Tata ruangku dulu, tak begini

Slasar
Slasar
Published in
11 min readNov 1, 2020

--

oleh Tessa Talitha, Mirakania Nasution, Nabilla Adharina, Eka Darma K, dan Ancilita Purnamaningsih.

Di tengah-tengah usaha kita berdamai dengan kombinasi dari pandemi, WFH, belajar daring, dan sebagainya, kita dipertemukan dengan satu lagi hal yang bisa jadi beban pikiran sebelum tidur: omnibus law. Istilah yang artinya adalah “membahas beberapa hal sekaligus” ini dengan cepat menjadi topik yang viral dibicarakan masyarakat dari berbagai kalangan: dari ibu-ibu geng belanja online hingga himpunan mahasiswa kesayangan universitas masing-masing. Salah satu omnibus law yang telah disahkan di Indonesia, yaitu Omnibus Law Cipta Kerja, dibuat dengan menyederhanakan puluhan undang-undang yang dianggap tumpang-tindih dan berdampak dalam menghambat pertumbuhan ekonomi. Dan kabarnya, ini bukan satu-satunya omnibus law yang akan dibuat dan disajikan oleh pemerintah. Nantinya masih akan ada undang-undang dalam bentuk omnibus lainnya, salah satunya akan membahas tentang ibu kota negara.

Terdapat 10 subjek yang diatur dalam UU Cipta Kerja, di antaranya meliputi kebijakan investasi, ketenagakerjaan, pengadaan tanah, kawasan ekonomi, dan percepatan proyek strategis nasional. Saat ini perhatian publik lebih banyak terfokus pada dampak UU terhadap nasib tenaga kerja di Indonesia. Dilihat dari kacamata perencana, UU ini juga akan berdampak kepada muatan perencanaan tata ruang, dimana tata ruang menentukan banyak ritme kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penting/menarik untuk melihat bagaimana UU ini mempengaruhi praktik perencanaan wilayah dan kota di Indonesia mengingat perencana juga bertanggung jawab terhadap perubahan-perubahan alokasi sumberdaya yang merupakan hak masyarakat.

Sekilas sistem perencanaan di Indonesia

Perubahan terkait dengan perencanaan penataan ruang di UU Cipta Kerja tidak terlepas dari sistem perencanaan Indonesia yang terbagi menjadi dua yaitu berdasarkan arah pembangunan dan perencanaan penataan ruang. Rencana pembangunan di Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004, SPPN adalah kerangka perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat baik di tingkat pusat maupun daerah. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) mengatur visi, misi, arah, tahapan, dan arahan dana pembangunan dengan periode pembangunan selama 20 tahun. Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) merupakan penjabaran RPJP yang memuat perencanaan pembangunan dengan periode 5 tahun dan mengatur tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan pembangunan. Kebijakan lebih lanjut mengenai program prioritas tahunan berdasarkan program yang tercantum dalam RPJM beserta kerangka anggarannya (Rencana Anggaran Pendapatan Belanja) dijelaskan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP). SPPN bertujuan untuk menjamin keterpaduan perencanaan dan koordinasi antar pelaku pembangunan. Di Indonesia, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Dengan adanya SPPN, hal ini dapat menjadi sebuah alat untuk mensinergikan perencanaan pembangunan di setiap level pemerintahan.

Sistem Perencanaan Berdasarkan Arah Pembangunan

Selain itu perencanaan secara keruangan di Indonesia juga diatur melalui UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perencanaan tata ruang tersebut disusun berdasarkan skala wilayah administrasi dan juga lintas wilayah sesuai dengan fungsi tertentu. Berikut merupakan sedikit ilustrasi apa perbedaan dan muatan yang diatur dalam rencana tata ruang di Indonesia:

Muatan Rencana Tata Ruang di Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat banyak bersinggungan dengan rencana tata ruang namun banyak juga yang belum menyadari bahwa hal tersebut bagian dari perencanaan. Contoh yang paling sering ditemui yaitu ketika seseorang mengajukan perizinan yaitu Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membangun rumah atau kegiatan usaha. Petugas dinas setempat, dalam hal ini Dinas Tata Ruang memberikan izin berdasarkan dengan kegiatan dalam suatu zona yang sudah ditetapkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Apabila kegiatan atau bangunan tersebut sesuai dengan zona yang sudah diatur, maka izin kegiatan tersebut diperbolehkan. Namun, apabila tidak sesuai peruntukannya, kegiatan tersebut dapat diperbolehkan dengan syarat dan ketentuan lebih lanjut atau tidak disetujui sama sekali.

Perencanaan penataan ruang sudah lama diterapkan di Indonesia salah satunya mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jika dibandingkan, kehadiran omnibus law memberikan perubahan muatan-muatan yang berbeda dari kebijakan sebelumnya. Dalam beberapa pasal UU Cipta Kerja tercermin bahwa sebagian besar penyelenggaraan penataan ruang dikembalikan ke pemerintah pusat. Salah satu contoh pelaksanaan penyelenggaraan penataan ruang yang sebelumnya dilakukan oleh menteri diubah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selain itu, penekanan ini juga ditunjukkan dari perencanaan kawasan strategis hanya diatur dalam tingkat nasional. Peran pemerintah daerah dalam mengawal kesesuaian pemanfaatan ruang (sebelumnya ketentuan perizinan) juga dihapuskan, sehingga persetujuan dipegang penuh oleh pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan baru sebatas pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan penataan ruang.

Pada akhirnya, semua kembali ke Pusat

Sejak proses penyusunannya, penataan ruang menjadi salah satu perhatian yang direncanakan untuk dibahas oleh UU Cipta Kerja. Pihak dari Kementerian koordinator bidang Perekonomian sempat menyatakan bahwa percepatan penerbitan RDTR menjadi salah satu poin yang ada di dalam UU Cipta Kerja. Percepatan ini didorong karena saat ini, baru terdapat 57 dokumen RDTR yang telah berkekuatan hukum di seluruh Indonesia, sedangkan posisi RDTR dalam konstelasi penataan ruang dinilai sangat penting. Hal ini terutama karena RDTR menjadi acuan utama dalam proses pembangunan proyek investasi yang menjadi fokus kerja dari Presiden Joko Widodo.

Guna mendorong hal tersebut, pada konsep UU yang diajukan, terdapat beberapa pasal yang mengubah aturan terkait konteks penataan ruang Indonesia. Upaya percepatan RDTR ini dituangkan dalam ayat yang menyatakan bahwa . Dalam praktik perencanaan, hal penetapan dokumen RDTR menjadi Peraturan Kepala Daerah (Perkada) harus dilangsungkan paling lama satu bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat ini merupakan salah satu isu yang kerap melanda pada upaya penyusunan dan pelaksanaan kegiatan penataan ruang. Tidak jarang suatu rencana tata ruang tidak bisa dilaksanakan karena belum juga disahkannya peraturan daerah yang mengikat kekuatan hukumnya. Pada saat yang sama, hal ini menjadi catatan karena peran konsultasi publik akan menjadi semakin penting dalam memastikan proses politik pembangunan dapat berlangsung dengan baik.

Namun, apabila dalam satu bulan tersebut RDTR belum dapat diterbitkan dalam bentuk Perkada maka pemerintah pusat akan mengambil alih dan menetapkan RDTR tersebut. Hal ini dianggap sebagai jawaban untuk mendorong percepatan penyusunan RDTR di seluruh Indonesia. Namun poin ini juga menjadi menarik jika disandingkan dengan arah pengembangan pembangunan Indonesia era reformasi yang menjunjung tinggi otonomi daerah. Dengan adanya aturan ini, maka pemerintah pusat kembali memiliki wewenang untuk melangkahi pemerintah daerah dalam penetapan penataan ruang. Hal ini kembali terlihat pada dihapusnya ketentuan terkait kawasan strategis pada level provinsi (KSP) dan kabupaten/kota (KSK). Aturan ini dapat menempatkan kawasan strategis nasional (KSN) sebagai acuan kawasan strategis tunggal dalam mengembangkan karakteristik pembangunan daerah pada level provinsi.

Selain itu, peran pengendalian penataan ruang juga berubah haluan melalui UU ini. Jika sebelumnya pengendalian dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi dan perizinan guna melengkapi insentif-disinsentif dan pemberian sanksi, sekarang kedua hal tersebut digantikan oleh suatu hal yang disebut dengan ketentuan “kesesuaian pemanfaatan ruang”. Ketentuan ini diterbitkan oleh pemerintah pusat, dimana sebelumnya peraturan zonasi dan perizinan diterbitkan oleh masing-masing pemerintah daerah. Dalam perspektif singkat, langkah-langkah diatas dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menerapkan arahan pengembangan dan perencanaan daerah yang lebih bersifat top-down. Namun disaat yang sama, langkah-langkah tersebut juga dapat memberikan konteks bahwa keleluasaan daerah dalam mengembangkan dan menata wilayahnya akan berkurang.

Selain beberapa perubahan, terdapat juga beberapa aturan yang dihapus melalui UU ini. Selain ketentuan terkait perencanaan kawasan strategis provinsi/kabupaten/kota yang dihapus, UU Cipta Kerja juga meniadakan keberadaan aturan Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan yang sebelumnya ada di UU No. 26 Tahun 2007. Sebanyak total enam pasal terkait yang dihapus dan tidak digantikan oleh pasal lainnya. Hal ini berpotensi memberi dampak terhadap daerah yang sebelumnya dinilai membutuhkan keberadaan RTR tersebut untuk mendorong dan/atau mengendalikan pertumbuhan fisik dan ekonominya. Di sisi lain, dengan dihapuskannya KSP dan KSK, maka kedudukan KSN dalam mendorong pengembagan wilayah akan menjadi signifikan.

Lebih cepat, lebih baik?

Salah satu strategi dalam UU Cipta Kerja yaitu dengan meningkatkan iklim investasi di Indonesia, khususnya dengan melakukan penyederhanaan perizinan dan kemudahan persyaratan investasi. Pemerintah percaya bahwa dengan melakukan perubahan besar-besaran dapat menyelesaikan masalah tumpang tindih regulasi, menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah, dan memberi kemudahan untuk kegiatan usaha. Dalam pasal 6 UU Cipta Kerja dituliskan beberapa strategi yang dilakukan yaitu: (1) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, (2) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, (3) penyederhanaan perizinan berusaha sektor, (4) penyederhanaan persyaratan investasi.

Perizinan berusaha berbasis risiko merupakan penyesuaian persyaratan berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadi bahaya dalam aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan pengelolaan sumber daya. Usaha yang termasuk dalam kategori risiko rendah hanya perlu mendaftarkan usahanya untuk memperoleh nomor induk usaha. Sayangnya dalam penjabaran mengenai penilaian risiko ini masih belum jelas tergambarkan di dalam UU Cipta Kerja. Sejauh mana kegiatan usaha dapat dikategorikan memiliki risiko rendah, menengah, dan tinggi? Hal ini dapat berpotensi memunculkan praktik-praktik usaha yang tidak bertanggung jawab khususnya mengenai kesesuaiannya dengan kegiatan pemanfaatan ruang sebagai dasar memperoleh perizinan dasar seperti izin lokasi, izin lingkungan, dan izin bangunan gedung.

Potensi tersebut juga didukung dengan adanya perubahan mengenai aturan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya mengenai peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dapat dilakukan lebih dari satu kali dalam periode lima tahunan (sebelumnya hanya satu kali). Walaupun ide yang diangkat adalah untuk menjawab dinamika pembangunan, tetapi di sisi lain hal ini juga dapat digunakan sebagai alat politik untuk mengakomodasi kebutuhan perizinan pihak-pihak yang memiliki proyek atau kepentingan tertentu. Dengan kebijakan terbaru, alasan penyesuaian rencana tata ruang dapat dilakukan salah satunya yaitu ketika terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat “strategis”. Kebijakan strategis dalam konteks ini dapat berubah-ubah seiring dengan pergantian rezim pemerintahan.

Dalam UU Cipta Kerja juga dilakukan penyesuaian regulasi besar-besaran dengan total 15 sektor — dari kelautan dan perikanan hingga pertahanan dan keamanan — dalam rangka menyederhanakan proses perizinan. Pemerintah akan menetapkan daftar prioritas investasi yang akan didorong, mencakup teknologi tinggi, investasi besar, berbasis digital, dan padat karya. Ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dihapus dan akan diatur dalam peraturan presiden mengenai daftar prioritas investasi. Di sini terlihat bahwa pemerintah berusaha mendorong peningkatan indeks kemudahan berusaha di Indonesia untuk menarik minat investor asing. World Bank, dalam pernyataan resminya, terang-terangan mendukung UU Cipta Kerja dan menilai kebijakan ini dapat meningkatkan daya saing Indonesia. Di sisi lain, sebetulnya konsep indeks kemudahan berusaha (ease of doing business index) yang dikeluarkan World Bank telah mendapatkan banyak kritik dan dianggap menyesatkan. Selain itu, puluhan investor global mengemukakan ketidaksetujuannya melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden. Mereka secara khusus menyatakan kekhawatirannya mengenai potensi pelanggaran terhadap perlindungan kelestarian lingkungan.

Ditambah lagi, terdapat isu kontroversial berupa rencana pengaturan pengelolaan lahan melalui pendirian Bank Tanah. Badan ini berperan untuk menyediakan, mengelola, dan mendistribusikan tanah sebagai upaya untuk mewujudkan “reformasi agraria” yang kerap dinyatakan oleh pemerintah pusat. Namun di dalamnya, terdapat aturan-aturan yang, apabila tidak dijabarkan/diatur dengan baik, rentan disalahgunakan terutama oleh pihak yang kurang bertanggung jawab. Salah satu poin utama adalah kemunculan kembali Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dimana pemegang hak tersebut memiliki kewenangan untuk merencanakan, membantu memudahkan perizinan, dan menyediakan lahan. HPL ini dapat diberikan kepada pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD/BHMN/BHMD, badan bank tanah, dan badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut, antara lain bagaimana porsi keleluasaan badan hukum non-pemerintah dalam mengakses tanah dari bank tanah agar tujuan reforma agraria dapat terpenuhi, serta dimana kedudukan badan bank tanah terkait hak pengelolaan aset dan pengawasan pemanfaatan HPL yang diberikan nantinya.

Mewadahi seharusnya melindungi

Terdapat beberapa hal terkait aspek lingkungan dalam UU Cipta Kerja yang menarik dibahas dalam perspektif perencanaan wilayah dan kota. Pertama adalah dihapusnya ketentuan untuk mempertahankan 30 persen minimal dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Pada UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai batas luas minimal tidak disebutkan namun tertulis bahwa luasnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Padahal, ketentuan minimal luas lahan hutan 30 persen tersebut memiliki tujuan penting sehingga tertulis dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Fungsi hutan diantaranya adalah menjaga tata air, menjaga keseimbangan iklim, serta rumah bagi keanekaragaman hayati.

Tidak tertulisnya luas minimal hutan banyak dianggap sebagai ruang abu-abu penuh ketidakjelasan. Ketidakjelasan ini akan berjalan bersamaan dengan proses urbanisasi yang semakin cepat. Artinya, semakin tinggi kepentingan membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, sandang, pangan, dan papan, juga kebutuhan pembukaan lahan besar-besaran untuk proyek-proyek strategis, baik daerah dan nasional. Suasana seperti ini tentunya dapat mendorong terus terjadinya konflik ruang dalam pembangunan. Konflik ruang untuk kebutuhan akumulasi kapital dan lingkungan akan selalu menjadi cerita menarik dan pada akhirnya, baik sebelum ada dan sudah ada UU Cipta Kerja, lingkungan yang mungkin paling banyak dikorbankan.

Selain itu, partisipasi publik dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diatur dalam UU Cipta Kerja ternyata hanya dibatasi kepada masyarakat terdampak sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, partisipasi publik mencakup masyarakat yang terdampak, pemerhati lingkungan hidup, dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Padahal, demokrasi ini seharusnya terus mendorong kebutuhan akan partisipasi publik dalam mengalokasi sumber daya yang pada hakikatnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembatasan partisipasi dalam penyusunan Amdal ini mungkin dapat dianggap sebagai salah satu bentuk pembatasan keterlibatan publik dalam pembangunan. Selain itu, jika melihat Amdal sebagai studi lintas disiplin dan sektor, lingkup masyarakat yang dapat berpartisipasi dalam penyusunan Amdal juga seharusnya tidak terbatas kepada masyarakat terdampak saja.

Terkait dengan perubahan ketentuan tersebut, peran perencana yang seringkali terlibat dalam penyusunan Amdal akan menghadapi tantangan baru. Dibatasinya partisipasi publik melalui UU Cipta Kerja menjadikan perencana berada di posisi yang bertanggung jawab untuk mewadahi kepentingan berbagai pihak. Tuntutan demokrasi mendorong perencana tidak hanya mengandalkan metode dan teknik analitis (rational comprehensive planning) tetapi juga melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terbaik (communicative planning) sehingga perencana harus tetap mampu mendorong terjadinya dialog yang autentik untuk mencapai kesepakatan bersama (Innesh, 2004). Komunikasi yang autentik terjadi ketika partisipasi dilakukan oleh pihak yang beragam dan UU Cipta Kerja ini mungkin nantinya dapat menjadi suatu alasan jika pembangunan yang dilakukan tidak mencerminkan kesepakatan bersama.

Refleksi

Upaya percepatan pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja merupakan langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan memangkas regulasi dan birokrasi. Pendekatan melalui langkah pragmatis pemerintah ini disebut dengan Developmentalisme Baru atau “New Developmentalism” oleh Warburton (2016). Salah satu karakteristiknya ditunjukkan dengan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan status dan posisi Indonesia di kancah internasional. Langkah ambisius perubahan regulasi secara besar-besaran melalui metode omnibus ini secara khusus didesain untuk menarik investasi terhadap agenda pembangunan milik pemerintah. Di sisi lain, peran pemerintah pusat pun juga diperkuat melalui UU Cipta Kerja. Hal ini secara tidak langsung menunjukan proses re-sentralisasi pemerintahan, khususnya dalam rangka pengembangan wilayah.

Alasan utama sehingga diserahkan ke pemerintah pusat adalah karena proses perumusan RTRW dan RDTR, yang merupakan acuan dalam perizinan berusaha dan investasi, memakan waktu yang lama. Ditambah lagi, terdapat kendala dimana belum semua daerah di Indonesia memiliki dokumen tata ruang. Jika melihat melalui sudut pandang pemerintah daerah, penyusunan dokumen tata ruang secara umum membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan proses yang panjang. Hal ini menjadi kendala besar di banyak daerah, khususnya di luar Pulau Jawa. Menarik untuk dipikirkan bersama apakah dengan mengangkat urusan ke pusat persoalan dan tantangan proses penyusunan dan implementasi penataan ruang dapat diselesaikan? Di sisi lain, upaya pengendalian pemanfaatan tata ruang masih belum banyak diperhatikan dalam UU Cipta Kerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan sebetulnya apa peran dokumen tata ruang? Sebagai acuan dalam rangka pembangunan atau sebagai alat untuk mengeksekusi “kepentingan” atas nama pembangunan?

Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, yang secara proses maupun produknya menuai banyak kontroversi, kita dapat mengindikasikan bahwa partisipasi publik dalam perencanaan dan pembangunan akan semakin terkikis. Tata ruang yang akan mempengaruhi keberjalanan kegiatan dan pembangunan juga seakan-akan telah dilangkahi atas nama kepentingan strategis. Dengan begitu, tanggung jawab keilmuan, moral, dan sosial yang sangat besar akan jatuh kepada siapapun yang menentukan apa kepentingan strategis tersebut.

Referensi

Innes, J. E. (2004). Consensus building: Clarifications for the critics. Planning Theory, 3(1), 5–20.

Warburton, E. (2016). Jokowi and the new developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(3), 297–320.

--

--