

Tokyo Medical University dilaporkan telah menurunkan nilai ujian masuk perempuan sejak tahun 2011. Dengan penurunan ini, nilai ujian diatur sedemikian rupa sehingga perempuan yang lolos hanya mengisi 30% jumlah mahasiswa yang masuk. Seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya berkata bahwa ini adalah “hal buruk yang diperlukan” karena mereka khawatir perempuan akan berhenti bekerja ketika mereka sudah hamil dan membuat rumah sakit tidak memiliki dokter yang cukup, terutama rumah sakit yang berafiliasi dengan universitas. Investigasi internal sedang dilakukan oleh pihak universitas, mari kita harap orang yang berada di balik praktek seksis ini dapat mendapat ganjaran yang sesuai.

Seorang blogger kecantikan di Kuwait, Sondos Alqattan kehilangan sponsornya akibat videonya yang memprotes hukum ketagakerjaan baru untuk pekerja domestik. Dalam hukum yang baru itu, pembantu domestik yang berasal dari luar negeri mendapatkan hak untuk mendapat hari libur dan diperbolehkan untuk memegang paspor mereka sendiri. Ini adalah hukum yang sangat masuk akal dan penting untuk mencegah praktek abusif terhadap pekerja domestik, namun ternyata Alqattan tidak berpikir demikian. Dalam video yang dia unggah di Instagram, dia memprotes hukum baru ini. Dia mengatakan bahwa hukum ini akan membuat pekerja domestik dapat “keluar rumah” dan “melakukan hal yang tidak bisa dia kontrol dengan paspornya”, juga bagaimana sebagai majikan dia punya hak memegang paspor pekerjanya, seolah hal ini adalah hal yang mau dia rasakan sendiri sebagai pekerja. Melihat kecaman dan reaksi negatif yang diarahkan kepada Alqattan, perusahaan yang menjadi sponsornya pun langsung menghentikan hubungan profesional mereka dengannya.

Masalah peraturan ketenagakerjaan di negara Timur Tengah menjadi topik penting setelah tubuh seorang pekerja domestik Filipina, Joanna Demafelis ditemukan di dalam kulkas majikannya di Lebanon. Kasus ini mengundang reaksi keras secara diplomatik dari Filipina yang mendorong reformasi hukum ketenagakerjaan untuk pekerja domestik. Sebelumnya pekerja domestik tidak dapat berganti pekerjaan atau pergi dari negara tempatnya bekerja tanpa persetujuan majikannya. Human Right Watch menilai praktek ini sebagai praktek yang menjadi penyebab kondisi kerja yang tidak manusiawi dan berbagai kekerasan

Somalia akan melakukan proses hukum terhadap FGM untuk pertama kalinya setelah kematian bocah berumur 10 tahun akibat FGM. Kematian Deeqa Dahir Nuur, yang mengalami komplikasi dua hari setelah prosedur FGM mengundang kecaman dan panggilan untuk keadilan dari grup advokasi anti-FGM. Sekarang pemerintah mengatakan bahwa mereka akan melakukan proses hukum walaupun undang-undang yang melarang FGM itu sendiri belum ada di Somalia. Perdana Menteri Mohamed Guuled mengatakan bahwa kasus ini akan menjadi titik balik untuk menolak FGM, yang menurut statistik dialami oleh 98% perempuan di Somalia.

Jika kalian mau membaca lebih soal ini, kami pernah menulis beberapa kali soal sunat perempuan. Tulisan pertama kami adalah “FGM: Kejahatan Fisik dan Simbolik Terhadap Perempuan” yang membahas prosedur FGM dan bahayanya. Selain itu, kami pernah menulis review artikel yang membahas mengapa FGM menjadi praktek yang terus bertahan meskipun masyarakat telah mengetahui bahayanya dari segi ilmu antropologis. Baca juga soal bagaimana Nice Leng’ete, seorang perempuan dari Kenya, dapat menyelamatkan 15.000 lebih perempuan suku Maasai di Afrika dari FGM di sini.

Di Perancis, parlemen kini telah melegalkan hukum yang melarang catcalling di jalanan. Hukum ini dibuat setelah kecaman dari masyarakat atas kejadian penyerangan yang dilakukan lelaki setelah perempuan yang dia catcall mengonfrontasi dia. Dengan berlakunya hukum ini, catcaller dan pendekatan seksual agresif dapat didenda hingga 750 euro. Selain itu, legislasi ini juga memperpanjang batas laporan pemerkosaan di bawah umur sebanyak 10 tahun. Korban yang mengalami pemerkosaan di bawah umur dapat melaporkan kejahatan yang mereka alami hingga 30 tahun sejak mereka berumur 18 tahun.

Perancis menjadi salah satu negara yang paling awal mengatur catcalling di jalanan dalam hukum. Catcalling adalah kasus pelecehan seksual yang paling sering terjadi sekaligus paling sulit diberantas. Kami rasa usaha Perancis untuk membawa masalah catcalling patut diperhatikan untuk melihat sejauh mana hukum mampu menghentikan pelecehan seksual di jalanan.

Aktivis dan praktisi kesehatan menyebut RKUHP yang sedang dibahas saat ini kontradiktif dengan upaya menekan angka kelahiran dan kematian ibu. Pasal 443 RKUHP menyebutkan bahwa barang siapa yang tanpa hak dan tanpa diminta secara terang-terangan menunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, atau menunjukkan cara memeroleh alat tersebut, dapat dipidana denda kategori I. Adanya hukum itu akan mempersulit tenaga medis dan masyarakat untuk memberikan pemahaman mengenai penggunaan alat kontrasepsi karena ancaman pidana dan melekatkanya stigma negatif pada alat kontrasepsi tersebut. Hal ini dianggap kontradiktif dengan usaha pemerintah untuk menekan angka kelahiran dan kematian ibu, yang sangat terbantu dengan adanya alat kontrasepsi.

Menurut statistik yang sudah ada, angka kematian ibu dan angka kelahiran di Indonesia mengalami tren penurunan selama hampir dua dekade terakhir ini. Sangat sayang bila penurunan ini berhenti terjadi karena adanya lolosnya poin RKUHP ini.

Peraturan yang mewajibkan siswi muslim Sekolah Negeri untuk memakai jilbab memancing perdebatan di Indonesia. Peraturan yang beredar mengharuskan siswi untuk memakai jilbab setiap hari Kamis dan Jumat. Orang yang menolak peraturan ini mengatakan bahwa Negara telah melangkahi batasan otoritasnya dengan mengatur tubuh perempuan dan keimanan individu. Sedangkan orang yang mendukung peraturan ini mengatakan bahwa peraturan ini bukan sebuah masalah karena memakai jilbab memang adalah sebuah kewajiban agama. Argumen ini kemudian disanggah dengan argumen bahwa walaupun ini perintah agama sekalipun, mewajibkan memakai jilbab akan membuat hal ini menjadi beban yang malah membuat perempuan muslim tidak memahami esensi dari memakai jilbab.

Argumen keagamaan mengenai kewajiban memakai jilbab ini sebetulnya juga masih menjadi perdebatan di antara Teolog Muslim Sendiri. Di artikel ini misalnya, kita dapat melihat pendapat dari 5 Teolog Muslim yang menganggap bahwa memakai penutup kepala bukanlah kewajiban yang merata kepada seluruh muslim, melainkan sebuah praktek yang praktikal dan bergantung kepada konteks budaya yang berlaku.

Pengadilan yang menghukum korban perkosaan yang melakukan aborsi di Jambi dianggap melakukan vonis yang tidak tepat. Menurut ICJR, Pengadilan Negeri Muara Bulian tidak mempertimbangkan aspek traumatis yang dialami korban, yang seharusnya diperhitungkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, hakim juga tidak mempertimbangkan dan meninjau fakta bahwa tertuduh adalah korban perkosaan, yang seharusnya tidak dihukum berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2009.

Walaupun memiliki payung hukum yang mengecualikan aborsi, nyatanya masih banyak perempuan yang dipenjara, bukannya dikuatkan. Menurut Komnas Perempuan, kealpaan penegak hukum ini disebabkan oleh ketipakpahaman mereka soal HAM Perempuan dan perspektif gender. Ketidakpahaman ini menyebabkan penegakan kasus hukum di Indonesia yang merugikan dan tidak berpihak pada perempuan. Hasilnya, walaupun kodifikasi dalam hukum Indonesia telah memiliki ruang perlindungan terhadap perempuan, kasus yang kita lihat masih sangat jauh dari harapan.

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun menjadi korban pelecehan seksual di pusat penahanan imigran Amerika Serikat. Anak ini sebelumnya dipisahkan dari ibunya dan dikirim ke Pusat Penahanan Southwest Key, tempat di mana pelecehan seksual itu terjadi. Parahnya, setelah pelecehan seksual itu terjadi dan dilaporkan, pelecehan seksual oleh pelaku yang sama, anak lain di pusat penahanan itu, terjadi lagi. Tidak hanya itu, pusat penahanan ini kemudian terungkap telah memaksa korban untuk menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa dia memiliki bertanggung jawab untuk menghindari pelaku.

Kebobrokan dari aparat yang terlibat dalam masalah imigrasi Amerika Serikat bukanlah hal baru. Bulan April lalu, The Intercept menulis soal 1.224 komplain mengenai pelecehan seksual dan kekerasan seksual di pusat penahanan imigran, yang setengah dari pelakunya adalah anggota Immigration and Customs Enforcement. Pelecehan dan kekerasan seksual ini bukan hanya memiliki jumlah yang sangat banyak, melainkan terjadi secara sistemik. Korban sangat takut untuk melaporkan kasus yang mereka alami, dan institusi yang mengatur imigrasi sendiri juga komplisit dalam melanggengkan kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Artikel panjang dari Huffinton Post ini menjabarkan neraka yang harus dialami seseorang yang ingin melaporkan kasus pelecehan seksual di tempat kerjanya. Selain menjelaskan dengan sangat detail intrik yang dialami si pelapor, tulisan ini juga menunjukan begitu dalamnya kebobrokan kebijakan internal perusahaan dalam mengatasi kasus pelecehan seksual, meskipun perusahaan itu adalah perusahaan multi-nasional setingkat HSBC. Cerita ini, sayangnya, tidak berakhir baik. Selengkapnya, silahkan dibaca di sini.

Apakah itu Sosialis Feminis dan Feminis Sosialis? Di salah satu review artikel kami, kami membahas penjabaran Hilary Wainwright soal bagaimana sosialisme dapat dikembangkan dengan feminisme yang membentuk paham Sosialis Feminis alih-alih Feminis Sosialis. Di artikel ini, Barbara Ehrenreich menjelaskan mengenai Feminis Sosialis yang membahas bagaimana opresi yang dialami perempuan tidak akan bisa dipahami tanpa melihat konteks kehidupan perempuan yang hidup dalam kapitalisme. Kami rasa dua paham ini adalah kontribusi yang penting untuk dipelajari pegiat feminisme dan gerakan progresif lainnya yang menentang penindasan dalam kapitalisme.

Bagaimana patriarki dan peran gender mempengaruhi kesehatan mental? Artikel ini mengeksplorasi bagaimana patriarki dan sosialisasi peran gender mempengaruhi kesehatan mental sebagai faktor psikososial. Artikel ini adalah bacaan komprehensif mengenai tantangan dalam kesehatan mental yang dialami perempuan, dari masa kecil mereka, pelecehan seksual yang dia alami, pengalaman di tempat kerja, di masa tua, hingga saat mereka dikhianati layanan kesehatan yang seharusnya menolong mereka. Walaupun begitu, artikel ini tidak hanya menjelaskan masalah dan tantangan perempuan saja, namun juga bentuk-bentuk terapi yang dapat efektif terhadap perempuan. Artikel ini adalah bacaan yang menekankan kembali pentingnya layanan kesehatan mental yang juga sensitif terhadap gender, sesuatu yang sayangnya masih harus kita perjuangkan untuk didapatkan.

Dua minggu terakhir ini, kami mempublikasikan dua artikel review yang menarik.

Review pertama adalah soal Sosialisme Feminis yang ditulis oleh Tara. Review tersebut bisa kalian baca di sini. Di sini kalian dapat membaca bagaimana persepktif feminisme dapat digunakan dalam pemahaman sosialisme yang lebih baik dan lebih kaya dari sebelumnya.

Review kedua adalah soal ‘Honour Crime’ di Inggris Raya oleh Tegar, yang dapat kalian baca di sini. Artikel ini membahas soal kejahatan kehormatan di mana perempuan dianiaya, diculik, atau bahkan dibunuh demi menyelamatkan kehormatan keluarga.

Oh ya, kami juga mendapat konfirmasi dari percetakan kami bahwa zine kita akan bisa selesai dicetak pertengahan Agustus nanti! Buat kalian yang masih belum beli, jangan lupa beli ya! Setelah kami menerima zine kami dari percetakan, kami mungkin akan butuh beberapa hari untuk memprosesnya karena kami akan mengutamakan pengiriman kepada pembeli yang lebih dulu melakukan pemesanan. Karena itu, segera hubungi line@ kami (di @ysi3140h), Facebook, dan Instagram untuk melakukan pemesanan!

Sampai jumpa di Newsletter selanjutnya!

--

--

Merah Muda Memudar
Merah Muda Memudar

Merah Muda Memudar merupakan ruang yang diciptakan untuk perempuan untuk berbagi dan mendekonstruksi warna yang melekat padanya.