Kenapa perusahaan di Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan manajer

Konten tentang Scrum
Modern Management
Published in
14 min readOct 9, 2014

--

Sebelum kita membahas kenapa perusahaan di Indonesia tidak membutuhkan manajer, mari kita lihat apa definisi dari manajer berdasarkan Kamus Besar Indonesia:

ma.na.jer [n]
(1) orang yg mengatur pekerjaan atau kerja sama di antara berbagai kelompok atau sejumlah orang untuk mencapai sasaran;

(2) orang yg berwenang dan bertanggung jawab membuat rencana, mengatur, memimpin, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai sasaran tertentu.

Mengenai tulisan saya yang sebelumnya, banyak yang menanyakan: “Kalau manajernya diganti, lalu manajernya diganti dengan siapa?”. Saya juga pernah menulis kalau kita harus mulai sering mempertanyakan segala sesuatu diawali dengan “kenapa” karena mungkin saja selama ini kita berada dalam sebuah ilusi kalau kita memerlukan seorang manajer. Dari pertanyaan ‘kenapa’ yang saya tanyakan kepada diri saya sendiri, saya jadi berpikir kembali mengenai posisi manajer, bisa jadi selama ini saya juga sudah didoktrinisasi bahwa untuk menghasilkan keluaran yang efektif diperlukan sebuah entitas eksternal yang berada di jajaran yang lebih tinggi — dalam hal ini seorang manajer. Tetapi apakah iya? Apakah hal ini benar? Ataukah ini hanya sebuah ilusi semata? Bagaimana kita bisa sampai ke pemikiran seperti ini? Kalau ternyata posisi manajer ini adalah posisi yang lebih banyak menyebabkan counter productivity dan dysfunctionalities, mungkin lebih baik posisi ini dihilangkan saja dari perusahaan atau diganti dengan posisi lain yang dapat menghemat budget perusahaan dan dapat meningkatkan produktifitas.

Bagaimana kita bisa sampai disini

Sebelum kita sampai pada pembahasan kenapa kita tidak membutuhkan manajer, mari kita belajar dari sejarah mengenai bagaimana kita bisa sampai pada pemikiran kalau manajer itu dibutuhkan di dalam perusahaan.

Konsep manajer-subordinate berkembang di tahun 1910 pada era manufacturing boom. Konsep ini dipopulerkan oleh Frederick Taylor. Pada era itu, Frederick Taylor banyak bekerja dengan perusahaan manufaktur dimana salah satunya adalah Ford Motors. Taylor membantu Ford Motors untuk mengefisiensikan hasil produksi dengan melihat metrik hasil kerja para buruh pabrik (factory worker) agar Ford Motors dapat bergerak menuju mass-production. Taylor juga memberikan masukan kalau perusahaan membutuhkan manajer untuk dapat mengendalikan keluaran ini dan perusahaan cukup mengembangkan para manajer ini. Konsep Taylorism menganggap bila orang-orang di jajaran atas berisi orang-orang pintar maka tidak masalah bila orang-orang di bawahnya tidak terlalu pintar karena yang bertanggung jawab adalah para manajer yang berada di jajaran atas.

Hal ini mungkin relevan di jaman itu, tetapi sekarang sudah tidak relevan lagi, terutama di industri kreatif seperti software development. Di industri kreatif kita lebih banyak bekerja dengan knowledge worker. Bila knowledge worker ini diperlakukan seperti factory worker, perusahaan justru akan mengalami kerugian yang teramat besar karena perusahaan tidak akan mendapatkan kreatifitas, pembelajaran, inspirasi dan engagement dari orang-orang yang bekerja di perusahaan tersebut. Proses pembelajaran dan kreatifitas ini sangat sulit untuk diukur dengan metrik apapun juga.

Nah setelah mengerti asal-usulnya, tentunya sudah mengerti kan kenapa di banyak perusahaan, programmer berada di jajaran paling bawah dan berada dibawah business/system analyst. Lalu di atas analyst kita akan menemukan manajer proyek. Dan tidak jarang kita temukan posisi tester berada di bawah programmer. Programmer tidak bisa memiliki gaji yang lebih tinggi dari manajer proyek walaupun programmernya lebih pintar karena programmer dan tester disamakan dengan buruh pabrik bukan knowledge worker. Akhirnya banyak yang berlomba untuk menjadi manajer agar dapat membayar cicilan rumah. Dalam industri lainnya yang juga berisi knowledge worker seperti dokter, pilot ataupun pengacara, apakah ada struktur jabatan yang tidak berhubungan seperti ini? Tentu saja tidak. Itu cuma halusinasi orang-orang yang mereplikasi sistem kerja dunia konstruksi atau manufaktur ke software development — mereka pikir programmer adalah kuli kode yang tidak memerlukan kreatifitas sama halnya dengan kuli bangunan atau buruh pabrik yang berada di hirarki paling bawah. Programmer tidak dipandang sebagai inovator padahal banyak inovasi di dunia ini yang dihasilkan oleh programmer.

Ok sekarang sudah mulai mengerti kan kenapa di perusahaan kamu ada metrik key performance indicator (KPI) untuk mengukur performa kamu dan metrik ini sering kali dianggap sangat penting? Karena kamu tidaklah lebih dari sebagian resource (it) di dalam perusahaan yang diatur bagaikan bidak catur dan diukur dengan angka-angka bagaikan mesin. Kamu tidak dianggap sebagai manusia (he/she) yang memiliki perasaan dan kreatifitas. Hooray! Congratulate yourself. You work for an old-school organisation.

Mahluk hidup tidak membutuhkan seorang manajer untuk meningkatkan kemungkinan keselamatan dan keberlangsungan hidupnya. Manusia di zaman batu saja sudah cukup cerdas untuk self-organise untuk bertahan hidup tanpa adanya interfensi seorang manajer. Mereka hidup secara berkelompok dan bekerja sama untuk saling melindungi satu sama lain dari bahaya eksternal. Kelompok ini dinamakan sebuah tribe. Bila anda bukan penganut paham Intelligent Design, anda tentu dapat melihat bahwa tidak ada “manajer” dalam proses formasi dan adaptasi sistem kehidupan. Mungkin penjajah jaman dahulu yang memperkenalkan konsep tuan-hamba ini kepada orang-orang Indonesia.

Kita butuh lingkungan kerja yang aman

Manusia jaman dahulu hidup berkelompok untuk dapat saling melindungi satu sama lain dari bahaya eksternal seperti binatang buas ataupun cuaca buruk. Mereka merasa aman bila sedang berkumpul bersama tribe-nya.

Orang yang takut untuk gagal akan takut untuk mengambil tanggung-jawab terhadap sebuah pemecahan masalah.

Di tulisan saya yang sebelumnya, saya menuliskan bahwa banyak manajer di Indonesia yang belum menjadikan lingkungan kerja sebagai tempat yang aman untuk gagal (safe to fail). Sungguh ironis bila di dalam institusi perusahaan kita bisa merasa tidak aman. Sangat disayangkan kalau banyak lingkungan kerja di Indonesia belum menjadi tempat yang aman untuk gagal bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya. Orang-orang masih diukur dengan angka-angka yang tidak berguna setiap akhir tahun. Orang-orang akan menjadi defensif, pasif dan mencari aman agar angka yang dia dapatkan di akhir tahun tidak jelek. Atau beberapa orang ini akan mencari cara agar koleganya yang bisa mendapatkan angka yang jelek dengan segala bentuk permainan politik dan birokrasi. KPI hanya menghasilkan kompetisi, bukan kolaborasi. Kompetisi seharusnya tidak terjadi di dalam perusahaan namun dengan pesaing perusahaan yang bersangkutan. Setiap fungsi di dalam organisasi seharusnya berkolaborasi agar dapat mengalahkan pesaingnya.

A great place to work is a place filled with inspiring people who strive for excellence and are driven by a purpose to make a difference to this world.

Lingkungan kerja idaman adalah lingkungan kerja dimana setiap individu dapat merasa aman untuk membawa dirinya sendiri apa adanya tanpa harus merasa terintimidasi. Lingkungan kerja idaman berisi orang-orang kreatif dimana kita bisa menaruh respek terhadap setiap individu karena kita bisa belajar dari setiap individu yang ada di dalam perusahaan tersebut. Lingkungan kerja idaman adalah lingkungan kerja dimana proses pembelajaran selalu dirayakan dan kegagalan tidak akan berakhir pada penghakiman dan penghukuman. Lingkungan kerja idaman adalah lingkungan dimana strategic plan, prosedur, metrik tidak jauh lebih penting dibanding orang-orang yang ada di dalamnya.

Lewat artikel saya yang sebelumnya banyak juga yang menanyakan bagaimana caranya supaya orang-orang bisa engaged dengan pekerjaannya. Orang tidak otomatis menjadi engaged ketika mereka masuk ke dalam sebuah lingkungan kerja yang baru. Ada proses adaptasi dimana orang menjadi nyaman dengan tempat dimana dia berada. Bila dia tidak merasa aman dengan lingkungan dimana dia berada, secara alami dia akan mencari aman dan memproteksi dirinya dengan menjadi pasif ataupun permainan politik. Ini adalah sifat alami mahluk hidup. Jadi sebelum menjawab pertanyaan bagaimana kita bisa membuat orang-orang menjadi engaged dengan pekerjaannya, pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab terlebih dahulu adalah bagaimana kita bisa membuat lingkungan kerja yang aman agar orang-orang di dalamnya bisa engaged dan tidak defensif?

Trust & Empowerment

Posisi manajer menjadi sangat penting bagi organisasi yang memiliki tingkat kepercayaan (trust) yang rendah akan orang-orangnya sendiri. Perusahaan tradisional menganggap posisi manajer dibutuhkan karena mereka membutuhkan satu orang yang dapat dipercaya untuk membuat keputusan dan mengatur orang-orang yang ada di bawah dia. Manajer ini yang secara periodik melaporkan keluaran yang dihasilkan oleh orang-orang di bawah dia kepada orang-orang yang ada di atas dia. Ketika semua orang di dalam organisasi berisi orang-orang cerdas yang sudah di-empower untuk dapat membuat keputusan yang tepat dan menyediakan segala informasi secara transparan bagi semua orang, posisi manajer menjadi redundan dan justru membuang banyak uang.

Dalam institusi keluarga (bahagia), setiap anggota keluarga memiliki rasa saling percaya satu sama lain karena mereka tahu setiap aspek kehidupan anggota keluarga lainnya, bahkan kelemahan dan kekurangan setiap anggota keluarga. Tidak ada ketertutupan di dalam institusi keluarga. Kita merasa aman dan nyaman untuk menjadi diri sendiri di dalam keluarga kita sendiri. Namun di dalam bis kota, tingkat kepercayaan kita terhadap penumpang lainnya akan lebih rendah dibanding terhadap anggota keluarga kita sendiri.

Institusi perusahaan seharusnya dapat menjadi institusi keluarga kedua bagi orang-orang yang ada didalamnya. Agar perusahaan menjadi tempat yang aman, pimpinan perusahaan tersebut harus terlebih dahulu mensetup culture of trust dan meng-empower setiap orang di dalam perusahaan untuk berani melakukan hal yang benar.

Transparansi

Alasan lain kenapa manajer menjadi penting bagi perusahaan tradisional adalah karena banyak informasi kunci dipegang oleh para manajer. Manajer adalah go to person apabila stakeholder menginginkan sebuah informasi ataupun sebuah laporan.

Orang akan takut untuk membuat keputusan ketika informasi mengenai masalah yang mereka hadapi dan pengetahuan yang mereka miliki untuk memecahkan masalah tersebut terbatas. Orang tidak akan engaged apabila ia tidak dapat mengakses seluruh informasi yang ia butuhkan untuk dapat memecahkan masalah yang ia sedang hadapi. Improvement tidak akan terjadi bila tidak ada engagement dari orang-orang yang berada di dalam organisasi. Orang-orang yang engaged dengan pekerjaannya akan kreatif dan efektif dalam menjalankan pekerjaannya. Transparansi adalah fondasi agar orang-orang bisa engaged dengan pekerjaannya.

Selain takut untuk membuat keputusan, orang juga akan takut untuk terbuka mengenai kegagalan dan kelemahan dirinya bila tidak ada trust dan empowerment. Orang-orang di dalam organisasi tidak akan percaya satu sama lain bila tidak adanya keterbukaan. Kita tidak percaya dengan orang yang tidak dikenal karena kita tidak tahu mengenai orang tersebut. Jadi kalau kita lihat trust dan transparansi ini saling berkaitan satu sama lain yang memiliki hubungan seperti telur-ayam.

Transparancy at UK Government

Guideline untuk menjadi kreatif

Yang dibutuhkan oleh perusahaan adalah sebuah guideline yang dimiliki bersama (collective ownership) oleh setiap individu dalam perusahaan bukanlah seorang manajer. Guideline ini tujuannya untuk memberikan panduan dan inspirasi agar orang-orang dapat kreatif berpikir bukan untuk membatasi ruang gerak mereka yang akhirnya membuat mereka menjadi pasif dan penakut. Scrum sendiri dapat digunakan sebagai guideline dasar mengenai cara individu dapat bekerja bersama sebagai satu tribe. Guideline ini harus dibuat transparan dan dipahami oleh semua orang di dalam perusahaan karena bila tidak cara kerja mereka tidak akan selaras.

Semua aspek dalam Scrum dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan tingkat transparansi yang ada di dalam tim Scrum maupun organisasi yang dapat menstimulasi kreatifitas setiap orang di dalamnya. Organisasi yang sudah mengetahui prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam Scrum secara mendalam dan sudah menggunakannya lebih dari sekedar metodologi dapat mengeksploitasi Scrum lebih jauh lagi untuk meningkatkan transparansi di dalam perusahaan.

Saya sendiri pernah memberikan pelatihan Scrum kepada sebuah perusahaan di Jakarta untuk seluruh pegawainya yang pada waktu itu berjumlah 200 orang dengan alasan dan tujuan supaya setiap individu di dalam perusahaan dapat bekerja sebagai satu tribe. Alasan pimpinan perusahaan mengirimkan semua orang — termasuk yang non-teknis seperti sekretaris, marketing, sales, personalia, keuangan, akunting— di dalam perusahaan ke training Scrum adalah bila setiap individu di dalam perusahaan tidak memahami prinsip dan nilai Scrum dengan benar, mereka tidak akan dapat berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa tribe yang sama. Jadi bisa dikatakan Scrum adalah tribal language mereka.

Trust dan transparansi menjadi fondasi untuk lingkungan pekerjaan yang aman. Transparansi akan menghasilkan trust. Adanya empowerment akan membuat orang untuk berani transparan mengenai segala hal. Tanpa adanya trust dan transparansi yang tertanam di dalam perusahaan, perusahaan yang bersangkutan tidak bisa berharap untuk mendapatkan poin berikutnya.

Shared accountability

Shared accountability datang dari adanya rasa saling percaya satu sama lain antar individu yang berada di dalam tribe. Orang dapat percaya satu sama lain bila ada keterbukaan. Orang tidak akan mengambil tanggung jawab dan tidak mau menanggungnya bersama sebelum dia merasa aman di tempat ia berada. Setelah dia merasa aman di tempat dia bernaung, orang tersebut akan berani untuk mengambil tanggung-jawab melebihi daripada yang diminta. Ia tahu ketika ia mengambil tanggung jawab lebih dari yang diminta, ia tidak akan diintimidasi ketika ia gagal dalam mengemban tanggung jawab tersebut.

Shared accountability tidak akan pernah diperoleh oleh perusahaan yang masih menunjuk satu orang untuk accountable terhadap keluaran pekerjaan — dalam hal ini manajer. Orang akan takut mengambil tanggung jawab apabila ia masih harus meminta approval untuk melakukan hal yang benar demi kemajuan perusahaan. Shared accountability hanya akan terjadi apabila akuntabilitas didistribusikan kepada semua orang yang berada di dalam perusahaan.

Saya pernah memberikan masukan mengenai pendistribusian tanggung jawab ke seluruh anggota tim Scrum ke salah satu perusahaan di Indonesia, tetapi manajernya pada saat itu justru merasa takut karena nanti programmer pun jadi bisa melakukan pekerjaan business analyst. Kenapa evolusi seseorang di dalam organisasi harus dibatasi oleh seorang manajer? Kalau dia memang bisa menjadi seorang business analyst yang bagus memangnya salah begitu? Kalau menjadi seorang analyst yang handal adalah destiny-nya, kenapa tidak? Kenapa tanggung-jawab harus dibatasi dan ditunjuk? Apa yang salah ketika ada seseorang yang mau mengambil tanggung jawab secara inisiatif? Bukankah itu impian semua perusahaan? Ah ternyata setelah saya telusuri lebih lanjut, ternyata jabatan ada hubungannya dengan tingkatan gaji dan seorang business analyst memiliki gaji lebih tinggi dibanding programmer. Dan perusahaan harus menaikkan gaji dia apabila ia mengambil pekerjaan business analyst. Ternyata perusahaan tersebut menggaji seseorang berdasarkan tingkatan jabatan bukan tingkatan pengetahuan seseorang.

Ketika orang-orang di dalam perusahaan melihat sesuatu yang tidak beres yang perlu diperbaiki dan dapat di-improve, orang-orang tidak memerlukan approval dari manajer untuk melakukannya. Approval untuk melakukan hal yang benar dan pengkotak-kotakan jabatan akan menghentikan munculnya shared accountability yang menyebabkan perusahaan tidak bisa berharap untuk mendapatkan poin berikutnya.

Shared goal

Sebuah tim olahraga memiliki satu tujuan, yaitu mengalahkan lawannya. Apapun posisi setiap pemain di dalam tim, mereka harus bekerja sama untuk memenangkan pertandingan. Namun dalam dunia korporasi Indonesia, perusahaan (yang seharusnya adalah satu tim) masih memberikan objektif dan penilaian kepada setiap departemen yang terkadang membuat setiap departemen di dalam perusahaan tersebut bersaing dan menjatuhkan satu sama lain. Dunia korporasi di Indonesia tidak mengenal konsep sebuah tim. Yang mereka kenal adalah sekumpulan orang yang dibagi ke dalam kotak departemen-departemen. Dalam masing-masing departemen terdapat hirarki-hirarki. Dan terkadang perusahaan-perusahaan ini membuang uang dan waktu terlalu banyak untuk membuat hirarki ini daripada deliver value ke kostumernya.

Adding value to the products that our customers use should be the ultimate goal. And this goal should be shared together.

Shared goal tidak akan tercapai bila tidak ada shared accountability dalam perusahaan. Tidak adanya alignment antar setiap fungsi di dalam perusahaan menyebabkan perusahaan tidak bisa mencapai shared goal. Perusahaan harus berhenti berpikir mengenai konsep proyek dan membagi-bagikannya kepada departemen-departemen. Kostumer tidak menggunakan proyek, mereka menggunakan produk kita. Jangan menambah ribet sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana. Perusahaan harus berpikir dari sudut pandang kostumer dan harus berpikir bagaimana menambahkan nilai (value) bagi kostumer — bukan sudut pandang proyek. Shared goal untuk menambahkan nilai terhadap produk harus dimiliki oleh setiap individu di dalam perusahaan dan mereka harus bekerja bersama untuk mencapai satu tujuan ini.

AgileCampus.org Workplace model

Bukan hirarki tetapi konstelasi

Setelah perusahaan berhasil menciptakan sebuah lingkungan kerja yang aman dan orang-orang di dalamnya mau mengambil tanggung jawab untuk mencapai satu tujuan tanpa harus diperintah, maka memiliki manajer menjadi tidak masuk akal lagi karena peran manajemen tersebut sudah dipegang oleh semua orang di dalam perusahaan. Sistem hirarki dan konsep tuan-hamba akan membatasi orang untuk menjadi kreatif dan mengambil tanggung jawab secara inisiatif. Sistem hirarki mungkin bisa berjalan di tahun 1900-an, tetapi di dunia yang bergerak semakin cepat dan di dunia kerja yang banyak berisi knowledge worker, konsep tuan-hamba justru akan memperlambat bergeraknya roda perusahaan. Knowledge worker yang bekerja di dalam sistem birokratis akan merasa frustrasi dan pada akhirnya dia akan disengaged dengan pekerjaannya.

Resiko akan sangat tinggi sekali bila manajemen hanya dipegang oleh orang-orang tertentu. Hal ini akan beresiko menyebabkan Single Point of Failure (SPOF) di dalam organisasi. Setiap orang harus bertanggung-jawab terhadap manajemen di dalam perusahaan, apapun posisinya karena ini adalah pekerjaan penting. Menunjuk manajer untuk melakukan manajemen tidak akan menimbulkan sense of ownership dan shared accountability dari semua orang di dalam perusahaan. Menunjuk manajer untuk memegang akuntabilitas akan menyebabkan waktu tunggu, yang pada akhirnya akan menyebabkan perusahaan bergerak lebih lambat. Peran manajemen harus disebar ke semua orang di dalam perusahaan. Semua orang harus di-empower untuk dapat melakukan hal yang benar, otoritas harus turun ke semua orang di dalam perusahaan.

Bayangkan sel manusia yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat memperbaharui dirinya sendiri (self-organising) ketika satu bagian mengalami kerusakan. Sel-sel ini saling berhubungan satu sama lain tidak dalam bentuk hirarki melainkan lebih seperti sebuah konstelasi. Perusahaan pun tidak ada bedanya dengan sel-sel manusia ini. Setiap fungsi di dalam perusahaan perlu bekerja bersama untuk bersaing melawan kompetitor tanpa hirarki baku yang hanya menyebabkan silo, disengagement, politik dan birokrasi. Perusahaan adalah sebuah sistem jaringan orang-orang cerdas (intelligent network system) yang bekerja untuk satu tujuan. Sistem jaringan ini akan berevolusi dengan sendirinya secara dinamis dari waktu ke waktu tergantung oleh keadaan di pasar. Pemimpin di dalam sistem jaringan ini akan emerge dari dalam bukan ditunjuk oleh orang lain yang berada di luar, sama halnya dengan sel manusia yang memperbaharui dirinya sendiri. Sistem jaringan ini akan lebih optimal apabila setiap orang di dalamnya memiliki mental pemimpin.

We do not need a manager, we need a champion who leads and empowers from the bottom-up rather than gives instruction from the top-down.

Yang dibutuhkan oleh perusahaan bukanlah seorang manajer, tetapi seorang champion, seorang pemimpin yang memiliki karisma, yang tidak perlu mengatur dan memerintah, yang tidak banyak bicara, yang lebih banyak menjadi contoh, yang menjadi panutan, yang dapat menginspirasi orang-orang disekitarnya lewat kepandaiannya untuk bergerak menuju satu tujuan. Kepemimpinan tidak ada hubungannya dengan posisi atau jabatan struktural di dalam organisasi karena banyak orang-orang di dalam perusahaan yang memiliki jabatan manajerial dan memiliki otoritas namun tidak memiliki people and leadership skills. Tetapi banyak juga orang-orang yang walaupun berada di posisi bawah yang mampu menginspirasi orang-orang disekitarnya.

Perusahaan seharusnya menjadi sebuah tribe yang memiliki satu tujuan (shared goal), dimana orang-orang di dalam tribe tersebut merasa aman untuk melakukan segala sesuatu demi kemajuan tribe tersebut. Cara kerja ini dan pola pikir ini akan menjadi sebuah kebudayaan (culture) dari tribe tersebut.

Sampai pada titik ini anda mungkin bertanya: Apakah perusahaan yang seperti ini di luar sana sudah banyak, kedengarannya seperti sebuah mimpi? Memanusiakan manusia di dalam lingkungan kerja bukanlah sebuah mimpi tetapi sebuah keharusan bagi perusahaan apapun juga. Teori manajemen yang banyak diterapkan di perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah teori manajemen yang sudah ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan barat semenjak tahun 1990-an. Organisasi yang seperti ini tentu saja sudah banyak di luar sana karena konsep ini sebenarnya banyak diperpanjang dari kerangka pemikiran yang ada di dalam Scrum dan Agile software development yang sudah beredar semenjak 20 tahun lalu. Silahkan googling sendiri dengan kata kunci “no manager company” untuk melihat perusahaan mana saja yang sudah menghapus posisi manajer.

Sebelum anda bertanya: “Apakah sudah banyak perusahaan di Indonesia yang seperti ini?” Saya akan langsung menjawab: “Tentu saja tidak”. Karena tidak banyak perusahaan di Indonesia yang berani dan mampu membawa Scrum lebih jauh dari sekedar metodologi sebagaimana saya paparkan di tulisan saya yang sebelumnya. Lalu untuk apa saya menuliskan sebuah mimpi bagi orang-orang Indonesia? Untuk menunjukkan kalau banyak orang Indonesia yang terlalu ignorant dengan perkembangan jaman dan terlalu nyaman terperangkap dalam sebuah tempurung berpikir tradisional. Mereka masih mengagungkan sesuatu yang semu — jabatan, status sosial, command & control, metrik, performance appraisal, rewards & punishment. Mungkin mereka sudah terlalu lama diperlakukan sebagai factory worker bukan sebagai knowledge worker, sehingga mereka menjadi sulit untuk berpikir out-of-the-box to push things to the limit.

Bila anda merasa bahwa orang-orang di perusahaan anda termasuk Human ‘Resource’ Department perlu mengetahui hal ini, silahkan forward tulisan ini ke milis kantor, ke jejaring sosial ataupun posting ulang di blog anda tanpa ijin dari saya. Semakin banyak yang tahu hal ini maka semakin besar dampak yang dapat kita buat di Indonesia karena akan semakin banyak jiwa-jiwa yang dapat kita selamatkan dari sistem korporasi gaya kolonialisme.

Jangan lupa beli buku “Manajemen Modern dengan Scrum” untuk gambaran lebih menyeluruh mengenai manajemen modern dengan Scrum. Buku ini berisi cara berpikir modern dalam software development. Buku dapat dipesan lewat websitenya.

Harga Buku: Rp. 65,000,-/buku (belum termasuk ongkos kirim)
Ukuran/Halaman : 17,5 x 24,5 ⁄ 200 halaman
ISBN : 978–979–29–5357–2

Jangan lupa belikan untuk manajernya dan kostumernya juga. Seluruh royalti penulis (Rp. 6,500,-/buku) akan disumbangkan untuk kegiatan mengajar coding anak-anak dari kalangan tidak mampu.

--

--

Konten tentang Scrum
Modern Management

Bukan hanya konten tentang Scrum, tapi disini kita akan ngobrolin Scrum yang efektif agar kostumer happy dan para pegawai juga happy dan menghasilkan cuan.