Esai / (Pra)Sarana

Tentang Aktivasi Ruang Kota

Mengurai Kelindan Permasalahan Hunian dan Tata Ruang

Jaladri
Kolektif Agora

--

Harga hunian yang mahal memaksa banyak keluarga mencicil rumah di pinggiran kota. Rumah dengan ruang-ruang yang dianggap layak untuk keluarga dan anak-anak dianggap terlalu mahal. Memiliki tempat tinggal di pinggiran (atau bahkan luar) kota, dengan tempat kerja di tengah kota, memaksa banyak orang menjadi komuter dengan konsekuensi terkurasnya biaya, waktu, dan kesehatan mental.

Maka, beruntunglah pekerja di Jabodetabek yang memiliki akses transportasi umum yang cukup baik — di luar wilayah tersebut, banyak orang terpaksa membeli kendaraan pribadi karena keterbatasan akses transportasi umum. Kendaraan pribadi membutuhkan jalan raya, yang sebanyak apa pun dibangun untuk memenuhi kebutuhan kendaraan pribadi, pada akhirnya akan macet juga.

Padahal, selain mengalami penyusutan nilai, kendaraan pribadi juga perlu dibayar pajaknya dan berkebutuhan perawatan yang semuanya memerlukan uang. Meski sudah ada ojek daring yang relatif lebih murah dari taksi konvensional, ojek tetaplah kendaraan pribadi yang akan memakan ruang jalan, dan memiliki biaya-biaya yang dibebankan kepada pekerjanya. Di Eropa, banyak chauffeur service dan itu termasuk kategori kendaraan pribadi. Walau status kepemilikannya bukan di kita, namun secara penggunaan tetap termasuk kendaraan pribadi yang kita sewa.

Semakin banyak transportasi, bahkan tanpa kemacetan, semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Bagi kalangan ekonomi kelas bawah, biaya tranportasi bisa mencapai 50% pendapatan. Jika biaya transportasi tidak diminimalisir, hal tersebut tidak akan hanya menggerus pendapatan, tetapi juga dapat memiskinkan seseorang.

Kota Sebagai Ruang Pribadi

Kebutuhan masyarakat terhadap hunian adalah hal yang arsitek perlu intervensi. Arsitek dapat membantu mendistribusikan kembali kekuasaan dan membuat komunitas kita sedikit lebih adil. Pada tulisan sebelumnya, saya menyampaikan gagasan dari desain yang bahagia — bahwa arsitek perlu merancang berdasarkan apa yang benar-benar penting untuk penghuninya. Melalui desain yang bahagia, kebutuhan luas hunian bisa diperkecil, orang-orang bisa memiliki lahan di tengah kota secara kolektif, dan kebutuhan transportasi pun bisa dikurangi.

Setia Sopandi, arsitek yang juga seorang pengajar, pernah menyampaikan bahwa komponen yang paling menentukan dalam pengadaan rumah terjangkau adalah: (1) tanah, (2) material, (3) perencanaan logistik konstruksi, dan (4) keawetan & kualitas konstruksi. Peran arsitek ada di nomor (2), (3), dan (4). Arsitek tidak bisa bertindak banyak mengenai harga tanah, dan oleh karena itu, kita sebagai warga urban perlu melihat sudut pandang lain dalam memilih tempat tinggal.

Pada 13 Juli 2019, Kolektif Agora menyelenggarakan Diskucil #3 Bercocok Taman mengenai taman kota serta relevansinya dengan kehidupan perkotaan. Taman kota hadir mengisi kebutuhan ruang publik bagi para warga urban. Walau taman kota bukan satu-satunya ruang publik, benda ini adalah gabungan dari dua kebutuhan sebuah kota: sebagai ruang terbuka hijau dan juga sebagai ruang publik. Ruang terbuka hijau inilah yang belum bisa diisi fungsinya oleh ruang-ruang ketiga seperti kafe dan ruang kerja bersama.

Taman bisa digunakan untuk berdiskusi, seperti yang Agora laksanakan pada Diskucil #3. Foto oleh Shafiera Syumais, 2019.

Rancangan yang didasarkan pada apa yang benar-benar penting untuk penghuninya, akan menyusutkan kebutuhan terhadap ruang pribadi secara signifikan. Tentu, sebelum ke sana, si calon penghuni perlu tahu apa yang penting dan membahagiakan dia. Kepemilikan ruang pribadi yang tiga kali lebih luas dari sebelumnya membuktikan bahwa masih banyak orang yang belum paham tentang seberapa banyak ruang yang sebenarnya dia butuhkan. Jika sudah banyak orang yang paham seberapa ia butuh ruang pribadi, tentu ruang mubazir yang jarang digunakan tidak akan sebanyak sekarang.

Mungkin, beberapa di antara kita ada yang memiliki keinginan untuk memiliki sofa besar, meja makan keluarga, home theater, atau kamar perpustakaan pribadi. Itu hal yang bagus, dan saya pun tertarik untuk memiliki ruang-ruang dan perabotan seperti itu. Tapi menurut saya, benda-benda dan ruang-ruang tersebut tidak perlu ada di dalam rumah pribadi kita.

Jika ingin duduk di sofa nyaman, kita bisa berkunjung ke kafe. Jika ingin menjamu keluarga, ya ke restoran saja. Jika ingin menonton dengan kualitas terbaik, kita bisa ke bioskop. Jika butuh salah satu judul buku, kita bisa ke perpustakaan atau pinjam pada teman. Hal-hal tersebut adalah kebutuhan, tapi tidak saya lakukan setiap hari. Jadi sayang sekali kalau harus menambah peralatan dan ruang di rumah saya demi kegiatan yang hanya saya lakukan beberapa kali saja dalam setahun.

“Reuni pengurus OSIS kita ke kafe A yuk? Atau taman B? Kalau mau menginap, kita bisa, lho, sewa vila C sekalian!”

Menjadi Tuan Rumah sekaligus Tamu

Ada banyak kemungkinan yang bisa kita dapatkan saat menjadikan kota sebagai rumah kita. Kita tidak perlu terbebani opportunity cost yang harus dibayar saat kita terikat pada satu ruang tertentu yang disebut rumah. Dengan mengaktivasi ruang-ruang publik di sekitar kita, kesejahtaraan warga kota secara keseluruhan dapat menjadi lebih baik.

Kebutuhan untuk melakukan transportasi membuat sebagian besar orang terburu-buru. Stres akibat kemacetan, aktivitas keluarga yang minim, waktu tinggal di rumah yang sebentar, dan banyak permasalahan urban lainnya timbul karena kita jarang diam di rumah. Kita perlu lebih nyaman tinggal di rumah, sebab menghuni itu aktivitas yang jauh lebih mendasar dan utama selama kita menghayatinya dan menjalani kesementaraannya.

Kesadaran kolektif bahwa kota adalah rumah kita bersama adalah hal yang sangat penting. Setiap sudut kota bisa menjadi rumah yang nyaman karena memiliki keterjangkauan yang baik.

Namun, di samping itu, selain menjadi pemilik, kita juga perlu menjadi tamu yang baik. Jika kita tidak terikat di satu kota karena harus tinggal di rumah yang masih dalam masa KPR misalnya, kita bisa lebih mudah berpindah kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik, atau lingkungan yang lebih nyaman. Dengan menempatkan diri sebagai tamu, kita menyadari bahwa akan ada orang baru yang hadir di kota yang sudah kita anggap rumah itu suatu hari nanti. Oleh sebab itu, kita harus merawat ruang-ruang publik yang sudah teraktivasi dengan penuh kerendahan hati.

Kesementaraan itulah yang kita huni, perlu kita hayati, dan jangan luput kita rayakan.

ReferensiBanister, D. (1999). Planning more to travel less: land use and transport. Town Planning Review, 70(3), 313.Lucas, K. (2012). Transport and social exclusion: Where are we now?. Transport Policy, 20, pp.105–113.

--

--